Kue Batang Buruk, Makanan Istana hingga Rakyat Jelata

0
2494
Kue Batang Buruk, Kuliner Khas Kepri dan Riau

Namanya aneh dan mengundang tanda tanya. Kue Batang Buruk, begitu namanya. Terasa kurang sedap terdengar di telinga namun jika tercicip lidah, terasa beda dari namanya. Kue Batang Buruk kuliner khas Kepri dan juga ada di Riau.

Kue ini ukurannya kecil-kecil. Sekitar 3-4 sentimeter per buah. Merupakan jenis kue kering. Konon, sudah ada dan dikenal sejak 4 abad silam. Resep pembuatannya diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Biasanya, kue-kue mungil berbahan tepung ini dibuat masyarakat Melayu untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri atau buah tangan jika berkunjung ke rumah kerabat dan handai tolan.

Sebutan Kue Batang Buruk bermula dari kisah cinta Wan Sendari, putri sulung Baginda Raja Tua yang memerintah di Kerajaan Bintan sekitar 450 tahun silam. Ceritanya, sang putri memendam cinta kepada seorang pemuda tampan lagi pemberani bernama Raja Andak bergelar Panglima Muda Bintan. Namun, cintanya bertepuk sebelah tangan. Lelaki idamannya itu lebih memilih Wan Inta, adik kandung Wan Sinari.

Mengusir galau di hati, Wan Sinari menyibukkan diri di dapur bersama dayang-dayang istana. Sang putri berhasil membuat sebuah penganan unik: jika digigit, kue itu akan hancur berderai. Usai membuat kue, Wan Sinari memohon kepada ayahandanya, Baginda Raja Tua agar penganan buatannya itu dapat dipersembahkan untuk para tetamu dan pembesar-pembesar kerajaan. Baginda Raja Tua tak menolak. Hingga pada suatu hari, para tamu dan pejabat kerajaan berkumpul di istana. Kue buatan Wan Sinari itu pun dihidangkan. Di antara para tamu yang datang terdapat pula Raja Andak, lelaki idaman Wan Sinari.

Para tamu kemudian mencicipi kue yang baru pertama kali mereka lihat itu. Namun beberapa saat saja setelah menggigitnya, mendadak mereka merasa malu. Pasalnya, sebagian kepingan kue jatuh berderai. Serpihan-serpihannya berserakan mengotori pakaian kebesaran yang mereka kenakan. Hanya Raja Andak Panglima Muda Bintan yang tak terkecoh. Tatkala Raja Andak memakan kue itu, tiada serpihan kue yang berjatuhan.

Filosofi “Biar pecah dimulut jangan pecah di tangan” menggambarkan bagaimana seseorang bangsawan mempunyai etika pada saat makan. Tak terkecuali ketika sedang mencicipi sebuah penganan. Apabila seseorang bangsawan terburu-buru dan ceroboh ketika makan atau mencicipi penganan, maka mencermikan betapa buruknya tingkah laku bangsawan tersebut. Inilah sebuah pesan bijak dari sebuah penganan kalangan bangsawan melayu yang bernama kue batang buruk. Nama boleh buruk, tapi cita rasanya yang lezat akan membuat anda ketagihan. Bahan Kue batang buruk tepung gandum dicampur dengan tepung beras dan tepung kelapa yang diuli buat menjadi adonan dan dibentuk membentuk silinder bulat berongga, dan disi dengan serbuk kacang hijau yang di goreng. Dari momen itu pula nama Batang Buruk menjadi sebutan kue itu kemudian hari. ##