‘Penamaan nama tempat, nama jalan atau nama gedung yang tak sesuai dengan sejarah berdampak buruk pada generasi mendatang. Alangkah elok untuk mengubah kembali sesuatu yang tak tepat sesuai fakta sejarah. Sejarah jangan menjadi kabur’.
Penamaan Istana Kota Piring di Dompak jadi sumber perdebatan. Pemberian nama Kawasan Pusat Pemerintahan Istana Kota Piring di Dompak sesuai SK Gubernur Nomor 988 Tahun 2014 kembali menjadi bahasan yang hangat dalam di
diskusi di Kantor Bappeda Tanjungpinang, Senin (4/9) siang. “Jangan pikirkan generasi kita, tapi generasi mendatang. Kelak mereka akan bingung kenapa Istana Kota Piring ada pula di Dompak. Disisi lain situsnya ada di Batu 8. Ini yang mesti diluruskan. Jangan mengaburkan sejarah,”kata budayawan Rida K Liamsi dalam diskusi.
Kata Rida, penamaan nama jalan atau nama tempat tak boleh melepaskan diri dari konteks sejarah. Perlu ada alasan dan kebanggaan dalam penamaan nama jalan, tempat atau gedung. Ini, katanya juga bagian dari pelajaran sejarah. “Orang sekarang malas belajar sejarah. Anak-anak muda apalagi. Kalau diberi nama sesuai sejarah sebenarnya, mereka bisa belajar. Kenapa diberi nama tokoh itu, siapa dia dan sebagainya,”ujarnya.
Jauh sebelum polemik Istana Kota Piring di Dompak itu, ia sudah pernah mengusulkan agar nama pusat pemerintahan Provinsi Kepri di Dompak diberi nama Bandar Tun Abdul Jamil. Ini tokoh besar yang membuka Sungai Carang. Hulu Riau atau Sungai Carang menjadi bandar besar yang disinggahi kapal-kapal asing. Inilah cikal bakal kemajuan Tanjungpinang dan kawasan sekitarnya masa kini.
Sejarawan Aswandi Syahri juga berharap polemik itu bisa diselesaikan dengan cara mengubahnya. Ia juga sudah lama mengusulkan agar pusat pemerintahan di Dompak namanya Bandar Sri Dompak. “Kenapa menamakannya Istana Kota Piring, itu yang banyak mengundang pertanyaan. Bandar Sri Dompak lebih pas. Sama halnya
penamaan Penyengat yang dikenal dengan Penyengat Indra Sakti,”ujarnya.
Sejumlah tokoh juga memberikan kritikan dan masukan terkait Istana Kota Piring di Dompak itu. Termasuk dari Ketua Dewan Kesenian Kepri, Husnizar Hood dan juga budayawan, Tamrin Dahlan. Banyak tamu dari mancanegara, seperti Malaysia yang paham sejarah bingung adanya Istana Kota Piring di Dompak itu.
Selain topik Istana Kota Piring, juga dibahas mengenai kekurangtepatan penamaan nama jalan dan tempat di Tanjungpinang. Selain itu banyak ruas jalan yang belum diberi nama. Sekdako Tanjungpinang, Riono mengatakan, pihaknya sejak lama memikirkan permasalahan nama tempat, nama jalan dan gedung di Tanjungpinang untuk didudukkan sesuai porsinya. “Pak walikota pernah menanyakan apakah jalan Daeng Marewa yang menuju ke Senggarang sudah pas atau tidak. Termasuk juga nama kompleks perkantoran di Senggarang. Makanya kami sangat mengapresiasi adanya diskusi penting ini,”kata
Riono.
Riono meminta agar kelak disusun sebuah buku panduan mengenai penamaan jalan, tempat, atau gedung di wilayah Tanjungpinang. Ini berguna untuk ke depannya agar penyusunan nama tempat, nama gedung atau gedung lebih terarah dan bisa dipertanggungjawabkan.
Diskusi terpumpun ini digelar Yayasan Jembia Emas melalui jantungmelayu.com yang bekerja sama dengan Dewan Kesenian Kepri. Dihadiri berbagai kalangan, mulai dari budayawan, seniman, pelaku pariwisata, akademisi, tokoh masyarakat hingga birokrat.**