Orang Suku Laut Kepulauan Riau dalam Realita Pembangunan dan Kebijakan Daerah

0
8539

Oleh: Wengki Ariando (wengkiariando@yahoo.com)

Mahasiswa Doktor Lingkungan, Pembangunan dan Keberlanjutan, Chulalongkorn University, Thailand). Relawan Peneliti Yayasan Kajang, Lembaga Peduli Orang Suku Laut, Lingga

Ketertarikan dunia akademik akan isu masyarakat adat saat ini semakin tinggi. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya publikasi interdisiplin yang mulai mengaitkan berbagai pandangan dalam memetakan permasalahan yang dihadapi masyarakat adat di dunia. Konvensi International Labour Organization (ILO) tahun 1957No.107 tentang masyarakat adat dan ratifikasi merupakan perjanjian internasional pertama tentang masyarakat adat. Kemudian dilanjutkan dengan Konvensi ILO No.169 tahun 1989mengenai instrumen hukum internasional paling terkemuka, yang khusus terkait dengan hak-hak masyarakat hukum adat dan perkembangan isu ini di seluruh dunia.Sejak saat itu, isu masyarakat adat semakin berkembang seiring berjalan waktu. Bahkan dalam agenda 2030, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ditandantangani 169 negara, secara langsung disinggung pada Tujuan2 tentang pengurangan angka kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan perbaikan nutrisi, serta menggalakan pertanian berkelanjutan. Selain itu pada Tujuan 4 mengenai pemastian pendidikan berkualitas, layak dan inklusif serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang dan Tujuan 13 mengenai langkah penting mengurangi dampak perubahan iklim juga menyinggung secara langsung eksistensi dari masyarakat adat.

Di Indonesia, masyarakat adat secara tersurat dilindungi dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang ditemukan pada beberapa pasal diantaranya adalah Pasal 18B Ayat 2 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sedangkan secara implisit, beberapa pasal yang memuat hak dan kewajiban masyarakat adat sebagai masyarakat dalam kesatuan negara republik Indonesia yaitu pasal 27 Ayat 2, 28D Ayat 1, 28D Ayat 4, 28I Ayat 1 dan 3, 31 Ayat 1, 32 Ayat 1 dan 2, dan 34 Ayat 3. Pada tingkat Undang-Undang (UU) terdapat empat undang-undang yang mengatur mengenai kriteria masyarakat adat, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Secara umum, masyarakat adat di Indonesia dibagi menjadi dua kelompok yaitu masyarakat adat yang tinggal di hutan (darat) dan masyarakat adat yang tinggal di pesisir pulau-pulau kecil Indonesia. Berdasarkan pola hidup, kelompok masyarakat adat di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu kelompok yang sudah menetap dengan wilayah adat pada kawasan darat tertentu dan satu lagi adalah kelompok yang hidup berpindah-pindah berdasarkan kepercayaan adat dan perubahan musim. Menurut International Work Group For Indigenous Affair(IWGIA) tahun 2017 berdasarkan data sensus penduduk tahun2010, ada sekitar 1128 kelompok masyarakat adat di Indonesia. Selanjutnya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2017 mengestimasi kurang lebih ada 50-70 juta orang masyarakat adat di Indonesia. Angka ini diperkirakan sekitar 25 persen penduduk Indonesia adalah masyarakat adat.

Salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia adalah kelompok masyarakat tradisional Melayu yang tersebar di pesisir timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung. Kelompok ini dikenal dengan sebutan Orang Suku Laut. Menurut Chou (2003), ada banyak sebutan kelompok ini berupa Orang Laut, Suku Sampan, Orang Mantang, Orang Duano, Orang Akit, Orang Sekak, dan lain sebagainya. Orang Suku Laut merupakan kelompok penjaga laut yang sudah mendiami daerah perairan Kepualaun Riau semenjak kesultanan Johor-Lingga (Sopher, 1965). Minimnya literasi yang mumpuni mengenai asal usul Orang Suku Laut dalam perlindungan sejarah, wilayah adat, dan benda peninggalanmembuat eksistensi mengenai Orang Suku Laut tidak muncul ke permukaan pada abad 20 ini.Berdasarkan data yang dihimpun oleh tim peneliti Yayasan Kajang tahun 2020, saat ini Orang Suku Laut di Kepulauan Riau tersebar di lima kabupaten dengan estimasi terdapat 12.800 jiwa dan 44 lokasi, seperti yang terlihat pada peta di bawah ini.

Eksistensi Orang Suku Laut di Kepulauan Riau makin hilang seiring dengan berkembangnya informasi teknologi serta pembangunan masyarakat yang kurang tepat sasaran saat ini. Hal ini dibuktikan oleh rekapan hasil penelitian yang dikumpulkan oleh Yayasan Kajang. Namun di sisi lain, penelitian-penelitian ini menunjukan Orang Suku Laut memberikan kontribusi nyata bagi perlindungan keanekaragaman hayati, serta menjaga keseimbangan ekosistem alam, baik di darat maupun di laut melalui pengetahuan tradisional yang telah mereka wariskan secara turun-temurun (Ariando dan Limjirakan 2019). Saat ini Orang Suku Laut memiliki pola hidup menetap, semi menetap, dan beberapa diantara mereka masih bertempat tinggal di sampankajang yang berlayar dalam kelompok kecil seperti ditemukan di Kabupaten Lingga. Hal menarik lainnya adalah adanya perubahan sosial budaya dari transisi pemindahan Orang Suku Laut, yang semula memiliki pola hidup nomaden menjadi masyarakat lokal pesisir yang hidup menetap (Ariando dan Limjrakan 2019, Chou 2003). Perubahan sosial ini lebih banyak diasosiasikan dengan degradasi kearifan lokal dan kepercayaat adat.

Dalam konsep dan implementasi pembangunan yang berkelanjutan, Orang Suku Laut merupakan salah satu aktor yang peranannya dapat memberikan contoh nyata tentang filosofi hidup effisien dan berdamai dengan lingkungan, khususnya wilayah kemaritiman. Namun sayangnya sinkronisasi pendekatan berbasis masyarakat ini belum digabungkan dengan prioritas daerah dalam bentuk rencana pembangunan dan program pengembangan masyarakat. Ada beberapa catatan penting yang dapat dicermati mengenai konsep pembangunan dan perlindungan Orang Suku Laut khususnya di Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan kajian dari pusat penelitian Yayasan Kajang, diantaranya adalah:

Identitas Budaya

Eksistensi kelompok sea peopleatau sea nomads(orang laut)  di Indonesia masih menjadi perdebatan beberapa pemangku kepentingan pada level nasional dan lokal.Secara hukum positif, pengelompokan masyarakat adat pesisir diatur oleh UU No.1 tahun 2014 yang membagi masyarakat adat pesisir menjadi tiga yaitu Masyarakat Hukum Adat (MHA), masyarakat tradisional, dan masyarakat lokal. Sedangkan pedoman pengakuan dan perlindungan MHA mengikuti Permendagri No.52 tahun 2014. Kemudian diperkuat oleh Permen KP No.8 tahun 2018 tentang tata cara penetapan wilayah kelola MHA dalam pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun, semua peraturan-peraturan ini tidak dapat memperkuat identitas Orang Laut baik itu Bajau ataupun Orang Suku Laut dikarenakan kelompok ini tidak dapat memenuhi salah satu syarat menjadi MHA. Adapun syarat yang disebutkan dalam peraturan tersebut adalah pranata pemerintahan dan hukum adat, sejarah dan benda peninggalan, serta wilayah adat yang berhubungan dengan darat. Kelompok Orang Suku Laut tidak mempunyai wilayah adat di darat karena hidup mereka berpindah-pindah mengarungi perairan. Saat ini para peneliti kelompok seapeoplesedang merumuskanuntuk pengusulan modifikasi pengertian wilayah adat ini, sehingga mencakup kelompok Orang Suku Laut. Hal ini ternyata tidak terjadi di Indonesia saja, namun juga di negara tetangga yang memiliki sea nomadsseperti Malaysia, Thailand dan Filipina. 

Penguatan identitas adat ini bertujuan untuk mengembalikan hak dan kewajiban Orang Suku Laut dalam manajemen kepemimpinan dan sumberdaya alam. Pemahaman mengenai identitas pada konteks ini mencakup pengakuan secara hukum positif untuk memprioritaskan kelompok marginal seperti Orang Suku Laut dalam agenda pembangunan. Kabupaten Lingga, sebagai salah satu kabupaten yang masih memiliki kebudayaan asli Orang Suku Laut teridentifikasi sudah mengalamai krisis identitas ini. Rasa ketidakpercayaan dan insecurity Orang Suku Laut terhadap program pembangunan yang tidak melibatkan mereka ini membuat para generasi muda memilih untuk melakukan migrasi. Generasi muda ini merasa tidak bangga dengan identitas mereka sebagai Orang Suku Laut.

Selain itu, identitas budaya ini juga dianggap dapat mengembalikan rasa bangga Orang Suku Laut sebagai kelompok masyarakat tradisional Melayu yang telah bertahandari peradaban panjang sejarah Melayu di Kepulauan Riau. Persepsi masyarakat melayu dominan (masyarakat darat) tehadap Orang Suku Laut sampai saat ini masih belum mengakumudir isu keberagaman dan kesetaraan. Masyarakat darat masih cendrung melabeli Orang Suku Laut sebagai kelompok kuno, bau, tidak beragama, dan memiliki ilmu sihir.Stigma negatif ini juga sangat mempengaruhi penerimaan dan adaptasi Orang Suku Laut dengan masyarakat darat yang kadang menimbulkan konflik sosial kedua kelompok ini. Salah satu contoh nyatanya adalah temuan praktek bullyingkepada anak Orang Suku Laut dari anak-anak suku melayu daratan.

Sosial Ekonomi dan Lingkungan

Konsep pembangunan yang tepat sasaran harusnya mempertimbangan kebutuhan dan kesiapan masyarakatnya dalam mengadopsi program pembangunan tersebut. Hal ini kurang terlihat dalam program pembangunan yang bersinggungan dengan Orang Suku Laut di Kepualauan Riau. Banyak program pembangunan desa dan daerah yang tidak digunakan secara utuh oleh Orang Suku Laut seperti bantuan panel surya, alat tangkap jaring, serta inisasi pembuatan rumah yang menetap di satu pulau atau kawasan pesisir. Beberapa penelitian mengenai Orang Suku Laut menemukan bahwa program ini membuat pola hubungan ketergantungan dan pola pikir yangtidak mandiri dari Orang Suku Laut. Sebagai contoh di Kabupaten Lingga, ketika ada kunjungan dari orang luar kelompok mereka, Orang Suku Laut akan beranggapan orang tersebut akan memberi bantuan. Praktek ini juga diperkuat dengan adanya kunjungan calon legislatif yang menjanjikan banyak hal berupa bantuan-bantuan jangka pendek agar Orang Suku laut memberikan hak pilih suara mereka kepada calon legislatif tersebut pada saat pemilihan umum pejabat daerah.

Fakta yang ditemukan di lapang, kebanyakan program pembangunan yang disiapkan oleh pemerintah daerah tidak bersifat jangka panjang dan lebih fokus kepada pembangunan infrastruktur dibanding pembangunan sumber daya manusia. Pemberantasan buta huruf, peningkatan angka aktif sekolah, penguatan kapasitas kepemimpinan pemuda, pemberdayaan perempuan, dan edukasi finansial merupakan program pemberdayaan masyarakat yang seharusnya diberikan kepada Orang Suku Laut. Hal ini pastinya akan meningkatkan taraf hidup Orang Suku Laut dalam jangka panjang seperti observasi yang dilakukan Yayasan Kajang. Sampai saat ini para pegiat dan peneliti masyarakat adat selalu mendukung peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dibanding bantuan eventual yang tidak berkelanjutan. Tujuannya adalah untuk penguatan modal manusiaagar mampu bersaing di masa yang akan datangdan memperjuangan kembali hak penuh tentang adat mereka berserta sistemnya seperti yang digalakan AMAN, sebagai organisasi terbesar di Indonesia yang memperjuangkan hak masyarakat adat.

Inisiasi perumahan Orang Suku Laut yang sudah dilakukan semenjak tahun 1990an sampai dengan saat ini menjadi konsep pembangunan infrastruktur mainstrim yang diberikan kepada mereka. Kebijakan ini telah dilakukan berupa koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam upaya mempermudah pendataan dan harapanya meningkatkan taraf hidup Orang Suku Laut. Ironisnya, inisiatif ini telah membuat Orang Suku Laut kehilangan identitas mereka sebagai Orang Laut. Selain itu, dengan adanya kebijakan ini, Orang Suku Laut dipaksa untuk bertarung dengan kerasnya hidup sebagai masyarakat lokal yang berorientasi kepada kemapanan ekonomi. Kebutuhan dan gaya hidup sebagai masyarakat lokal yang hidup di darat ini membuat Orang Suku Laut dengan mudah tergilas menjadi kelompok marginal yang miskin, tidak hanya secara pendapatan namun juga secara intelektual dan kecakapan budaya. Saat ini kelompok Orang Suku Laut di Kepualaun Riau yang sudah menetap merupakan generasi kedua atau ketiga yang sudah bertahan hidup di darat. Ketika ditanya kepada generasi-generasi ini“apakah mereka ingin melanjutkan hidup sebagai masyarakat yang hidup di sampan atau tidak?”, pastinya mereka akan menjawab “tidak”atau tak ndak, karena mereka sudah kehilangan identitas dan gamang dalam mempertanyakan arah kehidupan mereka seperti apa. Dapat dibayangkan bagaimana kebijakan sudah mengubah identitas suatu masyarakat adat yang berimbas kepada degradasi kebudayaan dan krisis identitas.

Selain itu, sistem pelabelan istilah Komunitas Adat Terpencil (KAT) menjadi bahan temuan di lapang yang membuat keberadaan sosial Orang Suku Laut semakin termarginalisasi. KAT sebagaimana Peraturan Presiden No.186 tahun 2018 adalah “sekumpulan orang dalam jumlah tertentu yang terikat oleh kesatuan geografis, ekonomi, dan/atau sosial budaya, dan miskin, terpencil dan/atau rentan sosial ekonomi”. Karena permasalahan keterpencilan dan kemiskinan, maka KAT sebagai salah satu penyandang masalah kesejahteraan sosial, perlu pernanganan khusus agar dapat hidup setara dengan Warga Negara Indonesia lainnya. Pemberdayaan sosial terhadap KAT dilaksanakan berdarkan kriteria KAT, yakni (1) keterbatasan akses sosial dasar, (2) tertutup, homogen dan penghidupannya tergantung kepada sumber daya alam, (3) marjinal di perdesaan dan perkotaan, (4) tinggal di wilayah perbatasan antar negara, daerah pesisir pulau-pulau terluar dan terpencil. Dari sini semakin terlihat, ketika suatu masyarakat dilabeli sebagai KAT secara tidak langsung status sosial budayanya menjadi lebih rendah dari pada masyarakat dominan pada suatu daerah. Secara eksekusi bantuan program ini melaluli pelabelan KAT telah menimbulkan polemik dalam pola pikir dan cara pandang baru Orang Suku Laut. Program KAT di Kepulauan Riau untuk Orang Suku Laut dikenal sebagai bantuan rumah dan infrastruktur. Pernyataan ini telah ditemukan dari sisi pemerintah daerah, legislatif maupun dari internal Orang Suku Laut itu sendiri. Namun, faktanya KAT ini bukan sebatas bantuan rumah.

Lebih lanjut lagi mengenai isu ekonomi, Orang Suku Laut adalah sasaran empuk para kelompok dominan di darat. Yayasan Kajang menemukan banyak praktek rentenir dan monopoli harga ikan yang dilakukan pemilik warung harian (induk semang) yang semena menghargai hasil tangkapan Orang Suku Laut karena mereka buta huruf dan angka. Pada musim utara yang dikenal sebagai musim dengan gelombang laut tinggi,membuat Orang Suku Laut harus meminjam duit kepada pemilik warung untuk kebutuhan sehari-hari seperti beras dan bahan pangan lainnya. Hutang ini akan dibayar pada musim berikutnya pada saat hasil tangkapan mereka lebih banyak. Namun, monopoli harga ditentukan oleh pemilik warung dengan langsung memotong untuk pembayaran hutang dari jual beli hasil tangakapan tersebut. Alternatif pemasukan lain adalah bekerja di dapur arang, yaitu pengolahan kayu bakau menjadi arang kayu. Palong atau rumah pembakaran arang ini tersebar hampir di seluruh perkampuangan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau. Para pemilik palong ini tergabung dalam koperasi dapur arang yang memperkerjakan masyarakat lokal dan Orang Suku Laut sebagai buruh penebang hutan bakau. Secara praktek konservasi, penebangan hutan bakau ini sangat bertentangan dengan kearifan lokal dan praktek nenek moyang mereka. Namun karena kebutuhan ekonomi sebagai masyarakat menatap telah mendesak meraka mengambil peran dalam praktek perusakan lingkungan ini demi memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari.

Isu lain yang tidak kalah penting adalah isu agama. Saat ini Orang Suku Laut di Kepulauan Riau memiliki keberagaman agama yang tinggi yang terdiri dari Islam, Kristen Protestan, Khatolik dan Budha. Kebebasan memilih agama ini sangat dipengaruhi oleh program pendampingan agama yang berlokasi di sekitaran tempat tinggal mereka. Sebagai contoh, di kelompok Orang Suku Laut Pasir Panjang dan Pulau Lipan Kabupaten Lingga, kelompok ini menyatakanbeberapa kali telah berganti agama sesuai dengan tokoh penyiar agama yang mendampingi mereka. Mirisnya, keberagaman agama ini justru menjadi penghambat program pemberdayaan untuk Orang Suku Laut. Beberapa program sosial sangat spesifik memberikan bantuan kepada pengikut agama tertentu. Hal ini menimbulkan kesejangan sosial pastinya.

Beberapa penelitian yang didampingi Yayasan Kajang menemukan konsep ketuhanan dan agama versi Orang Suku Laut saat ini sebenarnya belum sekuat masyarakat melayu dominan di darat. Bagi Orang Suku Laut agama masih berupa kebutuhan administratif dan normatif. Beberapa kelompok tetap menjalankan kepercayaan adat yang dibuktikan dengan mantra, pengasih, dan ilmu yang masih mereka gunakan walaupun mereka sudah memeluk agama tertentu. Menariknya, ada pendapat dari petua-petua adat Orang Suku Laut yang menyatakan diri mereka berasal dari nenek moyang Melayu yang beragama Islam. Argumen ini dibuktikan dari beberapa mantra yang mereka punyai dengan menggunakan kata-kata pujian kepada Tuhan dalam versi agama Islam.

KearifanLokal

Kearifan lokal merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki masyarakat adat sebagai bentuk praktek yang sudah teruji kebenarannya. Bagi Orang Suku laut sebagai masyarak adat yang tingga di daerah pesisir dan pulau-pulau kecil, kearifan lokal ini terdiri dari praktek konservasi, ritual, penggunaan alat tangkap tardisional dan sistem pengelolaan sumberdaya maritim. Orang Suku Laut memiliki kearifan lokal yang dapat membantu percepatan tujuan pembangunan berkelanjutan berbasis pengetahuan masyarakat (Ariando dan Limjirakan, 2019). Kearifan lokal ini merupakan interaksi antara kebudayaan, kepercayaan adat, dan kemampuan adaptasi dari suatu entitas masyarakat. Penelitian membuktikan, Orang Suku Laut memiliki cara berpikir yang holistik yang mempertimbangkan kebudayaan leluhur dan keseimbangan alam sebagai sumber kehidupan sebagai bentuk dari pewujudan kearifan lokal (Ariando, 2020).

Kearifan lokal ini dapat dijadikan sebagai warisan budaya tak benda yang tidak hanya menunjukan pelestarian budaya namun juga penguatan identitas masyarakat adat. Orang Suku Laut dengan kearifan lokalnya telah menunjukan bagaimana mereka berdamai dengan isu sosial, budaya, kesehatan, dan lingkungan. Kearifan lokal ini membantu Orang Suku Laut mengatasi dampak musim kemarau (kekeringan) dan bencana hidrometeorologi lainnya. Pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) dengan menggunakan kearifan lokal ini merupakan salah satu strategi yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam penguatan identitas dan pengakuan tertulis Orang Suku Laut di Kepulauan Riau.

Arah Pengembangan dan Peningkatan Modal Manusia Orang Suku Laut

Setelah penjabaran kondisi terkini mengenai Orang Suku Laut Kabupaten Lingga, beberapa catatan di bawah ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk perlindungan Orang Suku Laut dalam konteks pembangunan.

Identitas Adat dan Budaya

  • Melindungi dan mendukung identitas kebudayaan dan etnik Orang Suku Laut secara lisan dan tulisan sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan nasional.
  • Pengakuan dan pemerhatian sosial budaya Orang Suku Laut sebagai materi pendidikan kebudayaan dan sejarah lokal dikarenakan tidak banyak ahli sejarah yang bisa memberikan informasi komprehensif mengenai Orang Suku Laut.
  • Perlindungan terhadap kerifan lokal dan kepercayaan adat, tidak hanya pada adaptasi perubahan iklim namun juga sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.

Managemen Sumberdaya

  • Penguatan regulasi mengenai hak masyarakat adat dalam sektor perikanan terutama yang berkaitan dengan penangkapan ikan illegal/non-ilegal dengan teknologi modern di kawasan perairan Orang Suku Laut.
  • Pendukungan terhadap penggunaan kearifan lokal Orang Suku Laut dalam praktek konservasi sumberdaya alam seperti konservasi bakau dan terumbu karang.
  • Perlindungan terhadap pemanfaatan hutan bakau pada kawasan tempat tinggal Orang Suku Laut.
  • Perencanaan pembangunan kawasan konservasi berbasis masyarakat adat dan kawasan perlindungan laut pada area Orang Suku Laut untuk melindungi keanekaragaman hayati dan kearifan lokal.
  • Peninjauan kembali peraturan dan izin pemanfaatan sumberdaya alam di area Orang Suku Laut (merujuk ke usaha koperasi Dapur Arang).
  • Penyediaan infrastruktur untuk akses air bersih dan sanitasi di perkampungan Orang Suku Laut.
  • Perencanaan pembuatan sumberdaya penerangan menggunakan energi terbarukan di perkampungan Orang Suku Laut

Ketahanan sosial dan pengakuan

  • Pengakuan hak sebagai bagian dari Masyarakat Hukum Adat (MHA) atau term spesifik lainnya yang merujuk kepada pedoman Permendagri No.52 tahun 2014 tentang Pedoman dan Pengakuan MHA, dan UU No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
  • Pelibatan hak Orang Suku Laut dalam program pembangunan dan musyawarah dari tingkat lokal sampai dengan kabupaten melalui skema pertisipasi FPIC (free, prior, and informed consent) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal TanpaPaksaan.
  • Optimasilasi dana desa dengan melibatkan Orang Suku Laut dalam menentukan arah pembangunan yang bersinggungan dengan kehidupan mereka.
  • Penjalinan kerjasama multi aktor (pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan organisasi masyarakat) dalam penyelesaian permasalah sosial Orang Suku Laut.

Perlindungan kebudayaan dan kepercayaan adat

  • Mendukung terbentuknya pusat kebudayaan Orang Suku Laut Indonesia yang berlokasi di Provinsi Kepulauan Riau
  • Mengalokasikan budget daerah untuk forum kebudayaan Orang Suku Laut sebagai warisan budaya tak benda berdasarkan kearifan lokal, kesenian, dan sejarah.
  • Mengkaji ulang asal usul Orang Suku Laut Kepulauan Riau memalui forum dan Lembaga adat Orang Suku Laut.
  • Meningkatkan kepedulian masyarakat lokal terhadap keberadaan Orang Suku Laut melalui program kebudayaan lokal dapat berupa kumpulan buku, siaran radio, iklan, pelatihan kerajinan, dan pelibatan dalam kegiatan-kegiatan kesenian dan kebudayaan pada level daerah.

Pendidikan dan Kesehatan

  • Meningkatkan fasilitas pendidikan inklusif dan kontekstual untuk Orang Suku Laut dengan kurikulum pendidikan berbasis kearifan lokal.
  • Menyediakan sumberdaya manusia (guru) di kawasan tempat tinggal Orang Suku Laut untuk menekan angka buta huruf dan meningkatkan indeks pembangunan manusia daerah.
  • Mengajak kaloborasi para akademisi, pusat penelitian dari universitas, balai pengembangan penelitian untuk melakukan riset terhadap Orang Suku Laut pada berbagai bidang.
  • Peningkatan layanan kesehatan pada titik-titik yang susah terjangkau oleh Puskemas
  • Pemeriksaan berkala penyakit musiman yang ditemukan pada perkampungan Orang Suku Laut, seperti penyakit kulit, demam atau penyakit menular pernapasan seperti TBC.