HUT Jambi, 9 Sertifikat WBTB Diserahkan

0
121

Plt Gubernur Jambi, Fachrori Umar menyerahkan sembilan sertifikat warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia dari Provinsi Jambi yang ditetapkan Kemendikbud tahun 2018, Senin (7/1) saat Rapat Paripurna HUT ke-62 Provinsi Jambi. Sertifikat diserahkan kepada maestro karya budaya dari sejumlah kabupaten/kota.

Kesembilan karya budaya Jambi itu berasal dari Kota Sungai Penuh yaitu Kenduri Sko, Tari Rangguk Kumun, Tari Iyo-iyo, Lapaik Koto Dian Rawang, dan Ntok Awo. Disusul berikutnya Tauh Lempur dan Ngangoah Imo Pulau Tengah dari Kabupaten Kerinci, serta Ompek Gonjie Limo Gonop (sastra lisan) dan Perkampungan Rumah Tuo Rantau Panjang dari Kabupaten Merangin.

Budayawan Jambi, Jumardi Putra menyebutkan, sebagai warga Jambi, ia bahagia atas capaian dan kerja keras banyak pihak, baik di level Kabupaten/Kota maupun Provinsi, sehingga menambah daftar panjang WBTB asal Provinsi Jambi, terhitung sejak 2013-2018, yaitu Tari Elang, Tomboi Sialong, Sebelik Sumpah, Ambung Orang Rimbo, Cawot, Ubat Ramuon, Belangun, Hompongan, Musik Gambang Danau Lamo, Tari Kadam; Tale naek Jei (Tale Naik Haji), Upacara Asyeik, Betauh, Tari kain kromong, Musik Kromong, dan musik kolinong, tari Anggut (Kota Jambi), tari Tupai Jenjang (Kerinci), tari Piring Tujuh (Tebo), Tutur Kuaw (Merangin), Tari Pisang (Merangin), Tari Besayak (Merangin), Upacara Besale (Muarajambi), Kompangan (Kota Jambi), Aksara Incung (Kerinci), Seloko Adat, Senandung Jolo (Muaro Jambi), dan krinok (Bungo).

Tidak berhenti di situ saja, Nek Jariah (76 tahun), pelaku seni tradisi Dideng asal Kabupaten Bungo ditetapkan sebagai penerima penghargaan anugerah Maestro Seni Tradisi Indonesia Tahun 2014. Raihan tersebut melengkapi capaian empat tahun sebelumnya (2010), yakni Kementerian Kebudayaan dan pariwisata RI memberikannya gelar Maestro Seni Tradisi kepada budayawan Iskandar Zakaria (Kerinci).

Kata Jumardi, segera setelah pentabalan, dihadapkan pada pertanyaan, terutama bagi masyarakat daerah penerima sertfikat WBTB, yaitu lantas diapakan puluhan WBTB itu? Adakah usaha kongkrit seraya berkelanjutan untuk menjaga, mengolah, mengembangkan, dan memanfaatkannya? Faktanya, riwayat umumnya WBTB itu, kini hanya berujung pada klaim kesuksesan birokrasi kesenian, muatan di bundel Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Kepala Daerah, selebrasi kemenangan di forum-forum kepublikan, dan mengisi lembar advetorial koran, media online, dan tv lokal.

Sementara pemilik dan pendukung karya budaya belum mendapat kepastian arah dan laku pelestarian. Bahkan permasalahan eksistensi karya budaya, sumber daya manusia, sarana prasarana pendukung, kian menurunnya apresiasi masarakat terhadap karya budaya, serta ketidakberpihakan anggaran untuk seni-budaya, adalah persoalan pelik yang hingga sekarang belum ditemukan formulasi kebijakan (cetak biru) yang tepat dan komprehensif. **