Lada (sahang), gambir atau pun tanaman komersial lain akan booming silih berganti, bergantung pada fluktuasi harga pasar internasional. Tapi masyarakat ada yang setia terus dengan tanaman ini, meskipun harganya anjlok. Mereka menganggap tanaman itu sebuah ‘tanaman kultural’.
————————-
Kesetiaan pada tanaman leluhur membawa ingatan ke kampung halaman nun jauh sana, di kaki Gunung Singgalang. Malalak, sebuah nagari yang kini telah berubah wujud jadi kecamatan, namun tetap sebagai sentra penghasil kulit manis (cassia vera). Sejak belia, bapak telah mengenalkan dan membawa kami ke parak (kebun) kulit manis kami di Gunung Singgalang. Kebunnya ada di sejumlah lokasi. Semuanya ditanami kulit manis.
Hampir 30 tahun telah berlalu, kebun kulit manis itu tetap ada meskipun kondisi tak terawat. Kulit manis yang ukurannya besar telah diambil kulitnya, tinggallah yang ukuran kecil.”Buat apa juga dirawat. Biayanya tak sebanding dengan hasil yang dijual. Biarkan sajalah. Masih banyak kulit manis di sana. Kalau harganya naik, baru ditebang lagi,”kata bapak soal kebun kulit manisnya.
Bagi bapak, kebun kulit manis menjadi kebanggaannya. Sejak kecil ia mewarisi beberapa tumpak (lahan) kulit manis. Ada juga kebun yang lahannya dibuka sendiri. Tak sekalipun ia terpikir untuk menganti kulit manis dengan tanaman lain. Tanah Gunung Singgalang yang cuacanya dingin katanya cocok dengan kulit manis. Tak tahu ke depannya sepeninggal bapak, apakah kesetian pada kulit manis terus bertahan.
Pekan lalu, saya berbincang dengan sejarawan LIPI, Erwiza Erman P.hD tentang tanaman komersial yang dari zaman kolonial Belanda bertahan sekarang. Sebagai contoh, tanaman lada (sahang) yang terus eksis di Bangka Belitung. Menurut Erwiza, masyarakat Bangka Belitung dari dahulu selalu setia dengan lada. Saat lada harganya turun, mereka menelantarkan ladanya. Begitu harganya naik, baru dirawat kembali. “Mereka menganggap lada itu sebagai tanaman kultural. Sudah membudaya, seperti halnya membatik bagi Orang Jawa,”kata Erwiza.
Kondisi ini yang membeda dengan masyarakat pedalaman Jambi dan Minangkabau. Pada abad ke 16 dan 17, daerah ini terkenal sebagai penghasil lada. Namun, dalam perjalanan waktu, sisa-sisa masa keemasan lada itu sulit ditemukan lagi. Lada menjadi tanaman asing bagi mereka. Malah tanaman lain, seperti karet dan kelapa sawit yang begitu familiar. Kondisi lebih baik terjadi di Lingga (Kepri), tanaman lada alias sahang kini kembali ‘semarak). Masyarakat berlomba-lomba menanam sahang tergiur harganya yang terus membaik.
Tak hanya lada, kesetian pada tanaman kultural lain juga sangat kental di Daik Lingga. Sejak zaman Kesultanan RiauLingga berkuasa abad 19 hingga kini, tanaman sagu selalu jadi tumpuan perekonomian masyarakat. Beragam jenis kuliner bahannya bersumber pada sagu. Sebut saja misalnya, laksa, kempurun, lendot, bubur lambok dan juga cendol sagu.
Tanaman sagu tak hanya di Daik Lingga jadi primadona, tapi juga di Kabupaten Meranti, Riau. Malahan, sagu di Meranti arealnya lebih luas. Tak hanya kuliner, beragam aktivitas masyarakat, atraksi budaya, termasuk kesenian bersumber pada keberadaan tanaman sagu yang jadi tanaman kultural Meranti. Sebut saja atraksi lari di tual sagu yang kini jadi atraksi wisata budaya di Meranti dan masuk kalender wisata Provinsi Riau.
Gambir tak hanya tanaman kultural di Limapuluhkota dan Pesisir Selatan, Sumbar. Masyarakat Kundur sejak zaman kolonial Belanda, abad ke 19 telah membudidayakannya. Sampai kini meski skalanya terus menyusut, gambir Kundur terus bertahan. Kondisi yang sama juga terjadi di Desa Sungai Raya (Lingga), perkebunan gambir tinggal satu kepala keluarga (KK) yang mengelolanya. Usaha pengelolaan gambir dengan merek dagang “Mongsul Bangsal” di Lingga itu bertahan dari beberapa generasi.
Waktu boleh berlalu. Generasi terus berganti. Di sejumlah tempat, tanaman kultural terus bertahan. Di tempat lainnya ada yang menghilang, tapi kembali tumbuh. Kembali digalakkan karena tergiur harga yang kembali bagus.**