Gambang Mentuda Diambang Kepunahan

0
1013

Oleh:
M Fadlilah
(Pemerhati Budaya Lingga)

Di Kabupaten Lingga terdapat berbagai alat musik tradisional Melayu. Peralatan alat musik tradisional di Lingga ada juga dipengaruhi oleh budaya asing seperti Arab dan kolonial. Ada juga alat musik tradisional tertentu yang dulu pernah ada, namun kini telah punah dan menjadi asing bagi sebagian orang Lingga karena telah lama tidak dipergunakan lagi. Alat musik itu, seperti sebagian peralatan gamelan Melayu Lingga yang pernah berkembang di era Kerajaan Lingga-Riau, kini menjadi bagian dari warisan seni budaya Melayu Pahang dan Terengganu di Malaysia.
Merujuk kepada Mohd Mokhtar bin Abu Bakar dalam artikelnya berjudul Joget Pahang Satu Usaha Menghidupkannya Kembali (Lembaga Muzium Pahang dan Persatuan Sejarah Malaysia Cawangan Pahang, 1982), peralatan alat musik gamelan Melayu Lingga yang pernah di bawa ke Pahang oleh Bendahara Sri Maharaja Tun Ali di tahun 1835 terdiri dari, kerombong, gambang, demong, saron, kenong, sepasang gong, dan satu gendang.

Jika gambang gamelan Melayu yang pernah berkembang di Lingga zaman Kerajaan Lingga-Riau terdiri dari dua puluh susunan bilah-bilah kayu yang dimainkan bersama-sama alat musik lain, namun terdapat juga gambang khas Desa Mentuda, di Kecamatan Lingga. Gambang khas Mentuda bukan bagian dari peralatan gamelan Melayu. Dari segi bentuk gambang khas Mentuda berbeda dengan gambang gamelan Melayu. Gambang khas Desa Mentuda dibuat dari tiga buah kayu bulat yang dibelah dengan panjang lebih kurang satu meter dan digantung dengan kulit kayu. Tiga buah kayu disusun melintang digantung dengan kulit kayu dari atas ke bawah dengan diberi jarak supaya mudah diketuk untuk menghasilkan bunyi. Kayu yang digunakan dari jenis tertentu, yang ringan dan bisa menghasilkan bunyi yang baik. Alat musik gambang dengan tiga buah kayu ini, dapat dikatakan sebagai alat musik tradisional khas Desa Mentuda.

Sejarah

Hasan atau biasa dipanggil Ngah Hasan, seorang tokoh tua yang pandai bermain dan membuat gambang menuturkan untuk menghasilkan bunyi gambang yang baik, tiga buah kayu bisa juga ditebuk. Dia juga mengatakan, dalam memainkan gambang, bisa mengikuti rentak irama tari inai, silat pengantin dan tari jenjang. Mengenai asal-usul masuknya gambang ini ke Mentuda, setakat ini belum dapat diketahui secara jelas oleh masyarakat. Abdurrahman tokoh agama yang sering dipanggil oleh orang Mentuda dengan Pak Imam atau Pak Cik Man tidak mengetahui secara pasti sejak kapan orang Mentuda mengenal alat musik gambang. Dia menyatakan, alat musik ini telah dikenal lama, sejak zaman dahulu.

Gambang khas dari Desa Mentuda ini tidak dimainkan untuk mengiringi tarian atau nyanyian tertentu atau pun di mainkan bersama-sama alat musik lain. Berdasarkan penuturan beberapa orang di Desa Mentuda, dapat dikatakan gambang dimainkan untuk menghilangkan sepi dan menghibur diri saat menjaga pohon durian berbunga hingga berbuah. Di masa lalu, jika musim durian berbunga, para pemilik akan tinggal di pondok menjaga kebun durian dari serangan hewan liar. Saat sore hari, mereka yang tinggal di pondok-pondok, untuk menghilangkan sepi dan sekaligus menghibur diri memainkan gambang. Di sore hari suasana dusun durian yang sepi senyap seakan hidup karena bunyi pukulan gambang sahut menyahut.

Gambang Masa Kini

Di masa kini, permainan gambang kurang diminati generasi muda dan sebagian besar masyarakat Desa Mentuda. Hanya segelintir orang yang masih tertarik memainkan gambang di saat musim menjaga pohon durian tiba. Alat musik ini kedepannya bakal terancam punah di tengah kehidupan masyarakat Desa Mentuda khususnya dan nasional pada umumnya. Gambang Mentuda ini perlu segera dilestarikan oleh pihak terkait yang mengurusi bidang kebudayaan. Hal yang paling utama, tentunya perlu didukung segenap masyarakat, Pemerintahan Desa dan Lembaga Adat Melayu Desa Mentuda.

Gambang ini perlu juga diberi perhatian dan diteliti lagi oleh para pakar alat musik yang tahu seluk beluk alat musik tradisional. Para pakar alat musik yang mau bertungkus lumus membaktikan dirinya untuk pelestarian kebudayaan, tentunya Gambang Mentuda menjadi sesuatu yang menarik. Oleh pakar alat musik tentunya gambang ini boleh dibuat dengan bentuk yang lebih baik lagi dan menetapkan standar nadanya, sehingga memudahkan orang yang berminat untuk mengetahui dan memainkannya. Kedepan Gambang Mentuda, tidak lagi sekedar hanya dijadikan alat musik menghilangkan sepi, dan penghibur diri menjaga dusun durian dari serangan hewan liar tetapi lebih dari itu. Gambang Mentuda, perlu didudukkan dengan alat musik lain sehingga dapat terus dikenal dan dimainkan oleh masyarakat.**