Sosok politisi penyair itu sudah biasa. Demikian juga kalau birokrat jadi penyair, juga sudah biasa. Namun, kalau seorang polisi jadi penyair, itu baru luar biasa. Sosok langka itu ada pada Ibrahim Sattah, penyair asal Tarempa (Pulau Tujuh), Kabupaten Anambas, Kepri.
Ia lahir tahun 1943 dan meninggal dalam usia muda 43 tahun tahun 1988. Kecintaannya pada dunia kepenyairan menyebabkan Ibrahim meninggalkan karirnya selama 15 tahun sebagai abdi negara. Ibrahim Sattah berhenti sebagai polisi dengan pangkat terakhir sersan satu.
Kiprah Ibrahim Sattah sebagai penyair terekam dalam Buku Rahasia Semantik Puisi-Puisi Ibrahim Sattah yang ditulis Dasri yang disunting UU Hamidy dkk, dan diterbitkan Depdikbud RI Tahun 1986.Masa kecilnya penuh kesuraman karena terlalu cepat ditinggal kedua orang tuanya. Kondisi ini menyebabkan pendidikan formalnya tersendat. Ia sempat sekolah di SMP dan SMEP, namun tak ada yang lulus. Begitu pun setelah jadi polisi, ia sempat menyambung ke SMA, tapi juga tak tamat.
Nasib baik, ia diterima tes kepolisian di Tanjungpinang. Dari 97 pelamar, 17 orang dinyatakan lulus, salahsatunya Ibrahim Sattah. Dengan modal Rp500 dan baju seadanya, ia berangkat ke Pekanbaru. Tahun 1963, Ibrahim lulus Sekolah Polisi Negara (SPN) Pekanbaru. Di Pekanbaru, Ibrahim pernah menduduki jabatan sebagai wakil Kepala Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata perwakilan Riau.
Selain itu, ia juga pernah bertugas sebagai Kepala Studio Radio Bhayangkara. Pada kesempatan itu ia mulai memublikasikan sajak-sajaknya di surat kabar Angkatan Bersenjata di Pekanbaru dan di surat kabar Haluan dan Aman Makmur di Padang. Dia juga pengisi rubrik sastra di RRI stasiun Pekanbaru. Dia menerbitkan majalah Solarium dan mendirikan Studi Grup Sastra bersama Abrar Yusra dan Wunulde Syaffinal. Pada tahun 1969, Ibrahim Sattah pindah ke Tanjung Pinang dan bertugas di kesatuan Provost dengan jabatan staf pembinaan masyarakat dan staf pribadi Danres. Tahun 1978, setelah berdinas 15 tahun, Ibrahim Sattah berhenti sebagai polisi.
Dunia Penyair
Sejak sekolah dasar, Ibrahim Sattah sudah suka puisi. Saat SD, ia sudah menulis sajak. Dan sajaknya yang pertama berjudul Ayam Jantan. Ibrahim Sattah mulai dikenal ketika puisi-puisinya dimuat di majalah sastra Horison pada tahun 70-an. Ibrahim Sattah bersama Sutardji Calzoum Bachri disebut pembaharu dalam dunia kepenyairan Indonesia angkatan 1970-an.
Ibrahim Sattah dari segi kuantitas, bukan penyair produktif. Puisinya hanya 50 puisi. Karyanya terangkum dalam tiga kumpulan puisi. Dandandid adalah kumpulan puisinya yang pertama (1975), diantaranya telah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom kedalam bahasa Belanda dan oleh Sapardi Djoko Damono bersama McGlinn kedalam bahasa Inggris. Kumpulan puisinya yang berjudul Ibrahim terbit tahun 1980. Kumpulan puisi ini disiapkan dalam perjalanannya ke Semarang, Yogyakarta, Singapura, Malaysia. Kemudian Haiti, kumpulan puisinya yang terakhir terbit pada tahun 1983.
Statusnya sebagai penyair diakui dalam dunia kepenyairan tanah air setelah puisi-puisinya dimuat di Majalah Sastra Horison. Tahun 1974, Ibrahim Sattah mengikuti pertemuan sastrawan da puisi-puisinya dipandang segar dan unik. Ia dipandang sebagai penyair yang membawa bentuk baru. Ia memukau peserta pertemuan sastrawan dengan pola pembacaan puisi-puisinya.
Tahun 1975 Ibrahim Sattah membacakan puisi-puisinya di Den Haag, Belanda. Di musim panas 1976 ia terpilih menjadi peserta Festival Puisi Antar Bangsa di Rotterdam, mengikuti program Asean Poetry Reading International di Rotterdam. Pada bulan September 1979 dan Juni 1980 penyair ini mengisi acara di Taman Ismail Marzuki. Pembacaan sajak-sajak Ibrahim Sattah di Taman Ismail Marzuki diselenggarakan pada tanggal 25 Juli 1986.
Selain mengarang sajak, Ibrahim Sattah juga bergerak dan bekerja di bidang teater dan bekerja di penerbitan buku-buku sastra. Sajak Ibrahim Sattah dikategorikan sebagai puisi murni yang diekspresikan dengan kesahajaan dari kata-kata yang sederhana, seperti tentang daun, tentang duka, tentang batu, tentang air, tentang manusia, tentang Tuhan, dan tentang alam raya. Puisi-puisi Ibrahim Sattah kebanyakan berbicara konteks manusia secara utuh atau total. Dan hampir semua puisi-puisinya adalah religius, keterpesonaan, ketidakberdayaan, dan memandang tuhan sebagai sosok yang unik.
Ibrahim Sattah mengakui bahwa ia banyak diilhami oleh sajak Sutardji Calzoum Bachri.Sebagai seorang penyair, Ibrahim Sattah sering mendapat sorotan pembaca, yang berupa kritikan. Ibrahim Sattah dapat dianggap sebagai penyair kanak-kanak, penyair yang menyanyikan masa kanak-kanak atau mendapat sumber inspirasinya dari masa kanak-kanak.
Namun, puisi-puisi Ibrahim Sattah diakui berdiri sendiri dalam peta perpuisian di Indonesia. Puisi-puisinya sejajar dengan bentuk dalam puisi-puisi Sutardji. Tidak ada kesamaan dan yang ada hanya pengaruh dari puisi-puisi Sutardji. Ibrahim juga menolak puisi-puisinya disebut puisi mantra. Kekuatan puisi Ibrahim Sattah terletak pada penggunaan bahasa (kata) sebagai medium karya puisinya. Kekuatan lain puisinya adalah penggunaan tipografi yang disebut Ibrahim dengan bahasa centring. Makna-makna magis menyelubungi setiap puisinya. **