Makan di Kelung, Tradisi Melayu Timur Jambi

0
3142

Masyarakat Melayu Timur di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi memiliki tradisi unik. Namanya Makan di Kelung. Makan dikelung merupakan ritual yang terdiri dari beberapa prosesi yang dilakukan masyarakat dalam usaha menyembuhkan keluarga, atau sanak famili yang sakit. Mandi di Kelung hanya ada di daerah Melayu Timur yang mencakup Sabak Timur, Kampung Laut, Mendahara dan Nipah Panjang.
“Makan di Kelung hanya ada di Melayu Timur. Orangna Melayu asli di Sabak Timur, Mendahara, Nipah Panjang dan Kampung Laut,”kata Rosdiana, Kasi Tradisi Dinas Pariwisata, Kebudayaan dan Pemuda Olahraga Tanjabtim, Selasa (26/2) kemarin di Muara Sabak.

Penulis foto bersama di Kantor Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda Olahraga Tanjabtim.

Ia mengaku telah lama tak menyaksikan tradisi ini dilakukan lagi. Seingatnya sekitar tahun 1979 saat ia masih sekolah dasar. Makan di Kelung, katanya ritual pengobatan yang dipercaya akan membawa efek penyembuhan bagi si sakit. bahkan, di percaya pula akan membawa berkah, bagi masyarakat yang mengikuti ritual.
“Ritual Makan di Kelung mungkin tak dilaksanakan lagi karena banyak sebab. Perkembangan zaman kemajuan dunia media. Termasuk juga makin sedikitnya keturunan atau orang yang bisa mengobati dalam ritual ini. Biaya untuk acara Makan di Kelung juga besar,”ujarnya.

Kabid Kebudayaan Disparbudpora, Amiruddin menyebutkan, pihaknya ada rencana mengajukan Makan di Kelung sebagai warisan budaya tak benda (WBTB). Tentunya hal ini butuh kajian atau penelitian terlebih dahulu dan juga ada video perekaman. “Sejauh ini kami belum punya kajiannya. Video rekaman juga belum ada,”kata Amiruddin.

Tradisi Makan di Kelung ini merupakan representasi dari kepercayaan masyarakat Melayu Timur yang dulunya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.

Prosesi

Makan di Kelung, biasanya dilakukan di rumah si sakit atau di tempat-tempat yang dimungkinkan dalam pelaksanaan ritual, tidak ada pemilihan tempat secara istimewa, namun, dalam prosesi ini, peran sang dukun, sama pentingnya, sebagai pemimpin ritual.

Proses makan kelung diawali dengan penyiapan sesajen berupa kue mue yang dilakukan oleh orang-orang tertentu yakni ibu-ibu yang tidak lagi terkena haid.Proses pembuatan harus dilakukan dengan bersih dan suci, selanjutnya setelah itu dukun kampung akan memilih waktu yang tepat di mana seorang yang terkena penyakit diletakkan dalam sebuah kamar yang telah diatur sedemikian rupa untuk melakukan proses itu sendiri.

Kelung merupakan sarana dilaksanakannya ritual, berbentuk meja kayu persegi panjang, dan sudah berumur tua, kelung bukan sembarang kelung ini, dipercaya dapat menjadi media perantara, ketika berhubungan dengan kekuatan gaib.

Sebelum dilakukannya ritual, Kelung yang ditempatkan ditengah-tengah kerumunan masyarakat yang hadir, mulai dihiasi dengan beragam aneka bahan makanan, seperti ketan hitam, ketan kuning, kue-kuean dan sebagainya.

Makanan-makanan tersebut dicampur jadi satu, dan dibentuk bak rupa seekor buaya, yang merupakan simbol penguasa laut atau air, doa-doa pun didendangkan. Kerasukan roh sang leluhur pun terjadi, menandakan ritual pengobatan segera dimulai.
Sang pasien pun didudukkan menghadap sesajian. Pemimpin ritual mulai memainkan perannya, dengan pusaka terhunus dan mantra diujung lidah. sang dukun menggerakan kekuatan batinnya, mengusir segala kekuatan buruk, dan mengharapkan datangnya kekuatan baik demi kesembuhan si sakit.

Akhirnya batang tebu dipatahkan, menandakan selesainya ritual buang penyakit, pasien pun dipersilahkan makan dikelung. Setelah itu, masyarakat yang hadir, secara spontan, tanpa dikomando, mulai beranjak berebut berkah, dengan memakan makanan di kelung, tidak ada batasan umur maupun status sosial, semuanya berbaur menjadi satu. (dedi)