Mengenang PDRI dan Hari Bela Negara

0
3517

oleh:
Dedi Arman
Staf BPNB Kepri

Sejak 2006, peristiwa kelahiran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) tanggal 19 Desember 1948 diperingati sebagai Hari Bela Negara (HBN). Sayangnya HBN hingga tahun 2017 ini terasa kurang gaungnya. Secara nasional gaungnya tidak luas. Mengutip Sejarawan Gusti Asnan, ada kesan HBN tidak diterima secara nasional.

Banyak masyarakat yang tidak tahu tentang peristiwa PDRI yang sangat bersejarah dalam menegakkan eksistensi bangsa ini. Di luar Sumatra Barat, rata-rata warga Indonesia lain tidak mengetahui bagaimana kelahiran PDRI yang menunjukkan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal Ini merupakan dosa sejarah dari rezim orde lama dan orde baru. Dosa sejarah karena ingin menghilangkan peristiwa PDRI dalam pentas sejarah. Jika PDRI tidak ada, dapat dikatakan RI akan lenyap dalam peta politik dunia. Bahkan, penjajah Belanda leluasa mengatakan bahwa Indonesia telah bubar karena pemimpinnya ditawan dan daerah-daerah jatuh ke tangan Belanda.

Akhir tahun 1948, Belanda melakukan agresi militer keduya. Soekarno-Hatta mengirimkan telegram berbunyi:“Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi belanda telah mulau serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara. Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra.

Telegram tak sampai ke Bukittinggi, tapi saat bersamaan Mr Syafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif. Dalam sebuah rapat di dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi tanggal 19 Desember 1948, diusulkan dibentuk PDRI. Gubernur Sumatra, Mr T.M Hasan menyetujui usulan itu demi menyelamatkan Negara RI. PDRI dijuluki penyelamat republik. Dengan mengambil lokasi perjuangan di hutan belantara ‘somewhere in the jungle di daerah Sumatra Barat, RI tetap eksis meski Soekarno-Hatta ditawan Belanda. (Asvi Warman Adam,2005).

Selama lebih kurang delapan bulan keberadaannya (Desember 1948 – Juli 1949), PDRI berhasil menjalankan tugasnya sebagai pemerintahan alternatif dalam suasana
pengungsian. Sesuai dengan sifatnya, darurat, PDRI memimpin pemerintahan secara mobil, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sambil meneruskan perjuangan dengan
gerilya. Meskipun dalam keadaan serba berkekurangan, PDRI pada gilirannya memainkan peran sentral dalam mengintegrasikan pelbagai kekuatan perjuangan yang bercerai-berai di
Jawa dan Sumatera dan pada saat yang sama mendorong pemulihan perjuangan diplomasi dengan masyarakat internasional, termasuk dengan Dewan Kemananan PBB.

Kiprah PDRI yang heroik dapat dilihat dalam buku Somewhere in The jungle : Pemerintah Darurat Republik Indonesia : Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan karya Mestika Zed.
Merenungkan kembali episode sejarah 69 tahun yang lalu itu amat banyak pelajaran sejarah yang bisa dipetik. Pertama, sejarah PDRl adalah batu ujian pertama bagi keutuhan
negara nasional karena perjuangan kemerdekaan pada masa itu akhirnya berhasil melewati ujian terberat setelah mengalami ancaman disintegarsi bangsa, ketika agresi militer Belanda
membuat kekuatan Republik bercerai-berai, tetapi tetap bersatu. Episode PDRI dengan jelas juga menunjukltan betapa partisipasi rakyat lokal memainkan peran sentral, sebab jika
pemimpin yang mengungsi ke pedalaman itu tidak dijamin keselamatan nyawanya oleh rakyat atau kalau tidak disubsidi makannya oleh rakyat, niscaya nasib mereka hilang ditelan
sejarah.

Kedua, meminjam kata-kata sejarawan terkemuka negeri ini, Sartono Kartodirdjo, “PDRI adalah soal to be or not to be Republik. Tanpa PDRI, Republik yang diproklamasikan
beberapa tahun sebelumnya itu, nyaris tenggelam buat selama-lamanya. Namun berkat PDRI, Republik bisa kembali ke Yogya. Dengan kata lain, PDRl mengembalikan “gagang ke
tampuknya”.

Ketiga, soal the ethic of power (etika kekuasaan). Meskipun PDRl dibentuk dan didukung sepenuhnya oleh pemimpin Sumatera Barat, hanya sedikit saja tokoh Sumatera Barat yang duduk dalam kepemimpinan puncuk tanpa merasa perlu mengklaim diri mereka sebagai “Putra asli PDRI”. Lebih penting lagi, betapa Sjafruddin dan pemimpin Sumatera Barat dengan kerelaan dan penuh patriotisme bersedia menyerahkan kembali
kekuasaan kepada pemimpin di Yogya, meskipun, mereka pada taraf tertentu telah dilangkahi oleh pemimpin “terrace” Bangka yang ditawan Belanda dalam mengambil keputusan-keputusan penting mengenai negara dan bangsa lewat perundingan tanpa membawa nama PDRI. Padahal, kalau mereka mau, mereka sebenarnya bisa dan mampu menahannya atau tidak menyerahkan PDRl ke Yogya.

Sosialisasi

Betapa vitalnya peranan PDRI dan diakui pemerintah dengan penetapan Hari Bela Negara, harusnya lebih tersosialisasi ke tengah masyarakat. Peringatan HBN tak hanya dalam bentuk upacara bendera. Namun, harus ada upaya untuk menggelorakan momen itu agar tidak hilang dari memori anak bangsa. Banyak cara untuk sosialisasi, bisa melalui pembuatan film dokumenter, pemutaran film, atau napak tilas.

Harus dipahami, HBN bukannya milik masyarakat Sumbar dan perayaannya tak hanya di daerah itu. Bukan mengecilkan arti perayaan harus besarlain. Banyak hari besar lain yang perayaannya besar-besaran, meskipun dalam kesejarahannya nilainya jauh lebih kecil dari HBN. Malah ada hari besar nasional yang baru ditetapkan di zaman Presiden Jokowi, tapi diperingati besar-besaran dari tingkat nasional hingga ke tingkat
kelurahan.

Tak hanya sosialisasi, dalam kurikulum mata pelajaran sejarah atau IPS, kiprah PDRI yang selama ini tak jadi bahan perhatian juga mesti menjadi catatan. Guru-guru sejarah jangan ikut-ikutan lupa sejarah
dan tak mengenal eksistensi PDRI dalam panggung sejarah. Alangkah bahaya kalau nantinya para siswa menyamakan PDRI dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). PDRI dan PRRI lokasinya sama-sama di Sumbar namun peristiwanya tak berkaitan dan sangat vatal jika ada yang menyamakan. PDRI tahun 1948 menyelamatkan wajah republik tahun 1948, sementara PRRI bentuk perlawanan masyarakat Sumatra Tengah tahun 1958 pada pemerintah pusat.

Kalau dibiarkan dan lemahnya sosialisasi, kesalahan pemahaman seperti ini terus akan terjadi. PDRI akan terlupakan. Hari Bela Negara tinggal seremonial dan kehilangan rohnya. Mari introspeksi diri dan memulai sosialisasi. Selamat Hari Bela Negara. ** (terbit di Harian Tanjungpinangpos, 22 Desember 2017).