Kisah Sepeda Onthel Merek Banteng

0
6099
Sepeda ontel merek Banteng yang ada di Museum Sang Nila Utama, Riau.

Di Museum Sang Nila Utama yang ada di Pekanbaru, Riau ada koleksi sepeda merek Banteng. Selain itu ada juga ada sepeda merek Phillips.

Dalam sejarahnya di Indonesia, sepeda onthel bayak dipakai oleh masyarakat perkotaan Indonesia dari zaman penjajahan Belanda hingga tahun 1950an, 1960an, hingga 1970an. Kemudian pada tahun 1970an sepeda onthel mulai digeser oleh sepeda jengki yang berukuran lebih serasi dari ukuran tinggi maupun panjangnya dan juga tidak dibedakan desainnya untuk pengendara pria maupun wanita. Sepeda jengki yang cukup populer pada masa itu adalah merek Phoenix dari China. Selanjutnya, pada tahun 1980 an sepeda jengki juga mulai tergeser oleh sepeda MTB sampai sekarang. Selain sepeda jengki dan MTB, setelah tahun 1970an hingga sekarang masyarakat sudah mulai menggunakan alat transportasi yang lebih canggih dari sepeda manual, yaitu sepeda motor.

Sepeda masuk Indonesia sebagai alat transportasi sekira tahun 1910. Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan bangsawan, misionaris, dan saudagar kaya. Militer Belanda juga menggunakan sepeda untuk patroli. Hindia Belanda otomatis menjadi pasar tujuan sepeda Belanda. Merek yang diminati antara lain Fongers, Batavus, Sparta, dan Gazelle. Baru beberapa tahun kemudian muncul sepeda buatan Inggris seperti Humber, Phillips, dan Raleigh, serta merek asal Jerman, Göricke dan Fahrrad. Merek-merek tersebut hadir pada masa tenang pasca-Perang Dunia I. Kantor-kantor dagang Eropa memasarkan sepeda di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar.
Hal ini diketahui melalui sejumlah iklan enamel –iklan yang terbuat dari pelat besi bercat enamel– merek sepeda terkenal seperti Fahrrad, Opel, Batavus, Gazelle, dan Releigh, yang tersebar di seluruh Indonesia sekira tahun 1930-1939. Sepeda merupakan barang mewah. Harga sepeda seperti Gazelle sangat mahal, hampir sama dengan 1 ons emas. Karena itu masyarakat biasa hanya mampu membeli sepeda bekas atau menunggu harganya turun. Pandji Poestaka terbitan 1940 mengiklankan sebuah buku berjudul Pemimpin Toekang Sepeda keluaran Balai Poestaka 1932. Buku yang ditulis oleh J. de Vos ini berisi tentang bagaimana menjadi tukang memperbaiki sepeda, tentang bagian-bagian sepeda, dan perkakas atau alat yang dipakai untuk memperbaiki kerusakan sepeda. Dalam perkembangan selanjutnya Pemimpin Toekang Sepeda ini banyak dipelajari orang Indonesia kala itu sebagai panduan cara memperbaiki hingga membuat sepeda.

Konon di Batavia pada 1937 sudah ada 70 ribu lebih sepeda yang berlalu lalang di jalanan. Tahun 1942 di Kota Bandung sudah ada sekitar 40 ribu lebih sepeda onthel. Saking banyaknya sepeda ini maka diadakan pendaftaran sepeda. Koran di Bandung Tjahaja terbitan tahun 1942 memuat tentang pendaftaran sepeda.
Kedatangan Jepang pada 1942 mengakhiri kejayaan sepeda-sepada Eropa. Jepang melarang penggunaan sepeda buatan Eropa dan para pemiliknya pun tidak mendapatkan suku cadang seperti ban dan onderdil. Beberapa merek Jepang antara lain Bike Pals, Club, Milton, Oryx, Prima, Wee Bee, dan Woodcock, berseliweran pada 1960-an. Kebijakan Jepang memunculkan sepeda rakitan di Indonesia. Bermunculanlah sepeda rakitan dalam negeri seperti merek Banteng, Garuda, dan Dwi Warna. Sepeda-sepeda ini dirakit di Semarang, Bandung, dan Surabaya.
Ada yang berpendapat, boleh jadi sepeda onthel merek Banteng, Garuda dan Dwi Warna dan lainnya ini merupakan impor dari Jepang lalu oleh agen atau distributornya diberi nama-nama Indonesia. Selain itu, ada juga yang berpendapat sepeda-sepeda ini merupakan hasil rakitan yang dilakukan agen-agen sepeda Jepang di Indonesia sekitar akhir 1950-an hingga 1960-an. Jadi sepeda merek Banteng ini bukan produk Belanda, Inggris, melainkan sepeda onthel yang dirakit di Indonesia.

Hal yang menarik dari sepeda koleksi Museum Sang Nila Utama ini adalah di sepeda ada tulisan merek banteng. Sementara di piring-piring bawah sepeda tertulis phoenix. Banteng adalah produk sepeda rakitan di Indonesia. Phoenix sendiri merupakan produk China. Beredarnya produk Cina ini tak terlepas dari kebijakan Presiden Soekarno melarang masuknya barang buatan barat masuk ke Indonesia termasuk juga sepeda. Ini yang membuat sepeda Belanda dan negara Eropa Barat lainnya sempat macet untuk masuk Indonesia. Dan hal ini membuat pasar Indonesia diramaikan oleh pasar Tiongkok. Sepeda buatan Tiongkok ini ukurannya lebih pas untuk orang Asia. Bahan sepeda pun lebih ringan sehingga lebih nyaman dipakai orang Indonesia. **