Menyelamatkan Tari Jenjang Mentuda

0
415


oleh:
M Fadlillah
(Pemerhati Budaya di Lingga)

Orang Bunian tentunya tak asing bagi orang Melayu. Nama lain dari orang Bunian disebut orang Lingga dengan nama orang halus, orang kayangan, orang peri dan orang kecik. Tentang orang bunian, oleh orang yang percaya di gambarkan serupa dengan manusia, tetapi mempunyai kesaktian dan tinggal di alam ghaib. Seorang kenalan membantah dengan keras jika orang bunian itu dianggap bangsa jin, dia beranggapan orang bunian sama dengan manusia, hanya saja tinggal di alam ghaib. Dikisahkan juga orang Bunian itu terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Walau pun tak ada satu pun riwayat dalam ajaran agama atau pun hasil penelitian ilmiah tentang adanya masyarakat yang beraneka suku dan agama tinggal di alam ghaib seperti lazimnya manusia, tetap saja sebagian orang yakin, seyakin-yakinnya bahwa orang bunian itu ialah manusia di alam ghaib.

Gunung Daik, Tanjung Nyang, Tanjung Gubang dan beberapa tempat lain di pulau Lingga dianggap sebagai tempat tinggal orang bunian. Orang bunian gunung Daik dianggap lebih utama dan membawahi bunian-bunian ditempat lain. Tentang gunung Daik yang berpenunggu itu bukan sekedar ada dalam cerita rakyat yang diwariskan dari mulut ke mulut, tetapi dimuat juga dalam Syair Sultan Mahmud Syah. Dikisahkan di dalam syair ada puteri yang bersemayam di gunung Daik dan memiliki taman yang indah dikawal para peri. Karena terpengaruh dengan berbagai cerita mistis turun temurun, sebagian orang Lingga bertambah besar rasa percayanya tentang gunung Daik sebagai tempat tinggal orang Bunian. Bahkan ada juga yang mengaku pernah punya pengalaman berhubungan dengan alam orang Bunian, sehingga mereka yang percaya bertambah-tambah kuat rasa percayanya.

Kisah orang bunian atau orang halus yang penuh dengan kesaktiannya itu menjadi bahan cerita turun temurun orang-orang kampung di Lingga. Bagi yang suka dengan cerita mistik dan tahayul, kisah orang bunian menjadi cerita yang menyenangkan. Saat berdadu di teras rumah sambil mengonyel lempeng gandum boleh jadi kisah orang bunian jadi bahan bualan hingga air kopi lesit tak bersisa. Ibu-ibu yang duduk beronggok menindas kutu, sambil menindas kutu sambil bercerita tentang orang bunian. Sebagaimana lazimnya cerita mistis tentang makhluk ghaib, tentu perlu disaring dan ditapis sehingga tidak merusak akidah dan ilmu pengetahuan.

Jika kita membuka Sulalatus salatin yang penuh dengan dongeng-dongeng itu, dapatlah kita jumpai cerita yang ada hubungannya dengan orang Bunian. Di dalam Sulalatus Salatin dikisahkan Sultan Mahmud Syah dari Melaka hendak kawin dengan puteri gunung Ledang. Jika kita lihat kisah dalam sulalatus salatin, tuan puteri itu ialah golongan makhlus halus dan boleh dikatakan sebagai orang bunian. Keinginan yang aneh dan sia-sia itu itu nampaknya diturut juga oleh para bangsawan dan pejabat di bawahnya. Sayangnya pinangan itu bersyarat, dan tak dapat dikabulkan oleh Sultan Mahmud Syah. Urusan beristerikan orang halus ini, nampaknya menjadi bagian dari kisah hidup raja-raja dari Dinasti Bukit Siguntang Mahameru sebab dalam Tuhfat al-Nafis oleh Raja Ali Haji mengisahkan, konon Sultan Mahmud Syah II raja Johor, keturunan dari Sultan Mahmud Syah I tidak menyukai wanita kalangan manusia, tetapi lebih menyukai wanita dari kalangan peri. Di balik cerita ini sebenarnya ada udang disebalik batu. Cerita ini lebih menggambarkan keburukan perilaku raja dan kait mengait dengan urusan politik perebutan kekuasaan.

Urusan orang bunian yang bersentuhan dengan lingkungan istana raja Melayu hingga rakyat jelata, sampai kini kisahnya tak pernah terbenam dalam kehidupan masyarakat Melayu Lingga. Seperti di Desa Mentuda yang terletak di pulau Lingga sampai masa kini menyimpan berbagai cerita tentang orang Bunian. Di masa yang lalu, pemanggilan orang bunian di desa Mentuda menjadi ritual rutin setiap bulan Muharram yang bertujuan untuk memelihara kampung. Orang bunian yang dipanggil merasuk kedalam tubuh seseorang untuk berkomunikasi dengan seorang pawang. Ritual memanggil bunian untuk bela kampung ini disebut dengan Tari Jenjang. Orang terakhir yang bisa dirasuki orang bunian ialah Mak Mbang. Tahun 2013, dengan umur lebih dari seratus tahun Mak Mbang yang juga dukun beranak itu wafat. Setelah beliau wafat, keturunan juga saudara dekatnya tidak seorang pun bisa lagi dirasuki orang bunian. Telah beberapa orang mencoba untuk dirasuki bunian tetapi gagal dan akhirnya ritual ini berakhir punah.

Dalam melakukan ritual tari jenjang bela kampung, orang bunian yang dipanggil dipercaya berasal di sekitar pulau Lingga dan dari seberang atau pulau Sumatera. Salah satu orang bunian yang dipanggil ada yang berasal dari gunung Daik. Seperti ritual mistis umumnya, asap kemenyan menjadi bagian dari benda wajib untuk memanggil orang Bunian. Benda-benda lain seperti mayang pinang dan kain putih menjadi pelengkap yang tidak bisa ditinggalkan oleh penari jenjang agar bisa dirasuki oleh orang bunian. Ritual pemanggilan orang bunian dilakukan dengan iringan berbagai lagu Melayu yang diiringi pukulan gong dan tabuhan gendang panjang. Penari jenjang, yang kepalanya ditutupi kain putih menari sambil memukul-mukul pelan mayang pinang di tubuhnya. Di tengah-tengah menari orang bunian akan merasuki penari. Penari yang dirasuk akan berkomunikasi dengan pawang atau juru kunci. Orang bunian datang silih berganti dengan berbagai lakonan. Ada yang datang membawa kuda, maka seseorang akan menjadi kuda ditunggangi penari jenjang yang sedang dirasuki. Bunian yang merasuki itu menggunakan bahasa Melayu, tetapi mempunyai beberapa kata tertentu untuk berkomunikasi dengan pawang. Kata-kata tertentu itu seperti buah durian disebut dengan jemos, dan rokok disebut dengan tabang.

Tradisi tari jenjang yang ada kait mengait dengan bahasa dan sastra disebabkan adanya lagu-lagu pengiring memanggil bunian telah pun menarik perhatian pihak Kantor Bahasa Kepulauan Riau. Rupanya di tahun 2019, ini ada kegiatan Konservasi dan Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah. Pihak Kantor Bahasa Kepulauan memilih Tari Jenjang Bela Kampung di Desa Mentuda untuk dikonservasi dan direvitalisasi karena dalam keadaan punah. Sepertinya kegiatan ini, semacam mengangkat batang terendam. Jika dilihat dari kegiatan konservasi dan revitalisasi yang telah dilakukan, bukanlah ingin menghadirkan orang-orang bunian untuk merasuk ke dalam tubuh penari jenjang, tetapi untuk merawat dan mempertahankan tradisi lama yang telah punah menjadi seni pertunjukan baru. Lagu-lagu lama memanggil orang bunian sepatut dan sewajarnya masih perlu terus didendangkan para seniman. Didendangkan bukan untuk memanggil bunian datang tetapi sebagai pelestarian bahasa dan sastra daerah.

Dalam kegiatan konservasi dan revitalisasi, sekelompok anak SMP belajar dengan para pelaku ritual tari jenjang. Mereka yang telah menerima pengetahuan ritual kemudian berlatih dan selanjutnya mementaskan tari jenjang. Bedanya para pelajar ini mementaskan tari jenjang bukan bertujuan untuk memanggil bunian, tetapi merawat dan mempertahan tradisi lama dalam bentuk seni pertunjukan. Pada tanggal 28-29 Juni 2019 selepas Ashar, sekelompok anak-anak mementaskan tari jenjang di atas panggung di samping Kantor Desa Mentuda. Dalam pementasan ini, penari jenjang pura-pura kerasukan bunian. Penari melakonkan gerak-gerak yang biasa dilakukan penari jenjang yang dirasuki bunian. Menurut cerita, terdapat banyak lagu untuk tari jenjang tetapi yang berhasil di catat hanya beberapa lagu. Dalam pementasan ini, hanya dibawakan sebuah lagu. Lagu yang dinyanyikan berjudul Mak Ulai dan liriknya sebagai berikut:

Ngilelah ghaket mak ulai bekajang kaen
Ngilelah ghaket
Bekajang Kaen Lah tuan manelah telok
Betimbe mane betimbe mane lah kan telok

Alangkah saket di badan raselah badan
Rase badanlah tuan
Manelah dudok becinte mane becinte
Manelah kan dudok

Lime belaslah tuan dayung lah ke Jambi
Dayung ke Jambi lah tuan
Puteklah nenas di kebon di dalam kebon
Putelah nenas

Tidak kah belas lah tuan memandang kami
Tidak lah kan belas
Memandang kami lah tuan, siang berpanas
Malam berembun, malamlah berembun

Nebanglah buloh lah tuan, panjang lah sepuloh
Panjanglah sepuloh lah tuan
Sambil mengebat beremban batang
Berembang batang lah beremban

Kusembah dengan sepuloh jari sepuloh
Panjang sepuloh lah tuan
Agar kau datang lah alam dipenghui alam
Penghuni alam
Buah lah punak lah pagar di luar pagar
Diluar pagar lah tuan
Ambi lah galah lah tuan
Tolong jolokkan

Kami anaklah tuan, barulah belajar
Baru belajar lah tuan
Kalau lah salah lah tuan tolong tunjuk kan
Tolong tunjukkan

Pada sabtu malam 29 Juni 2019, dilakukan pementasan tari jenjang oleh para pelaku yang dahulunya melakukan ritual bela kampung, sekaligus halal bi halal Pemerintah Desa Mentuda dan Lembaga Adat Desa Mentuda bersama masyarakat. Sama seperti yang dilakukan anak-anak di sore harinya, pementasan yang dilakukan hanya berpura-pura kerasukan. Para pelaku yang dulu pernah memanggil orang-orang bunian nampaknya penuh semangat walau pun penyanyi yang melantunkan lagu-lagu memanggil bunian dengan suara yang tidak jelas dan sulit dimengerti karena pengaruh usia yang telah tua. Pertunjukan kali ini tidak begitu menyeramkan, karena para penonton sering tertawa melihat lakonan para pemain. Setelah selesai pertunjukan dilakukan, berakhirlah Konservasi dan Revitalisasi Bahasa dan Sastar Daerah Tari Jenjang Bela Kampung di Desa Mentuda Kecamatan Lingga Kabupaten Lingga tahun 2019.

Konservasi dan Revitalisasi Bahasa dan Sastra Daerah yang dilakukan Kantor Bahasa Kepulauan Riau sepatutnya memberikan dorongan dan ransangan kepada masyarakat Desa Mentuda untuk terus merawat dan sekaligus mempertahan tradisi Melayu dalam bentuk penampilan baru. Penampilan baru ini tentunya bukan lagi bertujuan memanggil orang bunian yang sebenarnya berhubungan dengan dunia mistis. Tari jenjang yang ditampilkan dalam bentuk baru dikemas dalam bentu tarian kontemporer. Lagu-lagu memanggil bunian dijadikan lagu-lagu khas daerah Desa Mentuda yang boleh didendangkan di luar pertunjukan tari jenjang. Masyarakat yang peduli kepada kebudayaan Melayu khususnya di Desa Mentuda mempunyai tanggung jawab pelestarian kebudayaan daerah. Pihak pemerintah desa dan Lembaga Adat Melayu desa Mentuda punya peran penting dalam mendorong masyarakat terus melestarikan kebudayaan daerah. Tentunya pihak pemerintah desa, dan Lembaga Adat Melayu Desa perlu kebijakan tertentu agar tari jenjang dengan penampilan baru ini terus bertahan di tengah masyarakat. Walau pun orang Bunian tidak mau lagi merasuk ke dalam tubuh penari, tetapi lagu-lagu pengiring memanggil orang bunian, orang kayangan, orang kecik atau pun orang halus, perlulah didendangkan sepanjang zaman. **