Penanganan Wabah Covid-19 Dengan Pendekatan Budaya

0
72630

Oleh :

Febby Febriyandi YS (Peneliti Budaya BPNB Kepulauan Riau)

Virus Corona Mengamuk

Corona, barangkali merupakan kata yang paling populer di dunia saat ini. Betapa tidak, virus kecil yang tak kasat mata tersebut telah menggemparkan seluruh dunia pasca kemunculannya di Wuhan Cina akhir tahun 2019 lalu. Sejak minggu ketiga hingga penghujung minggu keempat Maret 2020, penyebaran virus corona makin mengkhawatirkan. Saat Cina sebagai negara asal virus corona mengumumkan penurunan kasus infeksi corona, beberapa negara di Asia, Amerika dan Eropa justru mengkonfirmasi peningkatan penderita yang luar biasa. Bahkan korban corona di Amerika Serikat dan Italia menjadi yang terbanyak di dunia melampaui kasus di Cina. Kompas.com (29/3/2020) melansir 10 negara dengan jumlah kasus infeksi corona terbanyak yaitu : Amerika Serikat (123.271 kasus, 2202 meninggal), Italia (92.471 kasus, 10.023 meninggal), Cina (81.394 kasus, 3.295 meninggal), Spanyol (73.235 kasus, 5.982 meninggal), Jerman (57.695 kasus, 433 meninggal), Perancis (37.575 kasus, 2.314 meninggal), Iran (35.408 kasus, 2.517 meninggal), Inggris (17.089 kasus, 1.019 meninggal), Swiss (14.076 kasus, 264 meninggal), Belanda (9.762 kasus, 639 meninggal). Situs resmi WHO mencatat luas penyebaran virus corona per 30 Maret 2020 telah mencapai 203 negara dengan 638.146 kasus, dan 30.105 penderita meninggal dunia (www.who.int, 30/3/2020). Di Indonesia penderita corona pada 29 Maret 2020 mencapai 1.285 kasus. Korban meninggal 114 orang, sedangkan yang sembuh hanya 64 orang (cnnindonesia.com, 30/3/2020).

Pemerintah Indonesia sendiri telah membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 sejak 13 Maret 2020. Sejalan dengan itu setiap kepala daerah juga diperintahkan untuk membuat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona di daerah masing-masing. Sejak dibentuknya gugus tugas penanganan virus corona hingga akhir bulan maret 2020 telah dilakukan berbagai upaya penanganan penyebaran virus corona. Terkait dengan hal itu,  ada pertanyaan yang ingin kita diskusikan disini, yaitu: apakah strategi penanganan pandemi ini telah memperhatikan aspek kebudayaan?.Atau, apakah aspek kebudayaan dapat berperan dalam penyusunan strategi penangan covid-19 di Indonesia?.

Persoalan Penanganan wabahCovid-19 di Indonesia

Berbagai catatan pengalaman menghadapi wabah penyakit, semestinya mendorong pemerintah Indonesia untuk memiliki perangkat kesiapsiagaan melawan wabah penyakit menular, sehingga pemerintah mampu memiliki kewaspadaan yang tinggi dan respon yang cepat. Namun sayangnya, catatan sejarah yang ada justru memberikan informasi bahwa sejak zaman kolonial hingga era reformasi pemerintah di Indonesia dianggap oleh beberapa kalangan lambat menangani wabah penyakit menular. Penanganan wabah flu spanyol di Indonesia oleh pemerintah kolonial misalnya, tergolong lambat dan kurang serius. Bulan April 1918 konsul Belanda di Singapura telah memberikan peringatan kepada pemerintah Belanda di Batavia agar mencegah masuknya kapal-kapal dari Hongkong, karena telah dinyatakan terjangkit flu spanyol. Peringatan tersebut tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah di Batavia. Tiga bulan kemudian, beberapa pasien influenza mulai dilaporkan di sejumlah rumah sakit di Hindia Belanda. Jumlah ini makin meningkat pada bulan Agustus dan September. Pada bulan November pemerintah di Batavia mendapatkan laporan bahwa penyakit flu ini telah menyerang berabagai daerah, seperti Banjar Masin, Bali, Jawa Timur dan Jawa Barat. Setelah jatuh ribuan korban, pada bulan November 1918 pemerintah kolonial membentuk sebuah tim penanggulangan penyakit flu yang berada di bawah kepala Dinas Kesehatan Rakyat (Wibowo dkk, 2009:  93-112).

Pada saat dunia mengalami wabah MERS, pemerintah Indonesia juga dianggap lambat membuat kebijakan travel warning yang diperlukan, sementara 14 negara sudah terinfeksi dan menyebabkan 100 orang meninggal dunia (kompas.com, 8/5/2014). Dalam hal penanganan wabah campak dan gizi buruk yang terjadi sejak September 2017 hingga awal 2018 di Kabupaten Asmat, berbagai kalangan juga menilai pemerintah (pusat dan daerah) lambat bertindak sehingga menyebabkan 63 anak meninggal dunia (tirto.id, 17/1/2018). Lalu bagaimana dengan strategi penangan wabah Covid-19 yang saat ini telah menginfeksi lebih dari 1000 jiwa?.

Dalam proses penanggulangan pandemi covid-19 di Indonesia pemerintah DKI Jakarta menjadi pihak pertama yang membentuk Tim Tanggap Covid-19. Tim ini dibentuk oleh Gubernur DKI pada 2 Maret 2020,di hari yang sama pengumuman pasien positif corona pertama oleh presiden Joko Widodo (cnbcindonesia.com, 2/3/2020). Kebijakan ini masuk akal karena DKI merupakan kota terbesar, terpadat, memiliki akses paling luas dan merupakan kota paling penting di Indonesia, sehingga makin cepat penanganan yang dilakukan akan semakin baik bagi kepentingan nasional.

11 hari setelah mengumumkan pasien pertama positif corona di Indonesia,barulah presiden Jokowi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Desease 2019, dan menunjuk Kepala BNPB Doni Monardo sebagai ketua Gugus Tugas. Maka sejak saat itu segenap langkah penanggulangan mulai direncanakan dalam skala nasional. Untuk memperkuat Gugus Tugas tersebut, pada 20 Maret 2020 Presiden Jokowi menerbitkan Keppres Nomor 9 Tahun 2020 yang merevisi Keppres Nomor 7 Tahun 2020. Dengan Keppres baru tersebut Gubernur di seluruh Indonesia berwenang memberikan arahan dan mengevaluasi pelaksanaan percepatan penanganan kasus covid-19 di daerahnya masing-masing.Langkah-langkah penanganan wabah covid-19 yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dan dapat diamati diantaranya adalah:

  • Mengadakan dan mendistribusikan masker gratis, APD (Alat Perlindungan Diri)
  • Membeli alat tes virus corona dan jutaan obat bagi penderita covid-19
  • Menghimbau masyarakat untuk melakukan physical distancing, yaitu pembatasan interaksi fisik (tidak berkumpul, bahkan untuk pelaksanaan ibadah)
  • Menghimbau masyarakat untuk tidak melakukan perjalanan ke luar daerah
  • Membuat kebijakan meliburkan peserta didik diseluruh jenjang pendidikan, bahkan meniadakan Ujian Nasional.
  • Membuat kebijakan WFH (bekerja dari rumah)
  • Kampanye rajin cuci tangan pakai sabun
  • Melakukan rapid tes covid-19
  • Melakukan penyemprotan desinfektan di tempat-tempat umum
  • Menetapkan kriteria dan langkah-langkah perlakuan terhadap: ODP (orang dalam pengawasan), PDP (pasien dalam pengawasan), suspect (pasien yang telah menunjukkan semua gejala klinis infeksi corona), dan pasien positif corona.
  • Melakukan pemeriksaan kesehatan kepada masyarakat yang melakukan perjalanan dari luar daerah.
  • Mengambil serangkaian kebijakan ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat

Rangkaian kebijakan ini juga dilakukan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Di Tanjungpinang sendiri telah pula diambil kebijakan meliburkan seluruh tingkat pendidikan, menerapkan Bekerja Dari Rumah bagi pegawai pemerintah, melakukan pengawasan terhadap ODP, hingga melakukan penyemprotan desinfektan di tempat-tempat umum. Beberapa kepala daerah di Provinsi lain bahkan menghentikan jalur transportasi ke daerahnya seperi Papua dan Maluku. Di Provinsi Kepri baru pemerintah Kabupaten Lingga yang menutup akses transportasi ke daerahnya sejak 28 Maret 2020 lalu (tanjungpinangpos.id, 26/3/2020).

Rangkaian kebijakan yang diambil pemerintah pusatsaat ini mendapat respon beragam dari berbagai kalangan, ada yang setuju dan ada juga yang menilai tidak tepat. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) misalnya meminta pemerintah tidak ragu dalam mengambil kebijakan isolasi diri(lockdown) sebagaimana yang pernah dilakukan oleh beberapa negara. IDI berpendapat bahwa isolasi diri merupakan cara efektif untuk menekan penyebaran virus covid-19 (m.republika.co.id, 22/3/2020). Kebijakan social distancing yang diambil pemerintah hingga saat ini dinilai kurang berhasil. Hal ini dibuktikandengan pertambahan jumlah pasien positif covid-19 di Indonesia yang mencapai 100 orang setiap hari. Kegagalan kebijakan social distancing disebabkan karena tingkat kepatuhan masyarakat yang masih rendah.Pasca himbauan “di rumah saja” oleh pemerintah, masyarakat di berbagai daerah masih saja melakukan aktivitas berkumpul seperti biasa, di Jakarta misalnya, Kota Tua, Kemang, Sabang dan Hayam Wuruk masih ditemukan kerumunan orang (kompas.com, 27/3/2020). Hal serupa juga terjadi di wilayah lain seperti di Provinsi Kepulauan Riau. Di Tanjungpinang, berbagai tempat usaha kuliner masih saja ramai pengunjung meskipun pemerintah daerah telah mengeluarkan surat edaran. Bahkan pihak kepolisian terpaksa turun lapangan melakukan pembubaran warga yang sedang berkumpul.

Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, hingga 30 Maret 2020 pemerintah masih fokus menerapkan kebijakan social distancing.Kebijakan pemerintah ini juga didukung oleh berbagai praktisi dan pengamat ekonomi yang memperkirakan dampak kebijakan lockdown yang sangat buruk bagi ekonomi Indonesia. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyebutkan bahwa skema lockdownbagi Indonesia berdampak jauh lebih buruk dibandingkan negara lain. Hal ini disebabkan sebagian besar warga Indonesia bekerja pada sektor informal. Ekonom Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan jika Jakarta diberlakukan lockdown maka dampaknya akan berpengaruh secara nasional, karena 75% uang dalam pergerakan ekonomi nasional terjadi di Jakarta (harianhaluan.com, 18/3/2020). Dari sisi sosial, kebijakan lockdown dikhawatirkan akan menimbulkan kepanikan, penjarahan hingga kerusuhan masal. 

Perdebatan mengenai Tarik ulur kebijakan lockdownjuga terjadi di kalangan masyarakat umum. Dalam berbagai media jejaring sosial online seperti facebook, instagram, dan whatsap bertebaran komentar rakyat kecil mengenai kebijakan karantina tersebut. Mereka yang umumnya bekerja dengan pendapatan harian khawatir kebijakan tersebut akan menghambat sumber penghasilan mereka. Di satu sisi kebutuhan hidup keluarga mereka terus berjalan sementara di sisi lain mereka tidak memiki cukup tabungan untuk memenuhi kebutuhan selama lockdown karena penghasilan yang pas-pasan. Ketidak mampuan secara ekonomi barangkali juga akan dialami oleh masyarakat kelas menengah di kota-kota besar. Hal ini dikarenakan masyarakat kelas menengah memiliki gaya hidup konsumtif dan memiliki tagihan hutang untuk menaikkan status sosial mereka. Kadence International Indonesia merilis hasil risetshare of Wallet mereka pada tahun 2013 yang menunjukkan bahwa 28 persen masyarakat Indonesia berada kondisi “broke” yaitu kondisi dimana jumlah pengeluaran melebihi besar pendapatan, sehingga mengalami defisit sekitar 35 persen. Orang-orang yang memiliki penghasilan Rp. 4,3 juta per bulan memiliki pengeluaran Rp. 5,8 juta, sehingga defisit Rp. 1,5 juta per bulan (tirto.id, 6/7/2016). Jika kelas menengah ini dihadapkan pada kebijakan lockdown diperkirakanmereka juga tidak akan sanggup bertahan lama.

Lalu apakah tidak ada solusi lain untuk keluar dari persoalan ini?, sementara kita dihadapkan pada kondisi yang kian memburuk. Saya kira, pemerintah perlu melakukan strategi penanganan wabah covid-19 ini dengan menjadikan aspek sosial-budaya sebagai ujung tombak.

Penanganan Wabah dengan Pendekatan Sosial-Budaya

Penanganan wabah penyakit harus dilakukan dengan pendekatan sosial budaya. Berbagai catatan sejarah penangan wabah di seluruh dunia memberikan informasi bahwa penanganan wabah penyakit tidak bisa jika dilakukan dengan hanya melibatkan aspek medis saja. Hal ini dikarenakan wabah penyakit dan aspek sosial-budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Disatu sisi, penyakit seringkali disebabkan oleh budaya (cara-cara hidup) manusia, atau setidaknya penyakit mudah menjadi wabah karena budaya tertentu dalam masyarakat.Di sisi lain penyakit memberikan dampak yang luar biasa dalam aspek budaya manusia. Penyakit kolera misalnya, diketahui muncul dari budaya sanitasi yang buruk. Penyebaran kolera dimungkinkan karena pola hidup yang tidak bersih. Sebaliknya, sejak adanya wabah kolera masyarakat memiliki cara hidup baru, seperti penggunaan jamban dengan sistem septic tank. Demikian juga dengan wabah covid-19 saat ini. Penyakit ini ditularkan antar manusia melalui kontak jarak dekat, karena itu berbagai tradisi masyarakat seperti kenduri dan pesta untuk sementara waktu tidak boleh dilaksanakan. Bukan tidak mungkin setelah wabah ini berakhir, manusia memiliki suatu cara hidup yang baru.

Karena wabah terkait dengan sosial-budaya, maka penanganannya juga harus mempertimbangkan aspek sosial-budaya. Dalam langkah penanggulangan covid-19 yang saat ini dilakukan, pemerintah telah memperhatikan aspek sosial budaya. Seperti misalnya:(1) himbauan membuat gugus tugas hingga tingkat Rukun Tetangga, (2) mengkampanyekan penanganan covid-19 dengan gotong royong, (3) pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan membuat video sosialisasi pencegahan covid-19 dengan menggunakan konten tradisi seperti lagu daerah, seni lakon tradisi dan sebagainya, (4) bahkan tidak dipilihnya opsi lockdown oleh pemerintah pusat adalah suatu bentuk perhatian pada aspek sosial.

Namun apa yang dilakukan belum memanfaatkan potensi budaya secara maksimal. Disatu sisi pemerintah mengkampanyekan gotong royong dalam penanganan covid-19, tetapi di sisi lain pemerintah menghimbau agar masyarakat menjaga jarak dan interaksi dengan sesamanya.Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan di masyarakat. Selain itu,himbauan isolasi diri ini ditambah dengan informasi tentang cara penyebaran virus dengan melakukan kontak dengan orang lain justru berpotensi menjadikan masyarakat memiliki sifat anti sosial, paling tidak untuk sementara waktu. Dengan mengisolasi diri, meskipun di rumah, sesama anggota masyarakat berkemungkinan tidak mengetahui kondisi para tetangganya, apakah mereka sehat, atau apakah mereka makan atau tidak.   Apalagi jika keadaan makin memburuk, sifat alamiah manusia untuk bertahan hidup akan mendorong menguatnya sikap egoisme. Seorang Sosiolog Inggris, Herbert Spencer pernah mengatakan bahwa untuk bertahan dalam kondisi yang berat atau kejam, manusia membutukan sikap egois untuk memungkinkannya bertahan hidup. Sikap egois memungkinkan “the survival of the fittest” (Koentjaraningrat, 1981: 137).

Sikap inilah yang ditakutkan oleh pemerintah saat ini. Jika terjadi, sikap ini akan menimbulkan penjarahan, dan kekacauan sosial karena manusia mementingkan kepentingannya sendiri dan tidak lagi peduli dengan kesulitan atau penderitaan orang lain. Meskipun pandangan Spencer ini banyak juga dibantah oleh filsuf lain yang berpendapat bahwa manusia bertahan hidup dengan azaz altruisme (mengutamakan kepentingan bersama), namun hemat saya, dengan kondisi masyarakat yang sangat kapitalistik saat ini, dimana hak kepemilikan pribadi sangat besar, pendapat Spencer lebih mungkin terjadi. Untuk mengantisipasi hal ini terjadi pemerintah dapat membuat sejumlah kebijakan dengan menjadikan kebudayaan sebagai ujung tombak. Kebijakan itu antara lain :

  1. Membuat materi kampanye berbasis budaya lokal, tetapi bukan sebatas konten seni tradisi seperti yang sudah ada saat ini. Materi budaya yang digunakan mestinya adalah memori lokal mengenai wabah, yang boleh jadi tersimpan dalam cerita rakyat, nyanyian dan sebagainya, sehingga masyarakat langsung memahami dampak yang akan ditimbulkan. Penggunaan memori kolektif ini menjadi penting karena pada dasarnya manusia mudah digerakkan apabila memiliki memori kolektif yang relatif sama. Selain itu, manusia bertindak sesuai dengan basis pengetahuannya, dan pengetahuan manusia disusun oleh beberapa unsur yaitu : persepsi, apersepsi, pengamatan, konsep serta fantasi. Oleh karena itu, jika pemerintah mampu menstimulasi lahirnya apersepsi dan fantasi yang sesuai, saya kira himbauan mengenai social atau physical distancingakan lebih dipatuhi oleh masyarakat, tanpa perlu menggunakan tekanan.
  2. Melibatkan pemimpin adat, atau agensi lokal lainnya dalam melakukan kampanye penanganan covid-19. Pelibatan aktor-aktor lokal ini akan membawa dampak yang cukup signifikan karena himbauan berasal dari kalangan sendiri sehingga lebih di dengar. Pemerintah Kabupaten juga dapat membuat atau mengaktifkan posko-posko kesehatan dilingkungan terkecil. Instansi kesehatan dapat menunjuk duta kesehatan warga dan memberikan edukasi singkat mengenai  pencegahan penyebaran virus corona.
  3. Apabila diperlukan, pemerintah dapat menstimulus lahirnya aturan adat atau aturan desa yang bertujuan mensukseskan penanganan dan pencegahan covid-19. Dalam banyak masyarakat, aturan adat atau peraturan desa kadangkala lebih dipatuhi dari pada himbauan pemerintah. Hal ini dikarenakan aturan adat dan desa dirasakan lebih “dekat” dari pada peraturan pemerintah.
  4. Membentuk lumbung pangan warga. Mengingat bahwa pandemi melumpuhkan sektor ekonomi, maka perlu difikirkan suatu sistem pengaman pangan. Paling tidak, ada skema yang menjamin bahwa kecukupan pangan bagi masyarakat kelas bawahsemasa pandemiakan terpenuhi. Karl Polanyi dalam bukunya The Great Transformation: The Political and Social Origins of Our Time (1944), menyebutkan bahwa masyarakat yang masih hidup dalam sistem kesukuan memiliki suatu skema jaminan ekonomi yang disebut redistribusi. Skema ini dapat kita terapkan untuk menghadapi wabah saat ini. Pemerintah dapat memerintahkan setiap Rukun Warga membentuk Tim Lumbung Pangan Warga yang bertugas mengumpulkan sumbangan atau iuran bahan pangan yang akandidistribusikan kembali kepada masyarakat saat kelangkaan bahan pangan terjadi pada masa wabah. Jika skema ini dikelola dengan baik, ketahanan pangan pada masa pandemi akan terjaga, dan ini akan berbanding lurus dengan pencegahan tindak penjarahan serta kerusuhan sosial.

Saya kira, pemerintah pusat maupun daerah mestinya segera menyusun rencana dan tatalaksana penanganan covid-19 yang menjadikan aspek budaya sebagai ujung tombak. Karena, jika keadaan makin memburuk dan pelampung ekonomi warga sudah tenggelam, maka kekacauan sosial hanya akan dapat diredakan lewat usaha-usaha represif yang beresiko memakan korban jiwa.

Sumber

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.

Polanyi, Karl. 1944. The Great Transformation: The Political and Social Origins of Our Time. Boston : Beacon Press. Wibowo Priyanto, dkk.2009. Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Depok : Kerjasama Departemen Sejarah UI dengan Unicef Jakarta di dengan Unicef Jakarta dan Komnas FBPI.