Mencas Energi Jurnalistik, Mengulang Kaji Lama yang Terlupa

0
141
Dwi Nurdadi (baju biru), Edukator Museum Sumpah Pemuda diwawancara peserta workshop pengelolaan website, Kamis (30/3) lalu di Museum Sumpah Pemuda, Jakarta

Pensiun sebagai wartawan di Kepri setelah bekerja 12 tahun, ternyata tak bisa melepaskan kami dari dunia Jurnalistik. Terasa dekat selalu dihati. Apalagi sehari-hari dapat tugas menjadi admin website kebudayaan di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri, tempat kami bekerja. Makanya, setiap ada workshop jurnalistik kebudayaan, disambut dengan bahagia. Mencas energi jurnalistik, mengulang-ulang kaji lama yang terlupa.
=======================================================
Ini tahun kedua kami dapat amanah jadi admin website ditempat bekerja. Lumayan juga, sudah dua kali dapat ikut workshop pengelolaan website kebudayaan. Dengan senang hati kami dapat ikut workshop pengelolaan website, 29 Maret-1 April 2017 lalu di Hotel Royal, Kuningan. Materinya lumayan menarik. Pematerinya lebih berkualitas dibandingkan tahun 2016 lalu.

Namanya workshop pasti ada pelatihannya. Itu yang menarik karena hari kedua workshop, para peserta disuruh praktek ke lapangan. Sejumlah peserta dibagi atas beberapa kelompok dan dapat tugas meliput ke sejumlah lokasi. Ada yang kebagian tugas berkunjung ke Museum Kebangkitan Nasional, Galeri Nasional, Museum Sumpah Pemuda, dan ada juga yang pergi ke Monas.

Dari siang hingga sore, peserta di lokasi masing-masing melakukan peliputan. wawancara dengan petugas dan tak lupa mengambil foto. Malam harinya, para peserta diminta berita singkat (straight news) dan feature kunjungan. Selain itu, para peserta juga mengirimkan foto-foto yang mereka jepret ke email panitia. Jadinya malam itu, para peserta layaknya wartawan menulis berita dengan cara dikebut. Deadline-nya pukul 23.00 WIB. Peserta mulai menulis pukul 19.30 WIB.

Hari ketiga workshop, ada evaluasi foto-foto yang telah diterima panitia. Satu-satu foto ditampilkan dan dibedah narasumber fotoggrafi dalam workshop ini, Sri Sadono. Mas Dono dengan rinci menjelaskan kelebihan dan kelemahan foto yang dijepret peserta. Ia juga menanyakan alasan pengambil gambar dan apa pesan yang ingin disampaikan. Sayangnya, hasil tulisan yang dikirim ke panitia, tak ada dievaluasi. Hanya hasil foto saja yang dibahas.
Dalam materinya, Sri Sadono memberikan tips-tips yang berguna dalam pengambil foto untuk keperluan berita website. Hal yang sering terlupa bagi orang adalah setiap foto yang ditampilkan harus ada keterangan foto yang jelas. Dalam caption foto, katanya harus tuntas penjelasan 5 W (what, who, where, when dn why) yang menjadi standar dalam jurnalistik. Ini berguna dalam penyampaian pesan dalam setiap foto yang dimuat.

Selain materi foto, materi lain yang cukup menarik disampaikan Wisnu Nugroho, wartawan Kompas yang terkenal sebagai wartawan istana. Ia menjelaskan, berita yang bagi orang lain tak penting tapi kalau dikemas dengan baik bisa menjadi penting. “Tulislah sesuatu yang nampak tapi bernilai. Sesuatu yang tak penting, kalau ditulis bisa menjadi penting. Tulis sesuatu yang ringan-ringan tapi memberikan informasi yang berguna,”kata penulis Inu yang menulis buku tentang Pak Beye dan Istananya.

Selain materi teknis jurnalistik, ada juga materi kebijakan pengelolaan website Kemdikbud yang disampaikan Anandes Langguana dari Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemdikbud. Anandes memberikan tips agar website kebudayaan yang dikelola ramai diaksis pengunjung. “Share dimedia sosial apakah facebook, twitter, instagramm youtube dan lainnya. Orang pasti ramai membaca,”kata Anandes.

Kasubbag Kerjasama, Sesditjen Kebudayaan, Darmawati juga meminta admin website kebudayaan di satker masing-masing memaksimalkan media sosial untuk publikasi berita yang ada di website-nya. “Banyak orang yang mengakses medsos ketimbang website. Makanya kita harus manfaatkan medsos untuk publikasi berita website kita,”ujarnya.

Workshop pengelolaan wesbite yang dibuka Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid itu diharapkan jangan dilakukan hanya sekali setahun. Idealnya bisa sekali enam bulan sehingga koordinasi dan sinergi dalam publikasi website kebudayaan jadi lebih maksimal. Keberadaan standar operasional (SOP) yang telah dibuat patut dipuji dan menjadi dasar bagi admin website untuk bekerja.

Harapannya, ke depan website kebudayaan baik di pusat maupun di unit pelaksana teknis (UPT) bisa lebih meningkat mutunya, baik kuantitas maupun kualitas tampilan, berita dan foto. Pimpinan unit kerja juga diminta lebih perhatian dan menyadari pentingnya publikasi, khususnya melalui website. Hal ini yang sangat disadari oleh Kabag Penganggaraan dan Perencanaan, Firta Arda. “Zaman saat saya menjabat Kepala BPCB Batusangkar, saya tak fokus dan menyadari pentingnya publikasi. Kami sibuk masalah fisik dan kerjaan lain. Ini jadi pelajaran. Nanti kami meminta kepala satker dan unit kerja tahu betapa pentingnya publikasi. Apa yang kita kerjakan jika tak ada publikasi, takkan diketahui masyarakat luas,”kata Firda yang menutup workshop.

Tugas berat menanti. Menaikkan jumlah berita dan foto. Terpenting menaikkan kualitasnya, tanpa mengabaikan tampilan website. Adanya workshop ini dapat menambah dan mencas energi untuk terus belajar jurnalistik. Belajar itu tak ada batas waktu, tak ada batas usia. Belajar jurnalistik itu menyenangkan. Jadi admin website kebudayaan membuat saya terasa terus menjadi wartawan. Alangkah nikmatnya.** (Catatan workshop pengelolaan website kebudayaan, 29 Maret-1 April di Hotel Royal Kuningan)