Gong Bambu dalam Tradisi Masyarakat Sungaipenuh

0
2619
Almarhum Maestro Tradisi Sungaipenuh Kerinci, Iskandar Zakaria banyak menyimpan koleksi cagar budaya dan tradisi, termasuk gong bambu. (f.kerincitime.co.id).

Gong Bambu adalah suatau alat musik yang terbuat dari bambu dan mempunyai nada menyerupai dengan bunyi nada dua buah Gong Perunggu, Gong Bambu ini dijadikan oleh masyarakat sebagai media perizinan adat (ngejon arah) Kesenian ini terdapat di daerah Kota Sungaipenuh, Jambi.

Secara teknis, Gong Bambu dalam Kenduri Sko dibentuk oleh teknik pukul dengan menggunakan tangan yang dihadirkan oleh dua orang pemusik Gong Bambu. sehingga menghasikan melodi yang sangat berbeda. Tempo dan dinamika melodi Gong Bambu dipengaruhi ekologi alam Kota Sungaipenuh yang dikelilingi bukit dan sungai serta terletak di wilayah yang berbentuk tempurung. Sementara itu garapan musikal Gong Bambu didasari atas prinsip sistem adat, yang telah diterapkan pula pada proses musyawarah dan mufakat. Sebagai karakter utama masyarakat Kota Sungaipenuh. Dengan demikian alam dan karakter masyarakat merupakan dasar utama pembentuk Makna Gong Bambu.

Tradisi Gong Bambu yang dimiliki oleh masyarakat suku Melayu Kerinci yang ada di Kota Sungaipenuh melekat pada kegiatan upacara Kenduri Sko. Kenduri Sko merupakan upacara ritual kepercayaan yang melibatkan seluruh anggota masyarakat Sungai Penuh sebagai salah satu kegiatan dalam rangka pensucian benda-benda pusaka dan naik Sko seperti Gong, Gendang, Keris, Pedang, Tombak, Rambut Sehelai, Baju Besi, dan Piagam-piagam adat, yang nantinya akan dibawa ke lokasi Kenduri Sko.
Upacara Kenduri Sko didahului dengan pertunjukan Gong Bambu, sebagai pengganti Gong (jenis gong yang berpencu terbuat dari bahan perunggu) yang sakral bagi masyarakat. Biasanya dua buah Gong dibunyikan sebelum Gong Bambu dimainkan, karena masyarakatnya percayai musik Gong perunggu ini harus disucikan sebelum dibunyikan oleh masyarakat Kota Sungaipenuh. Apabila gong perunggu dibunyikan sebelum disucikan oleh tokoh adat, maka Sungaipenuh dikenakan denda berupa binatang sapi, emas dan berupa denda lainnya.

Setelah adanya bunyi Gong Bambu, maka tergantilah dua buah Gong yang merupakan ‘petanda’ mohon izin kepada lembaga adat. Adapun hal yang muncul dari Gong Bambu seperti dua warna bunyi ‘gong jantea’ dan ‘gong betina’ mengidentifikasi estetika atau keindahan musikal dapat dilakukan melalui identifikasi unsur-unsur intrinsik berupa ciri-ciri musiknya, dan identifikasi unsur-unsur ekstrinsik berupa aspek filosofi yang berakar dari nilai-nilai budaya masyarakat Kota Sungai Penuh, serta kondisi alam sekitarnya. Penggabungan unsur intrinsik dan ekstrinsik ini sangat penting dalam menggali konsep estetika musikal Gong Bambu. Karena Gong Bambu ini merupakan hasil budaya masyarakat Kota Sungai Penuh yang mengandung nilai-nilai kebenaran, kebaikan serta norma-norma adat dari masyarakat pemiliknya.

Sesuatu hal yang prinsip bagi masyarakat Kota Sungaipenuh apabila kesenian musik Gong Bambu ini hilang maka akan hilang warisan budaya daerah dan ciri-ciri khas dari daerah tersebut, sebab biasanya Gong Bambu ditampilkan kurang lebih 10-15 tahun.4 Tampak dan makin terasa sebagai gejala umum dengan makin hilang dan tergesernya beberapa tradisi yang dahulu diyakini bermanfaat oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini disebabkan oleh pengaruh musik elektro yang semakin marak berkembang di daerah Kerinci dan kurangnya minat masyarakat terhadap alat musik Gong Bambu, sehingga mengakibatkan masyarakat lebih cenderung memilih musik elektro sebagai musik pengiring tari dan hiburan.

Sumber: Deria Sepdwiko, dkk, Eksistensi Gong Bambu dalam Kenduhai Sko di Kota Sungai Penuh, Kerinci. Mahasiswa Pasca Sarjana ISI Padangpang.