Masa Depan Itu Bernama Interkoneksi Listrik Batam-Bintan

0
1010
Interkoneksi listrik Batam-Bintan

Batam yang gemerlap selalu membuat masyarakat Tanjungpinang dan Bintan cemburu. Bukan iri karena banyaknya mal, gedung pencakar langit atau banyaknya pusat hiburan. Batam yang terang benderang,listriknya jarang byar pet. Pengelolaan listrik Batam oleh PT Pelayanan Listrik Nasional Batam yang tanpa krisis listrik selalu menjadi impian.

Padahal dari usia, Batam terbilang jauh lebih muda ketimbang Tanjungpinang dan Bintan yang dulunya bernama Kabupaten Kepri. Tanjungpinang tahun 1958 sudah menjadi ibukota Provinsi Riau. Bandingkan dengan Batam yang awal tahun 1970-an baru mulai dibangun. Kondisi kelistrikan Pulau Bintan yang wilayahnya mencakup Kota Tanjungpinang dan Bintan jauh tertinggal. Layanan listrik Batam dan Pulau Bintan bedanya sangat kontras.

Pada Tahun 2001, Tanjungpinang menjadi kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001. Setahun kemudian yakni pada Tahun 2002, berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002, Provinsi Kepri terbentuk sebagai pemekaran wilayah Propinsi Riau. Tanjungpinang ditunjuk kembali sebagai ibu kota propinsi. Perubahan status kota Tanjung Pinang tentunya memicu lonjakan pertumbuhan perekonomian dan kependudukan. Banyak gedung-gedung baru, ruko baru dan semakin menjamurnya perumahan baru. Kondisi yang sama juga terjadi di Bintan yang wilayahnya semakin maju. Terlihat pesatnya perkembangan insfrastruktur jalan yang membelah wilayah Bintan, baik lintas barat, tengah dan jalur lama. Perkembangan wisata Bintan juga makin maju dengan semakin banyaknya dibuka wisata baru, termasuk perluasan investasi wisata yang sudah ada. Hal yang ditakutkan pun terjadi. Pulau Bintan krisis listrik sejak beberapa tahun terakhir.

Sudah jadi pameo tidak Tanjungpinang namanya kalau dalam sepekan, listriknya tak padam. Melewati jalan-jalan utama di pusat kota Tanjungpinang, bisa dipastikan melihat ruko-ruko, kios dan kedai yang didepannya ada genset. Seringnya listrik padam menyebabkan pelaku usaha, juga perkantoran, sekolah atau rumah ibadah terpaksa menjadikan genset kebutuhan yang wajib. Listrik padam waktunya tak bisa ditebak. Tak jarang dalam sehari listrik padam beberapa kali. Kondisi ini sudah terjadi sejak beberapa tahun belakangan.

 

Krisis listrik terjadi karena minimnya investasi listrik baru di Pulau Bintan. Berawal dari terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada beberapa tahun yang lalu, pembangunan beberapa pembangkit yang semula telah direncanakan, menjadi terkendala. Selain itu, keterbatasan alokasi dana pemerintah untuk berinvestasi pada pembangunan pembangkit baru, menyebabkan penambahan pasokan tenaga listrik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan tenaga listrik. Akibatnya, terjadi krisis pasokan tenaga listrik. Sistem ketenagalistrikan di Pulau Bintan, termasuk daerah yang mengalami krisis pasokan tenaga listrik. Pada tahun 2006, sistem tenaga listrik Tanjungpinang dan Tanjunguban, dua sistem ketenagalistrikan di Pulau Bintan ditetapkan sebagai daerah dalam kondisi krisis. (Sahat Simangunsong, Tesis UI,2009).

Dalam tesisnya, Sahat menjelaskan, PT PLN (Persero) waktu itu telah merencanakan pembangunan pembangkit PLTU batubara bekerjasama dengan pihak swasta melalui skema Independent Power Producer (IPP) dengan kapasitas 2×10 MW. Akan tetapi karena jadwal penyelesian pembangkit tersebut tidak sesuai dengan rencana semula, maka pada tahun 2008 Sistem Tanjungpinang telah mengalami defisit daya listrik sebesar 6.7 MW karena beban puncak sistem mencapai 42.3 MW sementara daya mampu sistem hanya 35.6 MW. Dengan perkiraan beban puncak 46 MW, maka defisit daya akan mencapai 10.4 MW.

Sistem Tanjunguban memiliki cadangan daya sekitar 1.6 MW, dimana beban puncaknya diperkirakan sebesar 4.9 MW sementara daya mampu pembangkit mencapai 6.5 MW (gambar 1.2). Akan tetapi karena cadangan sistem lebih kecil dari kapasitas unit pembangkit terbesar (2 MW), maka Sistem Tanjung Uban masih berada dalam kondisi krisis. Sementara itu, karena letak strategis Tanjung Uban yang berada diantara Pulau Batam dan Kota Tanjungpinang, Tanjunguban juga mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi yang berdampak pada tingginya pertumbuhan beban puncak sistem yang mencapai 11 persen pertahun hingga tahun 2018.

Melihat tingginya pertumbuhan beban pada kedua sistem tenaga listrik tersebut, jika sistem pasokan tidak segera diperbaiki, maka kondisi krisis yang terjadi saat ini, akan terus berkepanjangan dan bahkan semakin parah. Perlu dilakukan penambahan pasokan tenaga listrik dengan segera, agar kedua sistem keluar dari kondisi krisis. Untuk jangka waktu yang lebih panjang, diperlukan suatu perencanaan sistem pasokan yang terukur dan mampu mengikuti pertumbuhan beban, agar kondisi krisis tidak terulang dimasa yang akan datang.

Interkoneksi dan Jasa HM Sani

Pemerintah daerah paham betapa krusialnya permasalahan listrik di Pulau Bintan. Kalau dibiarkan terlalu lama, Pulau Bintan menjadi sangat tidak ramah investasi. Investor enggan melirik. Gejolak sosial di masyarakat menjadi api dalam sekam. Masyarakat gampang terprovokasi untuk demonstrasi ke kantor PT PLN (Persero) Tanjungpinang. Kegaduhan dampak krisis listrik mudah terjadi. Pimpinan daerah dihabiskan waktunya untuk mengurus masalah-masalah sosial akibat dampak krisis listrik ini. Solusi dalam mengatasi masalah besar ini cuma satu, membangun interkoneksi kelistrikan Batam-Bintan.

Interkoneksi adalah sebuah jaringan penghubung antar beberapa pembangkit yang mensuplai pelanggan yang ada dalam sistem. Jadi Listrik yang dihasilkan oleh semua pembangkit dikumpulkan menjadi satu dan disalurkan ke seluruh sistem interkoneksinya. Manfaat sistem interkoneksi ini, antara lain meningkatkan mutu dan keandalan pasokan tenaga listrik, daerah yang surplus energi dapat membantu daerah yang defisit energi listrik, meningkatkan pelayanan kepada pelanggan, dan meningkatkan efisiensi biaya dalam pengelolaan penyediaan tenaga listrik. (www.pln.co.id).

PT PLN (Persero) menghubungkan sistem kelistrikan pulau Batam dengan pulau Bintan melalui jaringan listrik interkoneksi kabel listrik bawah laut 150 kilo Volt (kV). Proyek ini terdiri dari koridor barat berupa pemasangan kabel listrik bawah tanah 150 kV sepanjang 1.000 meter dan kabel listrik bawah laut sepanjang 3.450 meter dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Kasam di pulau Batam ke pulau Ngenang melewati pulau Tanjung Sauh, dua pulau itu terletak diantara Batam dan Bintan. Kemudian dilanjutkan koridor timur dengan memasang kabel listrik bawah laut 150 kV sepanjang 6.550 meter dari pulau Ngenang ke Tanjung Taloh di pulau Bintan.

Pembangunan interkoneksi itu mengalami beberapa kendala, terutama masalah hutan lindung hingga ganti rugi lahan. Masalah ini secara perlahan bisa dibereskan. Keberhasilan interkoneksi ini tak bisa dilepaskan dari jasa mantan Gubernur Kepri almarhum, HM Sani. Ia bekerja keras dalam mengatasi permasalahan di lapangan, termasuk aktif menjalin koordinasi dengan pihak PT PLN (Persero) dan pihak penegak hukum agar proyek jangan bermasalah dikemudian hari. HM Sani selalu memonitor kondisi PT PLN Batam dan PT PLN (Persero) Tanjungpinang setiap bulannya. Tak hanya itu, Sano juga  senantiasa ‘menjolok’ progres persetujuan hingga proses pembangunan. Pada siapa pun yang berkompeten, HM Sani selalu bicara tentang interkoneksi. (batampos.co.id)

PT PLN (Persero) akhirnya berhasil melakukan interkoneksi jaringan listrik Batam-Bintan setelah delapan tahun tertunda pengerjaannya. Langkah tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi kelistrikan di Pulau Bintan dan sekitarnya. Interkoneksi ini ditandai dengan beroperasinya Gardu Induk (GI) Sri Bintan berkapasitas 30 megavolt ampere (MVA). PLN juga berhasil menyelesaikan transmisi 150 kilovolt (kV) Tanjung Uban-Sri Bintan sepanjang 19,88 kilometerroute (kmr) dan memiliki 54 tower. Dengan energize-nya GI dan transmisi ini artinya interkoneksi listrik melalui kabel laut dari Batam menuju Bintan sudah bisa dinikmati masyarakat.  GI Sri Bintan telah masuk sistem pada 24 Juli 2016. Sebelumnya telah beroperasi GI 150 KV Tanjung Uban (30 MVA) dan GI Ngenang (10 MVA) bersamaan energized kabel laut Batam Bintan pada 10 November 2015.

Secara keseluruhan sistem interkoneksi Batam-Bintan terdiri dari 255 tapak tower listrik dan melewati Lintas Barat Tanjung Uban -Tanjung Pinang, serta ke Kijang. Amir mengungkapkan, Batam mempunyai daya berlebih yang bisa ditransfer sampai 200 MW ke Bintan. Nantinya, dengan sistem interkoneksi Batam- Bintan, kapasitas listrik di Bintan bisa meningkat menjadi 150 MW. Saat ini sistem kelistrikan Pulau Bintan masih ditopang Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) 20 kV, mulai dari Tanjung Uban sampai Kota Tanjung Pinang yang memiliki total daya terpasang sebesar 99,3 MW. Daya tersebut berasal dari PLTU Galang Batang , PLTD Suka Berenang, PLTD Air Raja dengan Total daya mampu sebesar 62,6 MW. Untuk mendukung sistem interkoneksi tersebut, PLN membangun tiga GI yakni Sri Bintan berkapasitas 30 MVA, Air Raja (2 x 30 MVA), dan Kijang (30 MVA). (Batampos,24/9/16).

Proyek ini berhasil karena kerjasama antara PLN dengan sejumlah pihak di Kepri untuk mendukung keberhasilan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan dibentuk ke dalam Tim Pengawalan dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4P) Kejaksaan Agung RI. Kemudian juga diwujudkan dengan ditandatanganinya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Perpres Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dengan adanya Perpres tersebut, gubernur serta bupati/walikota selaku penanggungjawab proyek strategis nasional di daerah diwajibkan juga memberikan perizinan dan non-perizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan proyek tersebut sesuai kewenangannya. Antara lain penetapan lokasi, izin lingkungan, dan izin mendirikan bangunan (IMB).

Keberhasilan interkoneksi listrik Babin yang merupakan salah satu mega proyek dari program kelistrikan Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) sebesar 35.000 MW itu juga tak terlepas dari banyaknya dukungan yang diberikan oleh masyarakat atau pemilik lahan serta tim tenaga kerja. Sebab mereka semua ikut membantu setiap proses pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan tersebut, dari pembebasan lahan yang dilintasi jalur SUTT hingga pendirian 256 tapak tower listrik sepanjang Jalur Lintas Barat Tanjunguban-Tanjungpinang sampai dengan Kijang.

Saat ini 100 persen listrik di Pulau Bintan bersumber dari pembangkit yang ada di Batam. Ini berkah dari interkoneksi yang saat ini telah terjadi. Biaya interkoneksi tak kurang dari Rp 2 triliun. Pembangunan interkoneksi tiada menggunakan APBD Kepri. Tak hanya melegakan masyarakat, PLN juga untung. PLN diperkirakan dapat menghemat Rp16 juta per jam atau Rp11,46 miliar per bulan. Diterapkannya interkoneksi Batam-Bintan merupakan babak baru sistem kelistrikan di Pulau Bintan, dari semula menggunakan SUTM 20 kV menjadi beralih menjadi saluran udara tegangan tinggi (SUTT) 150 kV. Dengan masuknya sistem interkoneksi Batam-Bintan ini diharapkan bisa memenuhi pasokan listrik dan melayani pelanggan Pulau Bintan yang telah mencapai 112.264 pelanggan, menambah pelanggan baru 2.422 yang telah masuk waiting list, meningkatkan rasio elektrifikasi di Pulau Bintan yang saat ini mencapai 84,84 persen, dapat menjadi katalisator pembangunan ekonomi dan industri di Pulau Bintan, serta mengurangi pemakaian bahan bakar minyak (BBM).

Masa depan Tanjungpinang sebagai ibukota provinsi bakal cerah dengan teratasinya permasalahan mendasar soal kelistrikan ini. Sebagai kota jasa, budaya dan pendidikan, ketersediakan suplai listrik menjadi jaminan, Tanjungpinang kota yang ramah untuk ditempati dan investasi. Begitu juga dengan Bintan yang menjadi ikon pariwisata Kepri. Ketersediaan listrik yang memadai, menjadikan daerah ini bakal terus maju sebagai daerah pariwisata, dan sektor lain yang menjadi andalan Bintan, seperti pertanian, perikanan dan juga tambang. Desa-desa di hinterland Bintan bakal teraliri listrik. Interkoneksi listrik dari Batam diyakini takkan berhenti sampai Pulau Bintan saja. Daerah-daerah lainnya di Kepri masih krisis listrik. Sebut saja Karimun, Natuna, Lingga dan Anambas.**