Gambir Kepri yang Terlupakan

0
1867

oleh:
Dedi Arman (Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri)

Masyarakat Kepri, apalagi generasi muda tak familiar dengan tanaman perkebunan yang satu ini, yakni gambir. Kalau pun dikenal, itu pun gambir sebagai campuran makan sirih. Padahal sejarah perkebunan gambir di Kepri berusia panjang. Gambir pernah jadi primadona dan dibudidayakan sejak zaman Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I berkuasa. Saat ini perkebunan gambir di Kepri hanya ada di Kundur, Karimun dan Desa Sungai Raya, Kecamatan Singkep Barat, Lingga.

Orang Kepri seakan lupa dengan gambir. Padahal gambir saat ini kondisi harganya cukup bagus, berkisar antara Rp30-40 ribu per kilogram. Daerah-daerah penghasil gambir utama di Indonesia, seperti Limapuluhkota dan Pesisir Selatan (Sumbar) kini perekonomiannya bangkit. Petaninya bersemangat dengan bagusnya harga gambir beberapa tahun belakangan. Di Karimun dan Lingga, kondisi ini belum terperhatikan, meskipun potensi itu sangat menjanjikan. Komoditi ini bisa menjadi primodona kedua setelah sahang (merica). Komoditas ini merupakan komoditas ekspor yang berpotensi dalam peningkatan devisa Negara. Indonesia sebagai pemasok utama gambir dunia (80%), sebagian besar berasal dari daerah Provinsi Sumatera Barat. Selebihnya ada di Bangka Belitung dan Kepri dengan negara tujuan ekspornya Banglades, India, Pakistan, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Perancis dan Swiss. Permintaan ekspornya terus meningkat sepanjang tahun

Tanaman gambir merupakan tanaman perdu, termasuk salah satu di antara famili Rubiace (kopi-kopian) yang memiliki nilai ekonomi tinggi, yaitu dari ekstrak (getah) daun dan ranting mengandung asam katechu tannat (tanin), katechin, pyrocatecol, florisin, lilin, fixed oil. Kandungan kimia gambir yang paling banyak dimanfaatkan adalah katechin dan tanin. Kegunaan gambir secara tradisional adalah sebagai pelengkap makan sirih dan obat-obatan, seperti di Malaysia gambir digunakan untuk obat luka bakar, di samping rebusan daun muda dan tunasnya digunakan sebagai obat diare dan disentri serta obat kumur-kumur pada sakit kerongkongan. Secara moderen gambir banyak digunakan sebagai bahan baku industri farmasi dan makanan, di antaranya bahan baku obat penyakit hati dengan paten “catergen”, bahan baku permen yang melegakan kerongkongan bagi perokok di Jepang karena gambir mampu menetralisir nikotin. Sedangkan di Singapura gambir digunakan sebagai bahan baku obat sakit perut dan sakit gigi.
Gambir juga digunakan sebagai bahan baku dalam industri tekstil dan batik, yaitu sebagai bahan pewarna yang tahan terhadap cahaya matahari. Disamping itu juga sebagai bahan penyamak kulit agar tidak terjadi pembusukan dan membuat kulit menjadi lebih renyah setelah dikeringkan. Begitu pula industri kosmetik menggunakan gambir sebagai bahan baku untuk menghasikkan astrigen dan lotion yang mampu melembutkan kulit dan menambah kelenturan serta daya tegang kulit.

Sejarah Gambir
Banyak catatan sejarah tentang gambir di Indonesia, termasuk Kepri. Perdagangan gambir direkam William Marsden dalam bukunya, Sejarah Sumatra yang dimuat dalam edisi ketiga buku tersebut pada 1811 dan diterbitkan ulang Komunitas Bambu (2013). Marsden menyebutkan, kala itu gambir merupakan komoditas dagang penting termasuk di kawasan timur Sumatera.
Ada banyak versi tentang bagaimana gambir didatangkan ke Tanjungpinang dan ditanam secara massal. Gambir di Kepri ditanam saat Sultan Badrul Alamsyah I (1722-1760) berkuasa (Anastasia Wiwik Swastiwi, 2015). Bibir gambir didatangkan Daeng Celak, Dipertuan Muda Riau II dari Sumatra . Pekerja gambir didatangkan dari Cina. Pekerja gambir ditempatkan di Senggarang. Gambir saat itu ditanam di daerah Ulu Riau, Batu Delapan, Lagoi, dan Busung. Pusat perdagangan gambir ada di lokasi yang saat ini bernama Jalan Gambir, Tanjungpinang. Gambir menjadi komoditi ekspor dari Kesultanan Riau Johor Pahang Lingga.
Pada masa Sultan Mahmud Syah III, gambir tetap menjadi komoditi perdagangan yang utama. Gambir dijual ke Pulau Jawa. Saat sultan memindahkan pusat pemerintahan ke Daik Lingga, orang-orang Cina yang memiliki kebun gambir dan lada tak ikut pindah dan tetap menetap di Pulau Bintan. Di Lingga, sultan memerintahkan untuk membuka perkebunan gambir.

Catatan lain ramainya perdagangan gambir di Tanjungpinang tepatnya di Jalan Gambir awal abad 20 ditulis Bun Yip dalam artikelnya ‘Thirty-six Hours in Rhio yang dipublikasi surat kabar The Straits Times, Oktober 1905. (Aswandi Syahri,2014). Ia menulis di kanan-kiri sepanjang Jalan Gambir dipadati kedai-kedai yang menjajakan gambir. Semua kedai terang-benderang, dan di sana biasanya ada banyak tempat untuk penjaja makanan, buah-buahan, tembakau, mainan, dan seribu satu macam kemungkinan yang menyenangkan hati orang yang berkulit coklat dan kuning (orang Melayu dan Tionghoa). Sampai tahun 1930-an, Jalan Gambir ramai sebagai kawasan pusat perdagangan gambir di Tanjungpinang.

Nama Jalan Gambir jadi saksi bisu sekaligus kenangan kita atas kejayaan komoditas gambir yang sempat mendunia. Beberapa abad lalu, orang bahkan mengenal Pulau Bintan sebagai sentra perkebunan gambir. Peminat komoditas ini, bahkan sampai ke Eropa. Proses transaksi dagangnya, dengan lebih dahulu transit di Singapura, baru kemudian diteruskan ke berbagai negara.
Saat komoditas gambir masih berjaya dulu, persis di tempat yang sekarang dijadikan sebagai Jalan Gambir, pernah berdiri areal gudang, yang digunakan untuk menyimpan komoditas gambir sebelum diekspor ke Singapura. Jadi, para petani gambir yang banyak bercocok tanam di sekitar areal Ulu Riau, Batu Delapan, juga di kawasan Lagoi, Bintan Utara, Kabupaten Kepri, membawa gambir tersebut ke Tanjungpinang. Di tempat inilah terjadi transaksi antara petani gambir dengan pedagang. Gambir dari Bintan sangat terkenal. . Satu di antara tiga jenis varian tumbuhan gambir diberi nama Riau. Tiga tipe (varian) tumbuhan gambir, yakni udang, cubadak, dan Riau.

Selain kawasan Simpang Busung dan lembah di tepian Sungai Ulu Riau, Lagoi dulunya juga surga bagi para petani gambir. Ribuan hektar dengan ratusan hingga bahkan jutaan pohon gambir tumbuh subur di sana. Harga gambir tak pernah jatuh. Zaman keemasan gambir produksi Pulau Bintan itu bahkan sempat diburu oleh para saudagar pabrik kulit dari Italia. Getah gambir diyakini, dan terbukti, dapat menjadi alat pencampur yang baik dalam proses produksi sutera dan kulit di Italia. Selain itu, saudagar minuman keras dari jenis anggur di Perancis juga rajin berburu gambir di Bintan. Tapi semua itu hanya tinggal kenangan indah para petani gambir di Bintan.

Para saudagar gambir pun, sejak sekitar 1975 ke atas, satu persatu melego mangsang mereka kepada investor. Tak ada lagi kebun gambir tersisa. Tapi, tentang cerita kejayaan para saudagar gambir itu dari mulut ke mulut, masih dapat didengar. Di antara para saudagar gambir yang cukup berhasil kala itu, sebut saja di antaranya, Samui, Yontik, Mayang, Ahue, Kateni, juga Dukut. Mereka tak hanya dari etnis Tionghoa saja. Seperti Kateni dan Dukut, berasal dari Tanah Jawa.
Sayang, sekarang orang sudah tak banyak lagi mengenal tumbuhan Gambir itu. Gambir adalah sejenis getah yang dikeringkan yang berasal dari ekstrak remasan daun dan ranting tumbuhan bernama sama (Uncaria gambir Roxb). Di Indonesia gambir pada umumnya digunakan pada menyirih. Kegunaan yang lebih penting adalah sebagai bahan penyamak kulit dan pewarna. Gambir juga mengandung katekin (catechin), suatu bahan alami yang bersifat antioksidan. Sekitar 80 persen produksi gambir di Indonesia berasal dari Sumatra Barat. Selain di Sumbar, gambir dikembangkan di Riau dan Bangka Belitung.
Gambir Singkep dan Kundur.

Luas areal perkebunan gambir di Kepri saat ini kisarannya ratusan hektar saja. Itu pun jika sudah digabung antara Kundur dan Singkep barat (Lingga). Bandingkan saja dengan Sumbar yang tahun 2014, luas lahan gambir mencapai 21.400 ha dengan produksi 14.000 ton per tahun. Luas areal kebun semakin lama semakin menyusut. Kebun gambir banyak yang berubah menjadi kebun karet dan tanaman lainnya.
Perkebunan gambir di Lingga luput dari perhatian Pemkab Lingga. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Lingga beralasan perkebunan gambir hanya diusahakan oleh satu orang yang membudidayakan dan memasarkannya. Lingga fokus memperhatikan komoditi andalan mereka, yakni sagu.

Pemkab Lingga melupakan potensi besar gambir di daerahnya. Di Desa Sungai Raya, Kecamatan Singkep Barat ada usaha perkebunan gambir bernama Mongsul Bangsal, Usaha perkebunan gambir di Desa Sungai Raya, Kecamatan Singkep Barat, Lingga milik keluarga Aleng Loya. Usaha gambir dijalankan secara turun temurun dan sudah memasuki generasi keenam. Usaha perkebunan gambir dilanjutkan anak Aleng bernama Agus Sutarman alias Atong. Areal perkebunan semakin berkurang. Kini tinggal 50 hektar saja. Tahun 2006-2008, areal kebun mencapai 200 hektar.
Atong bercerita, usaha gambir di Kabupaten Lingga hanya ada di Sungai Raya. Usaha ini sudah berlangsung turun temurun. Ayahnya generasi kelima dan ia generasi keenam. Sebelum di Desa Sungai Raya, budidaya dan pengolahan gambir keluarganya ada di Langkap, Desa Bakong, Singkep Barat. Namun, awal tahun 1970-an ayahnya membuka perkebunan gambir di Sungai Raya dan bertahan hingga sekarang.
Ia ingat saat permintaan gambir besar dan harga bagus tahun 2006-2008, areal perkebunan gambir yang produksi mencapai 200 hektar. Saat itu gambir berkualitas bagus harganya mencapai Rp50 ribu per kilogram dan kualitasnya dibawahnya sekitar Rp30 ribu. Jumlah pekerja kebun mencapai 65 orang.

Pengolahan gambir Mongsung Bangsal di Desa Sungai Raya berbeda dengan pengolahan gambir di Sumatera Barat dan daerah lainnya. Daun gambir yang dipetik dicincang atau dipotong-potong sebelum direbus di dalam kancah (kuali besar). Sementara, di daerah lain, daun gambir diikat kemudian direbus. Untuk mengeluarkan getahnya, daun gambir tersebut ditekan atau dipress menggunakan dongkrak atau alat lain. Getahnya baru keluar.Produk gambir Mongsul Bangsal ini diekspor ke Jepang via Singapura. Gambir dijual pada perusahaan Jepang dibawah bendera Jintan Coorporation. Selama 40 tahun usaha Mongsul Bangsal, selalu menjual pada Orang Jepang. Awalnya gambir dijual ke Orang Jepang di Jakarta dibawah bendera Jintan. Namun, belakangan gambir langsung dikirim ke Jepang via Singapura. Benderanya tetap sama, Jintan. Daerah lain ekspor gambirnya ke India dan bukan ke Jepang.

Gambir dari Lingga juga lebih disukai karena kadar katekinnya lebih tinggi ketimbang daerah lain. Gambir lebih bersih dan di Jepang digunakan untuk obat-obatan. Jintan Coorporation di Jepang juga memakai gambir dipakai dalam pembuatan permen khusus bagi perokok yang dapat menetralisir nikotin. Sekali pengiriman bisa 5-8 ton gambir. Selain Mongsul Bangsal, tak ada lagi usaha perkebunan gambir di Lingga. Tahun 2000-an warga sekitar ikut menanam gambir, tapi kemudian kebun gambir dibiarkan. Masyarakat tak sanggup membiayai biaya operasional perkebunan gambir sebelum bisa dipanen.
Nasib gambir di Kundur jauh lebih baik dari Lingga. Areal perkebunan gambir jauh lebih luas dan sekitar 50 ribu hektar lahan berpotensi untuk budidaya gambir. Perhatian Pemkab Karimun juga lebih baik. Salah satu buktinya, dengan adanya pengadaan bibit gambir.

Dalam bukunya Untung Sabut, mantan Gubernur Kepri. Almarhum HM Sani juga menuliskan keberadaan perkebunan gambir di kampung halamannya, Kundur. Petani gambir di Kundur, katanya banyak yang memperluas areal kebunnya untuk peningkatan produksi. Hal ini didukung kondisi harga gambir yang cenderung relatif bagus.
Ke depannya, perluasan areal tanam juga harus dilakukan di Kundur dan juga Lingga. Tak hanya dua daerah itu, perkebunan gambir juga berpotensi kembali dihidupkan di Bintan, Tanjungpinang dan daerah lainnya di Kepri. Alangkah hebat kalau kembali menghidupkan kembali perkebunan gambir yang pernah jaya dan menjadi salah satu komoditi perdagangan andalan dari Kepri.
Perkebunan gambir yang sudah ada ratusan tahun di Kepri ini jangan diabaikan. Kalau dibiarkan, nasib gambir di Kundur dan Sungai Raya, Singkep Barat akan sama dengan nasib gambir di Pulau Bintan. Gambir 8)kehilangan jejaknya dan tinggal nama, seperti Jalan Gambir di Tanjungpinang.** (Disiarkan RRI Tanjungpinang, 5 Februari 2018)