Menulis dan Takdir Perjalanan Hidup

0
314

Tahun baru bagi orang lain mungkin banyak makna. Ada harapan, ada pula target yang tentu lebih baik dari tahun sebelumnya. Tapi bagi saya tahun baru tak ada artinya. Tak ada istimewanya. Sama halnya dengan hari ulang tahun yang juga tak berarti bagi saya sehingga tak pernah dirayakan. Cukup hanya diingat.

Meski tak menganggap tak ada yang istimewa di momen tahun baru, bukan berarti saya tak punya kisah di tahun baru. Cerita pertama terjadi tanggal 1 Januari 2002. Hari itu saya mulai terjun ke dunia entah berantah, mencari berita. Beberapa hari sebelumnya, saya diterima bergabung jadi reporter muda koran Semangat Demokrasi di Padang. Nah, penugasan pertamanya mulai tahun baru itu.

1384106_10200741909969746_486840052_n

Bos saya waktu itu, Hidayat yang kini menjabat anggota DPRD Sumbar meminta para reporter muda yang baru bergabung untuk menulis berita tentang tahun baru dan kehidupan muda mudi mahasiswa di Kota Padang. Saya masih ingat orang pertama yang saya wawancarai bukan pejabat, tapi ketua RW di Ketaping, Kuranji. Beliau kebetulan juga ketua Muhammadiyah setempat.

Inilah awal semuanya menjalani hidup sebagai pencari berita. Walau berstatus reporter muda, bangganya bukan main. Maklum, saya saat ini baru kuliah tahun tiga. Gaji tak seberapa. Kami biasa tak menyebut gaji, tapi honor. Paling tinggi Rp125 ribu. Tapi hati senang saja menjalani. Soalnya, uang bulanan dari kampung juga tetap jalan he…he.

Sebulan pertama masuk, senior sesama reporter ganasnya minta ampun.Jangan coba-coba memakai komputer yang dipakainya, habislah kita kena semprot. Itu belum seberapa jika dibandingkan masuk ke wilayah liputannya, kita pun diusir. Pernah saya diajak teman wartawan lain jalan-jalan ke Balai Kota Padang dan ketemu salah seorang senior di sana. Ia marah besar karena saya masuk wilayah liputannya.

Delapan bulan di Semangat Demokrasi, kami reporter muda, antara lain Restu Pramona kini PNS Pemko Batam, Gusliyanti (Singgalang), Budi Satria, Zulfadli dan bang Novri kami banyak belajar. Di awal-awal, Budi dan Restu yang beritanya paling banyak. Baru saya dan Yanti. Bang Nov saat itu yang paling banyak mengeluh (he…he…sory bang). Saya dan Restu banyak dilatih bang Hidayat, sedang Budi, Yanti dan Zul lebih dekat dengan pemred pak Infai.

Saat koran Semangat Demokrasi tak bersemangat lagi alias mati, sekitar bulan Agustus 2002 saya pindah bersama beberapa rekan ke tabloid ekonomi Forum Bisnis yang terbit di Padang yang akan diterbitkan. Mantan bos di Semangat Demokrasi, Hidayat yang mengajak. Selain saya juga bergabung redaktur Semangat Demokrasi, bang Jumadi (kini anggota DPRD Padang), Firdaus, dan sejumlah reporter senior, Zetri Murni dan Elfi Susanti. Layouter dipegang Dani Rahmat

Forum Bisnis bukan tabloid sembarangan. Modelnya mirip tabloid ekonomi Kontan. Kantornya pun mantap menyewa sebuah ruangan di hotel bintang lima, Bumi Minang di Jalan Bundo Kanduang Padang. Pemprednya Awaluddin Awe, mantan koresponden Bisnis Indonesia di Padang dan Mimbar Minang. Hidayat jadi redpel, Jumadi dan Firdaus memegang jabatan redaktur. Ada lagi redaktur lain bernama Noverry Darwin yang memegang halaman otomotif.

Di jajaran reporter selain Zetri dan Elvi, ada Gusnaldi Saman (Singgalang), kemudian baru bergabung Youngster Twin, Ari Ashadi dan Nila Sukhrina. Terakhir baru masuk Adrian Putra yang menjabat pemimpin perusahaan dan Jonnedy Setiawan alias Jonnedy Kambang (kini koresponden Trans TV di Padang). Bang Jon, biasa saya panggil awalnya jadi korlip dan kemudian naik jadi redpel.

Sama halnya dengan Awaluddin Awe, pendidikan formal Jonnedy tak tinggi alias kuliahnya tak selesai-selesai. Namun, ia sangat jago. Selain jago menulis, ia juga jago melobi. Samahalnya dengan pak Awe. Jonnedy sebelumnya pernah di Padang Ekspres dan juga jadi kontributor Reuters dan Pantau.

Usia Forum Bisnis tak sampai dua tahun. Sayang sekali, padahal namanya sudah harum di Sumbar. Tabloid yang kertas cetakannya mewah, HVS. Beritanya murni ekonomi. Ditambah suplemen otomotif dan profil. Jelang akhir 2003, Forum Bisnis tak terbit lagi. Media pertama yang fokus soal ekonomi di Sumbar resmi ditutup setelah rapat di suatu sore antara jajaran redaksi dan usaha di kantor kedua jalan Gunung Pangilun.

Setelah dari Forum Bisnis, saya sempat dua pekan ikut bergabung di koran mingguan Padang Post. Namun, saya tak melihat ada pengharapan di sana. Kuliah saya saat itu sudah selesai karena sudah diwisuda April 2003. Rencananya dari Padang, saya ingin mencoba peruntungan baru di Pekanbaru. Dua pekan saya jalan-jalan ke Kota Bertuah itu. Abang senior di kampus Sastra Unand, Hary B Koriun (Riau Pos) yang sama-sama gila bola menawarkan untuk pergi ke Batam dan bergabung dengan Sijori Mandiri.

Nah, awal tahun baru 2004, saya hijrah ke Batam dan langsung bekerja di Sijori Mandiri (kini jadi Haluan). Entah jenuh, tak ada tantangan baru atau ingin mencari kehidupan yang lebih baik, Mei 2005 saya pindah lagi ke Batam Pos di Batam. Inilah koran saya terlama dan terakhir. Setelah sembilan tahun, tepatnya bulan Mei 2014, saya pamitan. Banyak suka duka selama sembilan tahun di koran yang tagline pertama dan terbesar di Kepri ini. Saya pensiun karena suratan takdir. Tes pertama dan lulus jadi aparatur sipil negara di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri tahun 2014. Status wartawan boleh berlalu. Namun, menulis semoga selalu menjadi panggilan jiwa. “Teruslah menulis, apapun pekerjaanmu nanti. Selagi fisik masih sehat,”kata Indra Sakti Nauli, wartawan senior di Padang yang dulu pernah jadi mentor kami.** (catatan hidup seorang admin website).