Mahmud Sang Pembangkang Persembahan Rida

0
741
Buku karya Rida K Liamsi, Mahmud Sang Pembangkang

Buku Sejarah Melayu terbilang langka. Apalagi ditulis penulis sejarah lokal. Ada kehausan menunggu lahirnya buku-buku yang mengupas negeri Melayu ini. Budayawan, Rida K Liamsi kini jadi penulis sejarah lokal yang produktif.

Sastrawan Melayu Kepri dan Riau, Rida K Liamsi (RDK) melucurkan buku sejarah terbaru berjudul Mahmud Sang Pembangkang tanggal 17 Juli mendatang di Perpustakaan Muhammad Yusuf Al Ahmadi, Tanjungpinang. Dalam catatan penulis, ini buku kedua RDK tentang sejarah. Sebelumnya, ia menulis buku berjudul Prasasti Bukit Siguntang Badai Politik di Kemaharajan Melayu 1160-1946 dan terbit tahun 2016 lalu. Selain menerbitkan buku puisi, ia juga telah menulis dua novel sejarah, Bulang Cahaya dan Megat.

Dalam sejarah Kesultanan Riau Lingga Johor dan Pahang, nama Sultan Mahmud ada empat orang. Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) yang paling tersohor. Membangun Pulau Penyengat dan memindahkan pusat kerajaan ke Daik Lingga. Siapakah Mahmud Sang Pembangkang. Namanya Sultan Mahmud Muzzafar Syah atau dikenal dengan nama Sultan Mahmud IV. Ia cicit Sultan Mahmud Syah III.

Dalam literatur sejarah, disebutkan Sultan Mahmud IV terkenal pembangkang terhadap penjajah Belanda, hingga akhirnya ia dimakzulkan. Cicit dari Sultan Mahmud Riayat Syah atau Mahmud III ini kemudian meninggalkan Daik Lingga dan wafat di Pahang yang dikenal dengan nama Marhum Pahang. Di Daik, ia membangun Istana Kota Batu yang kini tinggal puing-puing.

Istana ini adalah simbol perlawanan Sultan Mahmud IV. Dengan istana ini ia ingin menunjukkan inilah Sultan Melayu yang bisa juga hidup modren dan maju seperti orang-orang Eropa. Kisah pembangunan Istana Kota Batu sang Sultan tercatat dalam Syair Sultan Mahmud, dan sekumpulan syair yang berisi ribuan bait mengisahkan perjalanan kepemimpinannya. Membangun Istana yang juga menjadi tempat berlangsungnya pernikahan, antara adindanya Tengku Embung Fatimah dengan Yang Dipertuan Muda (YDM) ke X, Raja Muhammad Yusuf.

Buku Mahmud Sang Pembangkang editornya Rendra Setyadiharja dan kata pengantarnya oleh Muhammad Natsir Tahar. Penerbitnya, Sagang Intermedia Pers. Saat peluncuran,
buku dibedah Akademisi Abdul Malik (Umrah), Sejarawan M Amin Yacob, Kadis Kebudayaan, Ishak dan Zamzami A Karim (Stisipol). Sebagai catatan, idealnya dalam bedah buku, Yayasan Jembia Emas idealnya juga mengundang sejarawan akademisi. Di Kepri, ada peneliti sejarah di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri. Ada peneliti bergelar doktor sejarah.

Dalam kata pengantar buku ini, Muhammad Natsir Tahar menulis kekaguman salam takzim dan angkat topi tinggi–tinggi untuk Datok Seri Lela Budaya Rida K Liamsi. Hampir segala anasir yang pernah ada dalam gulungan besar sejarah Melayu sudah termaktub di dalamnya. Sebagian terpapar secara eksplisit, kemudian implisit dan sebagian lagi dalam bentuk clue, adalah tugas kita dan generasi mendatang untuk memecahkan teka – teki itu. Jika sejarah ditulis oleh seorang historian, yang kita dapat adalah literatur akademik an sich. Tapi bila dibiarkan seorang budayawan melakukan hal yang sama, ia akan coba mencerap semua dimensi sebagai satu kesatuan dan berusaha memadatkan rentang waktu yang demikian panjang, seperti Agustinus dalam De Civitate Dei telah menggambarkan bahwa sejarah sebagai pembeberan dari kemauan Tuhan mulai hari penciptaan alam sampai hari kiamat. Sejarah oleh Budayawan RDK adalah senyawa holistik antara teks, konteks, energi dan filosofi. Buku ini tak cukup disebut semi sejarah, tepatnya Sejarah Plus. **