Kisah Raja Ismail “Bajak Laut” Penguasa Laut Cina Selatan 1745-1781

0
3256
Makam Tengku Ismail dan Tengku Buang Asmara di Mempura, Siak

Dinasti Raja Kecik berkuasa di Kerajaan Siak Seri Indrapura berakhir 1781. Hanya bertahan 148 tahun sejak dibangunnya Siak yang merupakan serpihan Kerajaan Johor, Riau dan Pahang. Ada figur lain yang populer, kontroversial dan pemberani di Siak yang mewarisi Raja Kecik, yakni Raja Ismail. Ia bergelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766 M). Raja Ismail, anak dari Sultan Mahmud atau Tengku Buang Asmara yang merupakan putra bungsu Raja Kecik.

Dalam literatur Eropa, Raja Ismail digambarkan sebagai perompak paling kejam yang keluar dari Siak. Raja Ismail digambarkan dalam Syair Perang Siak, anak raja pergi untuk meningkatkan daulatnya. Belanda menjulukinya bajak laut terbesar di Semenanjung Melayu dan jadi penguasa Laut Cina Selatan. Pengembaraan Raja Ismail tergambar dalam sejumlah literatur yang mengupas tentang Kerajaan Siak Seri Indrapura.

Barnard (2003) menulis, Raja Ismail terdepak dari Siak setelah ayahnya meninggal. Dengan dukungan Belanda, Raja Muhammad Ali yang statusnya sepupu Raja Ismail merebut kekuasaan. Raja Ismail memilih untuk berkelana tahun 1761. Daerah yang menjadi tujuannya adalah Siantan yang merupakan gugusan Pulau Tujuh. Gugusan pulau-pulau di Laut Cina Selatan, dikenal dengan sebutan Pulau Tujuh merupakan satu kesatuan laut dengan ratusan pulau di dalamnya yang teratur rapi bagaikan untaian mutiara. Pulaunya, yakni Pulau Tambelan, Pulau Serasan, Pulau Subi, Pulau Bunguran, Pulau Laut, Pulau Siantan dan Pulau Jemaja.

Raja Ismail yang tak disukai oleh Belanda, muncul sebagai Raja Laut, menguasai perairan timur Sumatera sampai ke Lautan Cina Selatan. Ia membangun kekuatan di gugusan Pulau Tujuh. Dalam perjalanannya ke Siantan, Raja Ismail yang membawa sejumlah anak buahnya singgah di di Pelalawan, Tambelan dan sempat mampir di Riau. Namun, kedatangannya ke Riau ditolak Daeng Kamboja, Yang Dipertuan Muda Riau III. Di Pulau Tujuh, ia diterima dengan tangan terbuka. Dari Siantan mulailah Raja Ismail menyusun kekuatan dengan tujuan utama merebut haknya sebagai pewaris Kerajaan Seri Indrapura.

Duplikasi Raja Kecik

Raja Ismail berhasil membangun kekuatan di Pulau Tujuh karena dukungan Orang Laut. Ia menjadi duplikasi dari Raja Kecik. Saat tiba di Siantan, penduduk lokal yang statusnya Orang Laut menerima dengan tangan terbuka. Raja Ismail dianggap titisan raja Kecik. Titisan dewa. Ikatan genealogis menjadikan Orang laut setia. Raja Ismail datang diberi hadiah dalam bentuk real spanyol. Raja Ismail bersekutu dengan Raja Negara, penguasa Siantan yang Orang laut . Orang laut juga tertarik dengan hasil perompakan. Ia berkuasa di Laut Cina Selatan dengan dukungan Orang Laut ini.

Didukung oleh Orang Laut, terus menunjukan dominasinya di kawasan perairan timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan timah di Pulau Bangka, kemudian menaklukan Mempawah di Kalimantan Barat. Pada tahun 1767, Sultan Ismail mendapatkan bantuan dari Sultan Palembang sebesar 1000 pikul perak. Perak ini adalah imbalan kepada Sultan Ismail sebagai uang jaminan karena armada laut Sultan Ismail menjaga perairan disekitar pulau Bangka dari serangan para bajak laut. Selain mendapatkan imbalan, Sultan Palembang juga mengizinkan bangsawan kerajaan Siak, untuk membuka tambang tambang timah di Pulau Bangka. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar 3000 ringgit kepada Raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan. Sementara Hikayat Siak menceritakan tentang kemeriahan sambutan yg diterima oleh Raja Ismail sewaktu kedatangannya ke Palembang.

Sekitar tahun 1767, Raja Ismail juga merompak di kapal-kapal diselat Singapura, jantung kekuasaan Johor. Aksi ini mendapat perlawanan dari kelompok Johor yang dipimpin Bugis Riau. Pasukan bugis dipimpin Daeng Kamboja berhasil memukul mundur Raja Ismail. Peperangan diselat Singapura 1767 merupakan gerakan Raja Ismail memerangi kerajaan di Selat Malaka. Kalah di Riau, ia membuat pangkalan di Bengkalis. Ia juga menjalin komunikasi ke Jambi, Palembang dan Trengganu. Tahun 1769, Raja Ismail datang ke Mempawah untuk menaklukan pembrontakan atas permintaan Sultan Palembang. Ia juga menyerang Thailand Selatan dan mendapatkan banyak tawanan yang diberikan ke Sultan Palembang.

Raja Ismail juga menjalin hubungan yang erat dengan Trengganu. Ia menikah dengan gadis Melayu, Tengku Tipah atau Raja Nih anak Sultan Trengganu, Sultan Mansur Syah. Hubungan kekerabatan ini tercapai setelah Raja Ismail membantu Sultan Trengganu menaklukan Kelantan. Dengan pengaruhnya yang besar sampai ke Trengganu, Raja Ismail mengukuhkan diri sebagai penguasa kerajaan Siantan yang berbasis lautan dengan mengeksploitasi Sumatera Timur, Laut Cina Selatan. (Liaw Yock Fang, 2011). Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Meski begitu berkuasa di semenanjung Melayu, Raja Ismail tak pernah berhasil menaklukan Riau.

Pada tahun 1779, Raja Ismail mengambil alih kedudukan Yang Dipertuan Besar Siak dari sepupunya Raja Muhammad Ali. Meski terjadi peperangan, suksesi ini berjalan lancar. Raja Ismail tetap memberikan porsi kepada sepupunya ini untuk duduk dalam pemerintahan. Ia berkuasa hingga tahun 1781 sebelum akhirnya digantikan oleh anaknya, Sultan Yahya. Ia wafat di Mempura saat menggelar acara di Balairungseri. Namanya pun dikenal dengan Marhum Mangkat di Balai. Selain itu, ia juga dikenal dengan Sultan Kudung. Tangannya putus saat sebelah dalam perlawanan menentang Belanda 1766. Makamnya terletak bersebelahan dengan ayahnya, Sultan Abdul Jalil Muzafar Syah aliasTengku Buang Asmara di Mempura.

Kekuasaan dinasti Raja Kecil dilanjutkan Tengku Yahya yang bergelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muazzam Syah. Ia tak lama berkuasa karena kekuasaannya dikudeta Sayid Ali bin Usman, Panglima Perang Siak asal Hadramaut. Tengku yahya melarikan diri ke Reteh, Tembilahan lalu menyeberang ke Malaka dan meninggal di kampung ibunya, Dungun, Trengganu. (Rida K Liamsi, 2016).

Sumber:

Timothy P Barnard, Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, sub judul Raja Ismail and Siak Violence, Siak and the transformation of Malay Identity in the Eighteen Century
——————–, Pusat Kekuasaan Ganda, Masyarakat dan Alam Siak & Sumatera Timur 1674-1827. KITLV Press Leiden,2003.
Rida K Liamsi, Prasasti Bukit Siguntang dan Badai Politik di Kemaharajaan Melayu 1160-1946. Pekanbaru, Yayasan Sagang, 2016.