Dari Hulu ke Hilir: Aktivitas Perdagangan Lada di Jambi Abad XVI-XVIII

0
2914

Sejarawan Gusti Asnan menulis pelayaran dan perdagangan rempah Sumatera adalah aspek historis yang relatif terabaikan oleh sejarawan. Hingga saat sekarang ini belum ada sebuah kajian khusus yang membincangkan fenomena historis itu. Kalau pun ada pembahasan aspek rempah, itu hanya sebagai bagian dari kajian terhadap aspek dan fokus yang lain. Padahal tak diragukan lagi, pelayaran dan perdagangan rempah pernah menjadi bagian penting sejarah Sumatera. Tak hanya itu, pelayaran dan perdagangan rempah Sumatera berpengaruh besar dalam jaringan pelayaran dan perdagangan nusantara dan jaringan global pada umumnya.

Belum ada buku atau laporan penelitian yang mengkaji perdagangan lada di Jambi secara spesifik. Lada biasa juga disebut sahang dalam bahasa Melayu. Ada juga menyebut merica dalam bahasa sansekerta. Lada di Jambi telah lama lenyap diantara primadona komoditas lain, seperti emas, karet, dan kelapa sawit. Masyarakat Jambi tak familiar lagi dengan lada. Diyakini banyak warga Jambi yang tak tahu lada itu bentuknya seperti apa dan bagaimana tanamannya.

Perdagangan lada di Jambi disinggung dalam buku Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara, Sumatera Tenggara Pada Abad XVII dan XVIII.Buku ini jadi rujukan utama untuk mengambarkan tipe masyarakat Jambi yang terbagi atas kedua kelompok hulu dan hilir.Kondisi ini juga berpengaruh pada perdagangan lada di Jambi.Lada ditanam di hulu dan Bandar dagangnya di hilir atau di Pelabuhan Jambi.

M.A.P Meilink Roelofsz dalam bukunya Perdagangan Asia & Pengaruh Eropa di Nusantara Antara 1500 dan sekitar 1630 juga memaparkan adanya perdagangan lada di Jambi yang dikendalikan Portugis. Ketimbang bangsa Eropa lain, Portugis yang paling duluan masuk Jambi.  Belakangan, Inggris dan Belanda datang.Terjadilah persaingan memperebutkan lada di Jambi.Portugis akhirnya bisa diusir.

Sejumlah buku telah membahas perdagangan lada di Jambi pada abad ke XVI- XVIII. Buku Lindayanti, Junaidi T. Noor, Ujang Hariadi, Jambi Dalam Sejarah 1500-1942. (Jambi : Pusat Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi,2013 menulis perekonomian Jambi mengalami berbagai perubahan, dimulai dari Jambi sebagai pelabuhan ekspor bagi produk daerah pedalaman Minangkabau, seperti emas, lada, dan produk hutan Jambi sendiri. Selanjutnya setelah Jambi berada di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda, mulai dikenal tanaman-tanaman lain, seperti karet dan minyak bumi.

A.B Lapian dalam tulisannya Jambi Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal dalam Buku Seminar Sejarah Melayu Kuno Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi:Kanwil Depdikbud, 1992 mengupas perdagangan di Jambi pada masa zaman pra sejarah, zaman Sriwijaya hingga munculnya Belanda melalui VOC di Jambi. Tapi buku ini tak spesifik memaparkan tentang perdagangan lada di Jambi.

Adanya perdagangan lada di Jambi pada abad XVI-XVII ditulis Anastasia Wiwik Swastiwi dalam bukunya Jambi Dalam Lintasan Sejarah Melayu (Abad I-XVII). Tanjungpinang:Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang, 2010. Wiwik menyebutkan, jauh sebelum kedatangan Belanda tahun 1615 M, Jambi sudah menjadi penghasil utama lada, emas, pinang, gaharu, getah alam merah, getah jernang dan getah jelutung. Menginjak awal abad ke XVII, Jambi ramai dikunjungi pedagang dari Cina, India, Parsi, Arab, Portugis, Inggris dan Belanda. Pedagang Inggris dan Portugis duluan datang, tapi tak diizinkan membuka kantor dagangnya di Jambi. Sama dengan buku yang lain, adanya perdagangan lada menjadi bagian kecil dari keseluruhan buku.

Dalam bukunya, Elsbeth Locher Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial : Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda, dijelaskan mengenai hubungan antara kesultanan Jambi dan Batavia. Buku ini juga menerangkan wilayah kesultanan Jambi dan kehidupan sosial ekonomi pada masa kesultanan.Menyinggung daya tarik emas terhadap imigrasi dari Minangkabau, yang memberikan warna terhadap keheterogenan dan keanekaragaman penduduk Jambi.

Adanya perdagangan lada di Jambi menyebabkan pendatang merantau ke Jambi, diantaranya orang Minangkabau, Bugis, Arab, Cina dan suku-suku lainnya di Indonesia.  Hal ini ditulis dalam penelitian Lindayanti, Witrianto dan Zulqayyim, Harmoni Kehidupan di Provinsi Multi Etnis: Studi Kasus Integrasi Antara Penduduk Pendatang dan Penduduk Asli di Jambi. Padang: Laporan Penelitian Universitas Andalas, 2010. Dalam tulisan ini juga ada ditulis Jambi dan perdagangan lada. Perdagangan lada salah satu faktor utama pendatang hijrah ke Jambi.

William Marsden dalam buku Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013 juga menulis produksi flora Sumatra sebagai komoditas perdagangan. Menurut Marsden, komoditas yang paling penting dan berlimpah dari semua komoditas perdagangan di Sumatra adalah lada. Namun, ia lebih banyak membahas soal teknis budidaya lada dan beragam jenisnya. Selain itu, ia juga membahas perdagangan yang dilakukan East India Company (EIC), kantor dagang Inggris.

Lada Jambi

Joanna Hall Brierly dalam bukunya Spices, The History of Indonesia’s Spice Trade (1994) mencatat, lada sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-6 melalui Pulau Jawa dan Sumatera. Di Indonesia, lada mendapat sebutan nama baru merica yang diambil dari bahasa sansekerta. Lada pertama kali dibawa para pedagang Arab dan Persia dan kemudian ditanam di sekitar Banten. Dari Banten, tumbuhan itu lalu dikembangkan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.  Namun, karena hasilnya kurang bagus, lada kemudian dibawa ke seberang pulau di Sumatera. Di sana, lada tumbuh subur dan bisa dikembangbiakkan menjadi berbagai macam varietas baru. Di Sumatera bermunculan varietas-varietas lada yang menunjukkan nama-nama tempat, seperti Aceh, Kerinci dan, Jambi.

Williams Marsden menyebut komoditas yang paling penting dan berlimpah dari semua komoditas perdagangan di Sumatra adalah lada. Lada (merica) liar yang belum diolah dari Sumatra dan Jawa telah sejak lama dijual pasar internasional sebelum kedatangan bangsa Eropa abad XVI. Salah satu jenis lada, yaitu kemukus telah dikenal sebagai barang ekspor dari Palembang dan Jambi dan jadi primadona di pasar Cina dan nusantara pada abad ke VIII. Lada (piper nigrum) bukan berasal dari nusantara, melainkan dari barat daya India. Merica jenis ini tak tumbuh alami melainkan dibudidayakan. (Wiiliam Marsden, 2008).

Budidaya merica di Sumatra dimulai abad XV.Pedagang India yang memperkenalkan merica saat bertemu pedagang Sumatra di Malaka. Lada Jambi salah satu jenis atau varian lada di Sumatra pada abad XV sampai XVIII. Varian lainnya adalah  Lada Mmanna dan Lada Kkawur. Penamaan lada itu berdasarkan asal usul lada. Lada Jambi reputasinya paling jelek. Daun dan buah ukuran paling kecil, berumur paling pendek dan sulit dipasang tiang penyangga dalam penanamannya.

Lada di Jambi dihasilkan di daerah hulu. Produsen utama lada di Jambi adalah orang-orang Minangkabau yang tinggal di sepanjang Sungai Batanghari, khususnya di dua distrik yaitu Tanjung dan Kuamang, federasi Kota Tujuh (VII Koto) dan Sembilan Kota (IX Koto). Lada juga ditanam di aliran sungai Muaro Ketalo dan sepanjang aliran sungai Tembesi dan Merangin. Kerinci juga dikenal daerah penghasil lada.Jenis lada yang dibudidayakan di Kerinci mungkin lada asli Indonesia, bukan piper nigrum yang berasal dari daerah Malabar, India.

Tom Pires menyebutkan sejak awal abad XVI, Jambi dikenal sebagai penghasil  emas  dan mungkin hal inilah  yang mendorong orang Minangkabau datang ke VII Koto dan IX Koto Lada di Pelabuhan Jambi tak hanya datang dari daerah Hulu Jambi, tapi juga dari daerah wilayah yang termasuk daerah penyangga Kesultanan Jambi.Lada yang masuk ke Jambi datang dari berbagai daerah di Sumatra, terutama dari Minangkabau.Lada dibudidayakan di kaki perbukitan pegunungan Bukit Barisan.Hasil lada dari Minangkabau dibawa ke hilir menggunakan transportasi sungai.

Ada dua pola perdagangan lada di Jambi. Pertama, pola perdagangan lada dari daerah produksi di hulu dibawa ke hilir (Pelabuhan Jambi). Kedua, lada dari hulu tak dibawa ke hilir melainkan dibawa melalui jalur alternative.Dari hulu dibawa ke Muaro Tebo (Dijuluki Malaka Kecil) yang nantinya dibawa ke Selat Malaka melalui Indragiri dan Kuala Tungkal.

Konflik hulu dan hilir tak berbentuk fisik. Orang hulu yang penghasil lada tak membawa hasil ladanya ke hilir. Mereka melakukan pindah sungai. Ada empat pola pindah sungai dengan tujuan menghindari hilir. Lada dipasarkan ke Pantai Timur Sumatra melalui Sungai Indragiri.  Pindah sungai bentuk perlawanan yang menjadi pola dalam sejarah sosial dan politik daerah Pantai Timur Sumatra.

Pada awal abad ke XVI, petani lada di hulu di Jambi menjual ladanya ke hilir. Dari sana, pedagang besar lada mengangkut lada itu ke pelabuhan yang lebih besar dari Jambi, yakni Palembang, Banten, Gresik dan juga Pattani di semenanjung Malaya. Sultan, bangsawan maupun Belanda yang jadi pedagang lada juga sering jemput bola. Mereka mengirimkan agen ke hulu untuk membeli lada langsung dari petani. Agen itu lebih banyak orang Cina ketimbang orang Eropa langsung. Orang Cina lebih bisa membaur dengan masyarakat hulu sebagai penghasil lada. Orang Cina yang jadi agen itu ke hulu membawa bekal tekstil, seperti kain untuk dijual di hulu.Kadang lada dibarter dengan tekstil tersebut.Tak jarang juga, agen itu meminjamkan uang kepada petani lada.

Pengiriman lada sering terganggu karena kesulitan akses geografis antara hulu dan hilir.Penundaaan sering berbulan-bulan karena rakit hanya bisa melewati sungai dalam kondisi air sungai tinggi.Saat kondisi sungai dangkal, pelayaran dari hulu berhenti setelah melewati Sungai Tembesi. Pada musim kemarau saat perdagangan dengan Pelabuhan Jambi terhenti, Muaro Tebo berperan menjadi pelabuhan transit bagi produk lada dari daerah Minangkabau dan dari daerah Tanjung, Kuamang dan Sumai. Pelaku perdagangan lada di Jambi terdari asing dan nusantara. Asing mencakup Portugis, Cina, Belanda dan Inggris. Sedangkan dari nusantara, pedagang Bugis/Makassar juga ikut perdagangan di Jambi.

Portugis sangat mengincar Jambi disebabkan karena daerah ini tidak dikendalikan  Aceh dan Banten.  Belanda dan Inggris meski bersaing namun kompak dalam satu hal, yakni berlawawanan dengan Cina dalam perdagangan lada di Jambi.  Sultan dan bangsawan Jambi juga menjadi pedagang lada. Dari pertengahan 1550-an hingga akhir abad XVII, Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada yang menguntungkan. Pada awalnya dengan orang Portugis dan sejak tahun 1615 dengan perusahaan dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda (VOC).

Sultan mengandalkan pemasukan yang diperoleh melalui monopoli perdagangan atau bea ekspor. Para Sultan Jambi menjadi sangat kaya seiring waktu berjalan.  Pada tahun 1616, Pelabuhan Jambi  sudah digadang-gadangkan sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh. Pada periode kerjasama dengan VOC, Sultan Jambi menangguk untung 30-35 persen dari lada yang terjual.

Tahun 1630, penanaman lada Jambi berkembang pesat seperti ke Tembesi, Merangin dan Muara Ketalo.   Ramainya perdagangan lada berdampak pada peningkatan kesejahteraan istana. Sultan, bangsawan, termasuk syahbandar pelabuhan menjadi kaya. Istri sultan, istri bangsawan bergaya hidup mewah. Berpakaian impor dari Eropa. Syahbandar dan orang Cina yang jadi pedagang perantara juga hidup mewah. Punya banyak istri, memiliki budak dan rumahnya megah.

Pada masa kejayaan perdagangan lada di Jambi mendorong mobilitas penduduk dari berbagai daerah. Kelompok orang Bugis, Orang Melayu Timur yang berasal dari Luzon, orang Jawa, orang Cina dan orang Minangkabau berdatangan. Kesultanan dipengaruhi dua kekuatan besar yaitu dari Jawa dan Minangkabau. Kedekatan dengan Mataram terlihat dari pakaian dan bahasa Jawa yang mulai  dipakai di kalangan kraton masa pemerintahan Pangeran Kedah Abdul Kahar.

Di samping migrasi penduduk,  pelabuhan-pelabuhan yang mekar butuh tentara yang kuat. Sultan Jambi pada tahun 1660-an memiliki tentara bayaran orang Bugis sebanyak 500 orang.  Tahun 1680, Jambi kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di Pesisir Timur Sumatra setelah bentrok dengan Johor.Hal ini diperparah pergolakan internal. Dalam bidang perdagangan, terjadi ketegangan antara hulu dan hilir yang fungsinya antara produsen dan perantara. Inggris meninggalkan pos dagangnya di Jambi tahun 1679.VOC bertahan agak lama meski kongsinya mendatangkan untung yang kecil setelah tahun 1680.

Kontrak Dagang

Selain Portugis dan Cina, Belanda dan Inggris juga terlibat dalam perdagangan lada di Jambi.Keduanya berusaha mengambil alih posisi Portugis dalam monopoli lada.Dari pertengahan 1550-an hingga akhir abad XVII, Kesultanan Jambi melakukan perdagangan lada yang menguntungkan. Pada awalnya dengan orang Portugis dan sejak tahun 1615 dengan perusahaan dagang Inggris dan Hindia Timur Belanda (VOC). Sultan mengandalkan pemasukan yang diperoleh melalui monopoli perdagangan atau bea ekspor. Para Sultan Jambi menjadi sangat kaya seiring waktu berjalan.  Pada tahun 1616, Pelabuhan Jambi  sudah digadang-gadangkan sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatra setelah Aceh. Pada periode kerjasama dengan VOC, Sultan Jambi menangguk untung 30-35 persen dari lada yang terjual.

Belanda banyak melakukan kontrak dagang dengan penguasa Jambi.  Tanggal Kontrak 6 Juli 1643 antara Pangeran Anom dengan VOC yang diwakili oleh Pieter Soury mengenai lada menyebutkan bahwa, budak-budak kompeni boleh tinggal dan berdangang di Jambi, demikian pula rakyat Jambi boleh berdagang dan tinggal di Batavia. Ada juga kontrak  tertanggal 12 Juli 1681 antara Sultan Jambi dengan VOC yang diwakili oleh Adrian Wiland. Dalam kontrak ini, kompeni memberikan perlindungan kepada kesultanan Jambi jika mendapat ancaman dari Palembang. Sebagai Kontrak imbalannya, harga lada yang dijual kepada kompeni diturunkan sama dengan harga lada yang dibeli kompeni dari Palembang. Disamping itu, kompeni mendapatkan monopoli impor kain linen.

Kontrak 11 Agustus 1683 antara Sultan Ingalaga dengan VOC menyebutkan kompeni memperoleh monopoli pembelian lada, impor kain dan opium (candu) di Jambi. Sultan Jambi dan para penggantinya, termasuk para pembesar kerajaan lainnya harus melarang orang asing lainnya membawa dan menjual kain di wilayah kerajaan Jambi, dan jika hal itu terjadi maka kapal dan barang bawaannya dirampas, sebahagian diserahkan kepada sultan dan sebahagian diserahkan kepada VOC.

Kontrak 21 Agustus 1681 antara Sultan Anom dengan VOC berisi keterangan tentang hak kompeni untuk memperoleh monopoli pembelian lada di Jambi.Setiap akhir tahun sultan Jambi diharuskan memasok 1000 pikul lada dengan harga setiap pikul 4-5 real.Jika ada orang Jambi menjual lada kepada selain VOC, baik itu pejabat, pembesar kerajaan atau rakyat biasa, bila ketahuan ladanya dirampas, separo diserahkan kepada sultan dan separohnya lagi kepada kompeni.

Kontrak 20 Agustus 1683 antara sultan Jambi dengan VOC tentang pembaharuan kontrak 6 Juli 1643 antara Pangeran Dipati Anom dengan komisaris Pieter Soury mengenai perdagangan lada. Catatan kontrak ini ada dalam arsip yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia.

Kontrak 21 Oktober 1721 antara Sultan Astra Ingalaga dengan VOC (isinya tidak dapat di baca lagi karena arsipnya rusak).Akte perjanjian 12 Juni 1756 antara Sultan Ingalaga dengan VOC berisi kebebasan kepada kompeni berdagang di Jambi.Sultan Jambi juga harus menunjuk saudagar yang membeli barang-barang kompeni.Kontrak 16 Oktober 1763 berisi upaya memperkuat perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya yakni, (a).Jambi di bawah perlindungan kompeni (b).Orang-orang Cina dan pedagang-pedagang yang diam dan menetap di Muara Jambi membantu pekerjaan kompeni (c).Kebun lada yang rusak agar direhabilitir dan ditanami kembali dan tidak boleh diberikan selain kepada kompeni.Isi kontrak diatas menunjukkan bahwa kekuatan militer memberikan kekuasaan besar kepada VOC yang notabene hanya sebuah perusahaan untuk mengendalikan keputusan-keputusan kerajaan.

Tak hanya antara VOC dan kesultanan, juga ada perjanjian antara kantor dagang Inggris (EIC) dan pembesar VOC Belanda tentang penentuan harga terendah lada. Ada surat persetujuan antara Deputi Inggris dan pembesar Belanda di Jambi tentang harga terendah lada yang dibawa keluar Jambi tertanggal 25 Oktober 1621.

Kemunduran Lada Jambi

Menjelang akhir abas ke 17, keseganan untuk menanam lada sangat jelas muncul dalam tulisan tulisan Melayu.Hal ini menimbulkan kekhawatiran elit istana yang terancam oleh tidak stabilnya penanaman lada. Hikayat Kerajaan Banjarmasin mengeluhkan kondisi seperti ini:

“Biarkan tak seorang pun di negeri menanam lada, sebagaimana hal itu tak dilakukan di Jambi dan Palembang.Mungkin negeri-negeri itu menanamnya demi uang agar bisa merengkuh kekayaan. Tak diragukan lagi bahwa mereka akan tiba pada saat keruntuhannya. Yang didapat hanya perseteruan dan bahan pangan akan menjadi mahal… Peraturan peraturan akan berada dalam kekacauan karena orang di kota raja tidak akan dihormati oleh penduduk pedesaa; pengawal-pengawal raja tidak akan ditakuti oleh orang pedesaan…

Tahun 1680, Jambi kehilangan posisinya sebagai pelabuhan lada utama di Pesisir Timur Sumatra setelah bentrok dengan Johor. Hal ini diperparah pergolakan internal. Dalam bidang perdagangan, terjadi ketegangan antara hulu dan hilir yang fungsinya antara produsen dan perantara. Inggris meninggalkan pos dagangnya di Jambi tahun 1679. VOC bertahan agak lama meski kongsinya mendatangkan untung yang kecil setelah tahun 1680.

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan perdagangan lada di Jambi mengalami kemunduran. Turunnya harga lada menyebabkan petani daerah hulu enggan menanam lada. Selain itu, daerah hulu yang jauh dari pusat kekuasaan kesultanan enggan adanya monopoli perdagangan lada yang menyebabkan harga lada dibeli dengan murah. Petani di hulu Jambi mengalihkan tanamannya dari lada ke tanaman lain, seperti kapas dan padi. Selain itu juga ada emas yang jadi mata pencaharian masyarakat di daerah hulu Jambi.

Ketika terjadi permasalahan perekonomian, VOC campur tangan lebih aktif. Sultan ditangkap dan dibuang ke Batavia. Aksi ini menjadikan Jambi terbelah antara hulu dan hilir. Perekonomian Jambi semakin memburuk tahun 1720. Didataran tinggi, masyarakatnya beralih menanam kapas dan padi. Kapas impor dari India harganya naik. Hal ini menyebabkan harga lada anjlok. Emas mengantikan lada sebagai komoditi ekspor utama.

Istana hanya sedikit meraup untung dari perdagangan lada. Penambang emas Minangkabau mengeskpor emasnya ke daerah yang mendatangkan untung yang lebih tinggi dan tak mesti ke ibukota Jambi.Sultan Jambi tak punya otoritas efektif mengatur mereka. Tahun 1700, pundi-pundi sultan kosong  dan pusaka istana dijadikan agunan. Pada akhir abad XVIII, Kesultanan Jambi menjadi negara vassal dibawah Raja Minangkabau di Pagaruyung.  Orang Minangkabau yang melakukan perpindahan besar-besaran abad XVII  menjadi berkuasa dan menguasai daerah datara tinggi. Jambi hulu menjadi daerah Minangkabau.Tahun 1768, Orang Jambi menyerang pos dagang VOC. Akhirnya VOC menutup pos dagangnya di Jambi. Perdagangan Jambi tak mendatangkan banyak hasil.Pada akhir abad ke XVIII, lada Jambi dianggap bermutu rendah. Pada abad XIX, pedagang nusantara tak lagi berlabuh di Jambi. **

 

Daftar Pustaka:

A.B Lapian, Jambi Dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal dalam Buku Seminar Sejarah Melayu Kuno Jambi, 7-8 Desember 1992. Jambi:Kanwil Depdikbud, 1992.

Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 jilid II (terj.), Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara, Sumatra Tenggara Pada Abad XVII dan XVIII. Yogjakarta:Penerbit Ombak, 2016.

Elsbeth Locher Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial : Hubungan Jambi-Batavia 1830-1907dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Jakarta : Banana, KITLV-Jakarta, 2008

Gusti Asnan, Sungai & Sejarah Sumatra. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016

Gusti Asnan, Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Rempah di Pulau Sumatera. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Jalur Rempah: Rempah Mengubah Dunia tanggal 12 Agustus 2017 di Makassar.

Lindayanti, Junaidi T. Noor, Ujang Hariadi, Jambi Dalam Sejarah 1500-1942. (Jambi :Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi, 2013.

Lindayanti, Witrianto dan Zulqayyim, Harmoni Kehidupan di Provinsi Multi Etnis: Studi Kasus Integrasi Antara Penduduk Pendatang dan Penduduk Asli di Jambi. Padang: Laporan Penelitian Universitas Andalas, 2010.

M.A.P Meilink Roelofsz, Perdagangan Asia & Pengaruh Eropa di Nusantara Antara 1500 dan sekitar 1630. Yogjakarta:Penerbit Ombak, 2016