Perubahan Struktur Organiasasi dan Tata Kerja (SOTK) pemerintahan provinsi Kepri yang melebur Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mendapat banyak kritikan, termasuk dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kepri, unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Dedi menjelaskan, Dinas Kebudayaan Kepri selama ini menjadi percontohan dari 34 provinsi di Indonesia, karena hanya tiga provinsi yang dinas kebudayaannya berdiri sendiri yakni Kepri, Bali, dan Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY).
Sementara provinsi lain lanjut Dedi, mayoritas menggabungkan dinas kebudayaan dengan dinas pariwisata sementara Sumatera Barat dan Riau menggabungkan Dinas Kebudayaannya dengan Dinas Pendidikan.
“Justru Kepri dengan posisinya yang istimewa itu, banyak daerah lain yang studi banding kesini (Kepri,red). Mereka melihat dinas kebudayaannya berdiri sendiri dan Kepri jadi contoh daerah lainnya yang berencana akan menjadikan dinas kebudayaannya berdiri sendiri. Ini kok malah melebur. Apa tak mundur namanya ?,” tegasnya.
Dedi menambahkan, Provinsi Riau sejak lama merencanakan dinas kebudayaannya dipisah dengan Dinas Pendidikan. Dengan adanya peraturan pemerintah (PP) nomor 18 tahun 2016 tersebut, Riau justru menjadikan Dinas Kebudayaan sendiri.
“Ini kan ironis. Saat provinsi induknya mengikuti langkah Kepri, ini kok malah balik arah,” terangnya.
Alasan lain menolak penggabungan dua dinas tersebut lanjut Dedi, karena Kepri memiliki visi yang hebat dibidang budaya, yakni terwujudnya Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu yang sejahtera, berakhlak mulia, ramah lingkungan, dan unggul di bidang maritim.
“Bunda Tanah Melayu rohnya adalah kebudayaan Melayu. Kepri lebih menjual sebagai pusat kebudayaan melayu ketimbang Riau,” jelasnya.
Selain itu kata Dedi, Dinas Kebudayaan menjadi nyawa provinsi Kepri untuk perwujudan visi sebagai Bunda Tanah Melayu. Kepri sudah lebih dulu melangkah menjadikan kebudayaan sebagai daya tarik.
Saat Pemerintah Riau sedang fokus menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu ditahun 2020 mendatang, Kepri malah membuat langkah mundur. Perubahan SOTK dinas kebudayaan dampaknya akan besar bagi pembangunan kebudayaan kedepannya.
“Kalau dua dinas itu digabung, dapat dipastikan banyak program dan perencanaan kegiatan yang bakal amburadul. Pariwisata yang menjadi ikon Kepri tak bisa lagi fokus diurus satu instansi. Perhatiannya akan bercabang ke bidang kebudayaan yang juga menjadi ikon Kepri. Jadinya serba setengah-setengah,” ungkapnya.
“DPRD Kepri, LAM (Lembaga Adat Melayu), dewan kesenian, organisasi kebudayaan, akademisi, dan budayawan yang ada di Kepri, harus menyuarakan aspirasinya. Sejauh ini belum ada penolakan yang keras dari elemen yang sifatnya kelembagaan. Penolakan baru sebatas pendapat pribadi budayawan dan sejumlah politisi,” pungkasnya. (terbit di harian batampos, 10 September 2016)