Diaspora Orang Bangka di Lingga Jadi Buku

0
373
Diskusi terpumpun tentang Diaspora Orang Bangka di Lingga. Sabtu (11/11) kemarin. di Gedung LAM Lingga. **

Diaspora Orang Bangka sampai di Lingga, Provinsi Kepri ditulis dalam buku berjudul Lima Abad Lalu Orang Bangka sudah di Lingga. Penulisnya Said Barakbah Ali dan Abdul Haji. Diskusi terpumpun tentang buku ini digelar, Sabtu (9/11) di Gedung LAM Kabupaten Lingga, Daik.

Penulis buku, Abdul Haji menyebutkan, orang Bangka pertama ke Lingga pada abad ke 15 yakni 300 tahun atau 3 Abad sebelum Sultan Mahmud Riwayat Syah memindahkan pusat kerajaan di Daik Lingga dari Riau. “Sultan Mahmud pindah ke Daik Lingga pada Abad ke 18 jadi sampai sekarang 2018, orang Bangka di Lingga sudah mencapai kurang lebih 500 tahun, atau 5 Abad. Orang-orang Bangka adalah orang yang pertama kali diam atau membuat perkampungan di Lingga,”kata Aji.

Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga, Muhammad Ishak menyebutkan, lewat diskusi ini dapat dilakukan penyempurnaan buku yang telah ditulis.
“Dalam penulisan buku ini, kedua penulis turun ke Bangka. Sejarawan Bangka juga hadir ke Lingga untuk diskusi buku ini,”kata Ishak.

Sejarawan Babel, Akhmad Elvian menulis, diaspora orang Bangka di Lingga terjadi dalam konstelasi politik dan ekonomi yang berkembang di kawasan Selat Bangka, selat Malaka dan selat Karimata pada masa dimulainya hegemoni bangsa asing kulit putih menancapkan kuku kekuasaannya sekitar abad 18 Masehi. Tarik menarik hubungan dan pengaruh antar kekuasaan di wilayah yang dinamakan kawasan pantai-pantai niaga yang disenangi (the favoured commercial coast) antara Kesultanan Palembang dengan Kerajaan Johor, Kesultanan Lingga dan VOC semakin meramaikan catatan sejarah kawasan ini.

Hubungan yang erat antara Bangka dan Lingga dalam konteks politik, sosial dan ekonomi sudah terajut ketika seorang depati dari tanah Bangka Depati Djeroek, bernama Depati Karim atau Depati Anggoer ikut membantu Panglima Raman dari Lingga berperang melawan VOC dan Palembang. Depati Karim luka-luka dan gugur, puteranya yang masih kecil bernama Bahrin kemudian dipelihara dan dididik Panglima Raman di Lingga.

Dalam laporan residen Belanda J.C. Mann tersebut dikatakan bahwa ini adalah terakhir kalinya Belanda mengirimkan pasukan militernya untuk berhadapan dengan pribumi Bangka. Panglima Raman dari Lingga yang datang ke Bangka, membawa banyak orang Bangka ke Lingga. Kemudian orang-orang Bangka banyak yang datang untuk menikmati hidup di Lingga dan mereka mendirikan kebun-kebun dan kampung-kampung dan tidak mau kembali lagi. Orang Bangka yang datang secara sukarela ke Lingga adalah keluarga Abang Tawi di Mentok. Kepindahan mereka ke Lingga dipimpin oleh Abang Abdoelraoef, putera Abang Tawi.

Orang Mentok yang pindah ke Lingga dibantu oleh Panglima Raman dan kemudian ditempatkan di Lingga dan di pulau Singkep. Orang-orang Mentok keluarga abang Tawi, kemudian banyak membawa orang-orang dari Sungailiat dan Merawang serta bagian distrik lainnya di pulau Bangka untuk menambang Timah di Singkep. Pada masa Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka M.H. Court berkuasa (1813 Masehi) di Mentok, Ia diminta oleh kepala-kepala rakyat di Mentok (terutama keluarga Abang Abdoelraoef) untuk mengajak pulang orang-orang Bangka (Mentok) di Lingga dan Singkep, akan tetapi hanya sebagian yang ingin pindah kembali ke Mentok, dan sebagiannya lagi lebih senang menetap di Lingga, hingga sekarang masih banyak orang Mentok yang tinggal di Lingga dan pulau Singkep.

Beberapa dasawarsa kemudian, hubungan baik antara Lingga dengan Bangka tampak dalam upaya perlawanan bersama melawan penjajahan Belanda. Saat itu orang Bangka sedang berperang melawan Belanda dipimpin oleh Depati Amir. Dalam sedikit catatan pada laporan Belanda dikatakan, bahwa sekitar tanggal 26 September 1850, didatangkan bantuan pasukan dipimpin Kapten Buys dengan kekuatan dua kapal perang bertenaga uap yaitu kapal uap Bromo dan kapal uap Cipanas yang dilabuhkan di Teluk Kelabat Bangka. Kapal perang uap tersebut dikirim untuk mempermudah dan mempercepat transportasi dan logistik pasukan militer Belanda ke ibukota keresidenan Bangka di Kota Mentok serta dalam rangka memblokade perairan pulau Bangka agar Depati Amir tidak dapat menerima bantuan logistik dan persenjataan dari luar pulau Bangka, terutama dari saudara-saudaranya yang berada di Lingga. Sebelumnya orang-orang Lingga dengan perahu bercap dari Raja Lingga telah membantu Amir dengan menyerang wilayah pesisir di Teluk Kelabat, di Teluk Jebus, dan di Pantai Timur Laut perairan Sungailiat. Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan kapal uap Onrust dan Tjipanas bersama dua perahu bersenjata untuk mengejar orang-orang Lingga tersebut. **