oleh
M. Ali Surakhman (Peminat Sejarah di Jambi)
Ratumas Sina lahir di Kampung Pudak, Kumpeh pada tahun 1887, adalah putri tunggal zuriat pernikahan Datuk Raden Nonot (nama sebenarnya belum ditemukan) dari Suku Kraton dengan Ratumas Milis binti Pangeran Mat Jasir. Ratumas Sina adalah saudara sepupu Ratumas Zainab, sejak bayi sehingga masa kanak-kanak dibesarkan dalam kawasan perkebunan di Paal 8 belakang kampung Pudak.
Diawal tahun 1900 memasuki usia 13 tahun Ratumas Sina dinikahkan dengan salah seorang cucu dari Pangeran Poespo dari kerabat ibunya Permas Kadipan yang
beraja di Merangin. Suaminya (belum diketahui namanya) adalah salah seorang anggota pasukan berani mati dibawah komando Wakil Panglima Perang wilayah Merangin (Pangeran Haji Umar) yang juga adalah paman dari Ratumas Sina.
Setelah pernikahan tersebut, dimulailah babak baru kehidupan Ratumas Sina mengikuti
suaminya berjuang bersama Pangeran Haji Umar sebagai pasukan komando. Pasukan
Pangeran Haji Umar sangat disegani dan ditakuti oleh pasukan Belanda karena kemampuan perang gerilya yang taktis dan mematikan dengan salah satu ciri khas
senantiasa melakukan penyerangan dimalam hari. Kelompok pasukan ini bergerak dinamis
dalam hutan belantara yang lebat antara Merangin sampai ke daerah ulu Muaro Tebo.
Belum genap satu tahun pernikahannya 1902, suami Ratumas Sina gugur dalam sebuah serangan terhadap markas pasukan Belanda di Sungai Alai oleh pasukan Pangeran Haji Umar.
Dalam serangan pasukan Pangeran Haji Umar tersebut banyak serdadu Belanda berhasil
dibunuh, ratusan senjata serta amunisi (misiu) berhasil dirampas untuk digunakan menyerang serdadu Belanda dikesempatan penyerangan berikutnya.
Pimpinan pasukan Belanda di Sungai Alai marah besar terhadap Pangeran Haji Umar dan
pasukannya memperlakukan mayat suami Ratumas Sina dengan biadap dengan kekejaman yang luar biasa. Kedua tangan mayat dibentangkan pada sebatang kayu serta dipaku serta kulit kepalanya dikocek diletakkan dihaluan sebuah kapal, dipamerkan kepada halayak ramai. Tindakan biadap tersebut dilakukan serdadu Belanda untuk memukul mental rakyat yang membantu perjuangan serta untuk memancing emosi Pangeran Haji Umar dan pasukan agar keluar dan melakukan untuk perlawanan terbuka. Atas pertimbangan untuk perjuangan yang lebih besar Pangeran Haji Umar dan pasukan tidak terpancing dan meneruskan perjalanan menerobos belantara hutan. Sampai saat ini tidak seorang pun yang mengetahui akhir dari nasib yang dialamai mayat suami Ratumas Sina, tak seorangpun yang tahu berapa lama mayat beliau disiksa serta tak juga diketahui dimana pusara atau kuburnya.
Dengan ditangkap dan disiksanya mayat suami Ratumas Sina tersebut, justeru semakin
membakar semangatnya untuk terus berjuang mengusir penjajah Belanda. Bersama pamannya Pangeran Haji Umar Puspowijoyo, Pangeran Seman Jayanegara, Pangeran Diponegoro (Raden Hamzah) dan pasukan, Ratumas Sina keluar masuk hutan belantara. Setelah penyerangan di Sungai Alai pasukan ini secara berkala terus melakukan serangan mendadak terhadap kedudukan-kedudukan penting serdadu Belanda, antara Ulu Tebo, Muaro Bungo samapai ke Merangin, dalam setiap serangan gerilya yang dilakukan berahir dengan terbunuhnya beberapa serdadu Belanda. Selama mengikuti pergerakan pasukan gerilya tersebut, Ratumas Sina berkesempatan mempelajari ilmu seni bela diri dan ilmu-ilmu kesaktian kanuragan dari paman Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman dan Pangeran Diponegoro serta hulubalang-hulubalang tangguh lainya.
Dipenghujung 1904, ketika Pangeran Haji Umar dan pasukan berada disekitar pedalaman batasMuaro Bungo dan Merangin, dating beberapa orang hulubalang utusan dari Alam Kerinci yangmenyampaikan berita tentang kelicikan Belanda sehingga wakil Panglima Perang daerah Alam
Kerinci (Depati Parbo) tertangkap dalam sebuah jebakan yang dirancang Belanda dan anteknyatuan Regent. Mendengar kabar tersebut Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman (Pangeran Mudo)dan Pangeran Diponegoro serta hulubalang dan pasukannya bersama beberapa hulubalang dariAlam Kerinci menyusun rencana penyerangan terhadap kedudukan serdadu Belanda dan tuanRegent di Alam Kerinci.
Dalam perundingan tersebut disepakati Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman dan hulubalangasal Alam Kerinci serta sebagian sisa pasukan akan bergerak naik ke Alam Kerinci, sementaraPangeran Diponegoro, Ratumas Sina dan sisa pasukan mundur kepedalaman kearah yangdisepakati menjauh dari daerah-daerah yang telah dikuasai serdadu Belanda. Pasukan PangeranDiponegoro, Ratumas Sina juga diperintahkan untuk mengurangi serangan gerilya terhadapkedudukan serdadu Belanda di sekitar Merangin dan Muaro Bungo. Mengingat kekuatanpasukan sudah terbagi, penyerangan hanya dilakukan apabila sangat perlu dan diperkirakanmenang dengan telak, serta serdadu Belanda berada jauh dari balabantuan. Pangeran Diponegorodan Ratumas Sina juga mendapat tugas memperkuat pasukan dengan merekrut para pendekarpendekar dan orang-orang pilihan disekitar Muaro Bungo dan Tanah Sepenggal yang bersedia
bergabung melanjutkan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Dalam perjalananya Pangeran Diponegoro dan Ratumas Sina beserta pasukan menuju suatu tempat yang tersembunyidiperbatasan antara Muaro Bungo dan Alam Kerinci yang kemudian disebut dengan Pemunyian,disanalah dilakukan penggalangan kekuatan baru.
Akhir Kehidupan Ratumas Sina
Takdir perjalanan hidup anak manusia memang tak dapat direncanakan dan tak seorangpun yang tahu pasti, 7 tahun di Lumajang sebagai manusia buangan penjajah, Ratumas Sina ahirnya dilamar menjadi isteri oleh Sutan Gandam, seorang penghulu di Muaro Bungo dari suku Minang (Padang) pada masa penjajahan Belanda. Sutan Gandam adalah duda dengan beberapa orang anak yang telah menemukan Ratumas Sina bersimbah darah di medan pertempuran Pemunyian. Jadilah Ratumas Sina janda kembang orang buangan Belanda itu sebagai isteri Sutan Gandam diusianya terhitung masih muda yaitu 27 tahun dan selanjutnya diboyong pulang oleh suami dari
tanah pembuangan.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, kiranya pernikahan tersebut sangat ditentang oleh anak-anak Sutan Gandam, belum satu tahun pernikahannya Ratumas Sina diasingkan suaminya ketengah hutan di Muaro Bungo agar terjauh dari siksaan jasmani dan batin yang dibuat oleh anak-anak tirinya. Ditengah hutan lebat itu Ratumas Sina sendiri tertatih tatih merajut harapan, namun wanita pendekar yang pernah menjadi pejuang sejak usia belia itu tak pernah
menyalahkan orang lain, hanya kepada Allah SWT tempat ia berserah diri dan tawakkal.
Berbulan-bulan dalam kesendirian dikebun tidak membuatnya putus asa Ratumas Sina telah tertempah dengan baik oleh pengalaman selama 7 tahun dalam perjuangan bersama Pangeran Haji Umar, Pangeran Seman, Pangeran Diponegoro dan pasukan. Perutnya terbiasa diisi dengan makan pucuk-pucuk kayu kayan, buah-buahan hutan dan umbi-umbian liar yang boleh dimakan dan banyak dijumpai dalam hutan belantara, hidupnya terbiasa dalam belantar hutan.
Disuatu hari ketika menjelang waktu dzuhur, ketika Ratumas Sina menumbuk cabe dengan
sebatang kayu untuk membuat sambal diatas sebuah batang kayu besar yang telah roboh, ia pandangi langit. Didapatinya suatu keanehan pada langit, pada langit terbentuk sebuah lobang besar yang memancarkan sinar yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, hatinya membatin mungkin inilah pintu langit yang terbuka itu. Sejak itulah secara perlahan rezekinya diperoleh secara perlahan, kebun yang dibangun menjadi dan apapun yang diusahakan memberikan hasil yang diluar dugaan banyaknya. Kekayaan dan harta dunia miliknya mulai berlimpah, satu persatu orang-orang yang membenci dan membuangnya mulai merapat, seiring waktu jadilahRatumas Sina sebagai salah seorang yang terkaya di Muaro Bungo. “Srikandi” itu telah kembali kehadirat Allah SWT, diusia 80 tahun.
Sumber :
Makalah Dpt Alimin, Perjuangan Rakyat Kerinci, Dialog sejarah yang diselenggarakan oleh Museum Perjuangan Rakyat Jambi pada 12 Juli 2012
Sabaruddin Akhmad, Srikandi dan Wira Kadipan Dalam Perlawanan Terhadap Penjajahan
Belanda (www.sabarudin6kadipan.blogspot.com/2014/11/srikandi-dan-wira-kadipandalam.html)