Magnet Lada dalam Jalur Rempah Semenanjung Melayu

0
1785

Istilah jalur rempah belum familiar dan tak sepopuler jalur sutra. Penamaan jalur sutra mengacu pada komoditas dagang antarpelabuhan yang dibawa oleh pedagang Tiongkok ke sejumlah wilayah, baik di Asia maupun Eropa. Dalam makna filosofis, jalur sutra juga bermakna hubungan antarpedagang yang sangat halus bagaikan sutra. Sementara, jalur rempah menurut UNESCO adalah nama yang diberikan pada rute jaringan pelayaran yang menghubungkan Dunia Timur dengan Dunia Barat. Jalur rempah terbentang mulai dari sebelah barat-selatan Jepang menyambung dengan Kepulauan Nusantara (Indonesia) melewati selatan India ke laut Merah untuk melintasi daratan Arabia-Mesir terus memasuki Laut Tengah dan selatan Eropa.

Menurut Azyumardy Azra, rute rempah telah berumur lebih tiga milenium. Orang harus mengelilingi dunia untuk membuat kronik lengkap tentang rute perdagangan rempah. Dengan bantuan berbagai peta kuno, penuturan dan cerita para pengembara, buku panduan pelayaran lama, catatan muatan kapal, John Keay merekonstruksi pelayaran orang Mesir kuno yang memelopori perdagangan maritim rempah dari arah barat menuju ke timur dengan melintasi Semenanjung Arabia, para pelayar Romawi-Yunani yang menemukan rute perjalanan ke India dan Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan lada (merica) dan jahe (ginger).

Masa puncak jalur rempah tercapai sejak kemunculan Islam dan kebangkitan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Mereka membangkitkan perdagangan melewati jalur rempah pada masa pra-Islam. Kemudian, sejak abad ke-7 dan 8 M, para pelayar dan pedagang Muslim dari Arabia berlayar ke pelabuhan-ibu kota Sriwijaya untuk membeli rempah. Para pelayar dan pedagang Muslim dari Arabia ini kemudian juga sampai ke Kepulauan rempah-rempah (spice islands), Maluku. Dengan demikian, bersama para pelayar dan pedagang Muslim lokal yang mendapat patronase dari sultan atau raja lokal, pedagang Muslim dari Arabia dan wilayah Lautan India membangkitkan kembali jalur rempah. Sepanjang jalur rempah ini, perdagangan berlangsung bebas (international free trade). Dengan berlakunya perdagangan bebas, muncullah masa yang disebut sejarawan Anthony Reid sebagai ‘the age of commerce’, masa kejayaan perdagangan di ‘negeri bawah angin’.

Rempah atau rempah-rempah dalam bahasa Inggris disebut spices berasal dari bahasa Latin spices yang berarti ‘barang yang memiliki nilai istimewa’ atau bukan barang biasa. Tidak mengherankan kalau orang-orang berani menempuh perjalanan jauh ke Timur, ke Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan spices yang mengandung banyak nilai ritual dan pengobatan serta eksotisme. Rempah hanya bisa tumbuh di kawasan tropis seperti nusantara. Pusat rempah-rempah di nusantara bukan hanya Maluku yang terkenal dengan cengkeh dan pala. Semenanjung Melayu juga menjadi magnet bangsa kolonial datang untuk mencari lada yang dalam bahasa lokal lebih dikenal dengan nama sahang.

Tahun 1521, Sebastian Del Cano berrangkat dari Tidore dan tiba di Sevilla, Spanyol. Sebuah jalan laut baru dirintis yang menghungkan nusantara dengan Eropa Barat. Del Cano berlayar dari Tidore singgah di Timor, kapalnya berlayar ke arah barat daya menyeberang ke Samudra Indonesia ke ujung Afrika lalu ke Laut Atlantik sampai ke muara sungai Guadalguivir di Iberia Selatan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, rempah-rempah dari Malaku diangkat langsung ke Eropa. Dulu rempah-rempah dari Malaka diangkut ke pesisir Jawa, pantai Timur Sumatra dan Selat Malaka. Pada abad 15, Malaka pusat perdagangan yang penting. Rempah dibawa ke India.Jalur lain adalah pantai barat Sumatra. Selain Malaka, Aceh dan Banten menjadi bandar yang ramai. Jambi dan Brunei mendapat keuntungan setelah Malaka mundur ditaklukan Portugis tahun 1511.

Awal Abad XV kebutuhan Eropa akan lada meningkat tiga kali lipat. Hal ini menyebabkan tanaman lada berkembang pesat di nusantara. Di Pulau Sumatera lada banyak dihasilkan oleh Aceh, Indragiri, Kampar, Pariaman, Indrapura, Jambi, Palembang dan Lampung. Abad XVII lada merupakan satu-satunya produk paling cocok untuk Eropa. Harga lada pada tahun 1662 mencapai empat real per pikul (ANRI, Bundel Palembang No. 62.2). Jadi kalau hari ini di daerah Lingga (Kepri), Belitung, Bangka terdapat kebun lada (sahang) begitu luas itu tak sesuatu yang mengherankan. Petani di Jambi, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Aceh dan pedalaman Minangkabau sudah menanam lada sejak lama. Lada menjadi produksi pertanian terpenting di Sumatera. Dalam catatan William Marsden dalam bukunya, History of Sumatra (Sejarah Sumatra), lada adalah objek pencarian utama Perusahaan Hindia Timur (EIC), kongsi dagang Inggris awal abad 17. Para raja dan golongan kepala suku di sejumlah daerah yang ada di Sumatera menawarkan untuk bangsa Inggris melalui EIC membuka kantor dagang diwilayahnya. Para pihak kemudian bekerjasama dalam perdagangan lada ini.

Perjanjian yang dibuat EIC dengan penguasa ini tujuan lainnya adalah agar petani di Semenanjung Melayu dapat dipaksa untuk menanam lada dan produksinya sesuai dengan harapan sebelum dibawa ke Eropa. Selain itu dengan adanya perjanjian ini, EIC melakukan monopoli karena bangsa-bangsa Eropa lain banyak yang juga mencari pusat rempat-rempah ini.
Bagi penguasa lokal, keuntungan dalam perjanjian ini adalah mereka diberi perlindungan terhadap musuh mereka, dibantu mempertahankan hak kedaulatan masing-masing dan dibayar berupa gaji dan cukai atas hasil daerah mereka.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) jilid III, disebutkan di daerah Jambi, lada banyak di daerah pedalaman yang berbatasan dengan Minangkabau. Petani lada di pegunungan Minangkabau dan pedalaman Jambi membawa hasil kebun lada ke pusat Jambi yang berada di muara Sungai Batang Hari. Ada 100-150 perahu kecil yang masing-masing membawa 150 pikul lada. Selain dijual pada orang-orang Eropa, banyak juga pedagang lada adalah orang Cina. Petani-petani lada itu ada yang menjual ladanya ke pedagang Cina. Sebagai gantinya, kadang tak dibayar dengan uang tapi diganti dengan tenunan. Petani lada kemudian membawa tenunan itu untuk dijual lagi ke kampungnya.

Lada menghilang di Jambi disebabkan kebijakan sistem tanam paksa (cultuur stelsel) yang diterapkan Belanda tahun 1830. Tanaman lada diganti dengan karet. Lahan-lahan di Jambi dibuka untuk tanaman karet. Siapa saja yang mau membuka lahan untuk karet akan mendapat pupuk dan bibit secara gratis. Jambi pun menjadi sentra karet di Sumatra. Lada pun menghilang di pedalaman Jambi. Namun, fakta sejarah daerah ini menjadi penghasil lada tak bisa terbantahkan. Pelabuhan Jambi ramai dengan transaksi perdagangan lada.

Keberadaan sahang di Lingga juga tercatat dalam sejarah. Pada zaman Sultan Abdurrahman Muazzam Syah mengeluarkan kebijakan untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat dengan menanam sejumlah tanaman, seperti kelapa, sahang, gambir selain sagu. Lada di Lingga bertahan hingga sekarang. Apalagi dengan harganya yang cenderung bagus, masyarakat semakin banyak yang membudidayakannnya.

Catatan tentang lada di Bangka Belitung lebih menarik lagi. Berbicara lada atau lebih terkenal dengan merk dagang Muntok White Pepper. Hal itu tak bisa lepas dari peran penting Propinsi Bangka Belitung. Sebab, sejak abad ke-16, selain menjadi pusat pertambangan timah, Bangka Belitung juga menjadi sentra produsen lada. Berkembangnya lada di Bangka Belitung tak terlepas peran Kesultanan Palembang yang bekerjasama dengan VOC. Tingginya harga lada dan kewajiban menjualnya kepada VOC sesuai dengan kontrak yang telah disetujui, menyebabkan raja-raja Palembang mewajibkan rakyatnya menanam lada di daerah uluan (terbesar di daerah Rawas), Bangka dan Belitung. Akibatnya Kesultanan Palembang merupakan salah satu penghasil lada terpenting di nusantara. Konsekuensinya Palembang makin menarik bagi bangsa Eropa, khususnya Belanda yang mengikat para sultan dengan kontrak-kontrak. Kontrak-kontrak itu isinya semakin mengikat, hal ini mendorong para penguasa Palembang melakukan perdagangan gelap dengan pihak asing seperti Inggris, Amerika, Francis, Cina dan pedagang pribumi lainnya. Di sisi lain pihak Belanda terus berusaha melakukan berbagai macam cara agar lada dari Palembang sepenuhnya hanya menjadi milik mereka.

Pada era sebelum 1990-an, Propinsi Bangka Belitung juga mengalami masa kejayaan lada. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Erwiza Erman, mencatat, lada berkali-kali menjadi penyeimbang perekonomian di Bangka saat krisis melanda. Dalam buku Menguak Sejarah Timah Bangka-Belitung (Ombak, 2009), ia mengurai penyeimbang itu. Hasil riset Erwiza yang dituangkan dalam buku itu menyebutkan, warga pedesaan di Bangka justru sangat konsumtif saat krisis 1997. Bahkan, orang-orang Bangka berpendapat tidak ada krisis di Bangka saat umumnya wilayah Indonesia terimbas krisis perekonomian itu.

Erwiza juga mencatat, lada menjaga perekonomian Bangka tetap bergerak saat krisis pada awal abad XX yang dikenal sebagai masa malaise. Seperti masa sekarang, sejak tiga abad lampau Bangka tergantung dari timah, produk utama lain dari pulau itu. Saat krisis global melanda, harga timah biasanya ikut anjlok.
Para kepala tambang pada awal abad XX mengupayakan penanaman lada di sekitar lokasi tambang. Mary Somers Heidhues dalam buku Timah Bangka dan Lada Mentok (Nabil, 2008) mencatat, perkebunan lada di sekitar pertambangan dirawat secara tekun oleh petani-petani Tionghoa. Padahal, kebun-kebun itu berstatus sampingan bagi usaha pertambangan yang banyak dikelola orang Tionghoa. Bahkan, pekerja kebun adalah mereka yang ditolak bekerja di tambang.

Lada memang tidak bisa begitu saja tumbuh di Bangka. Berbeda seperti di Lampung atau Aceh, sumber utama lada pada abad XVI-XVII, tempat lada tumbuh secara alami. Di Lampung, lada adalah tanaman yang merambat pada pohon-pohon lain. Di Bangka, harus disediakan tiang rambatan atau junjung dalam bahasa setempat. Kondisi tanah Bangka tidak sepenuhnya mendukung, setidaknya demikian dicatat para ahli botani Belanda. Meski tidak mudah, para petani Bangka tak jera menanam lada. Tanaman itu terbukti menjaga perekonomian Bangka agar tetap bergairah saat krisis sekalipun. Rempah bernama lada mengangkat marwah Bangka Belitung.** (dedi arman, terbit di Harian Tanjungpinangpos, Juni 2016).