Cian Cui, Tradisi Perang Air di Meranti

0
3314
Tradisi perang air (cian cui) saat imlek di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. foto: riauterkini.com

Festival Perang Air (Cian Cui), suatu tradisi unik dalam rangka memeriahkan Imlek di kota Selatpanjang, Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Perang Air (Cian Cui) dilaksanakan selama 6 hari berturut-turut. Masyarakat berkumpul dipinggiran jalan dan sebagian mengelilingi kota Selatpanjang dengan menggunakan becak untuk saling menyiram air dengan menggunakan pistol air atau melempar kantong plastik atau balon yang berisi air.

Awalnya tradisi ini dikenal dengan Perang Air, tetapi mulai tahun 2016 lalu dilakukanlah pergantian nama menajdi Cian Cui. Kabupaten Kepulauan Meranti memang sudah dikenal sebagai pemilik tradisi perang air. Helat tahunan ini dipandang unik dan di dunia hanya dilaksanakan di dua negara, yakni di Thailand dengan sebutan Songkran, dan di Indonesia persisnya di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, yang belakangan perang air.

Mereka yang terlibat Perang Air di Selatpanjang tak mengenal usia, dan tidak mengenal etnis, hanya saja pada saat ini lebih ramai dilakukan etnis Tionghoa. Hal ini cukup beralasan, lantaran perang air yang menggunakan pistol air, ember, gayung, plastik air, dan wadah air lainnya, dilakukan warga pada perayaan Imlek. Ationg, warga Tianghoa menyebutkan, dulu warga Tionghoa di Selatpanjang yang merantau dan pulang saat imlek selalu berkunjung ke rumah saudaranya untuk bersilaturahmi menggunakan becak kayuh roda tiga. Tradisi saling mengunjungi ini, juga dilakukan warga Tionghoa yang masih tinggal di Selatpanjang. Biasanya, dalam satu becak, salain kedua orang tua, juga ada anaknya-anaknya ikut beraya. Pada saat itu, anak-anak hoby main perang-perangan air menggunakan pistol air, dan setiap berpapasan antara becak satu dengan becak lainnya, anak-anak ini saling menembak satu dengan yang lainnya.

Kebiasaan perang air ini, kata Ationg, tidak hanya terjadi setelah peranyaan Imlek saja namun juga terjadi setelah Idul Fitri. Pada dua perayaan hari besar keagamaan ini, semasa kecil Ationg selalu terlibat perang air dengan kawan-kawannya. Belakangan, sempat beralih dari perang air ke perang tembak menggunakan peluru plastik yang berwarna-warni berukuran kecil. Namun, karena ini bisa membahayakan, jika kena mata bisa buta, akhirnya ada larangan dari oran tua masing-masing, agar anaknya tidak lagi main tembak-tembakan menggunakan peluru plastik tersebut. Kalau terkena peluru plastik ini terasa perih dan kulit mengelucas alias lecet.

Tersebab takut dimarahi orangtua, akhirnya perang-perangan dengan peluru plastik berhenti dengan sendirinya, anak-anak kembali pada perang air. Bahkan, kata Ationg, dalam perkembagannya etnis Tionghua ada yang menggunakan semprot salju untuk merayakan kemeriahan pasca Imlek. Sementara itu, anak-anak etnis Melayu yang muslim kegiatan perang air ini mulai mereda. Ahken, warga yang berdomisili di Jalan Rintis, Selatpanjang, segendang dan sepenari dengan Ationg. Kata Ahken, perang air pasca perayaan Imlek ini terjadi secara tiba-tiba dan tidak ada pelopor utama didalam perayaan tersebut, memang semasa kecil dirinya dan teman-teman kerap melakukan perang air menggunakan pistol air pasca perayaan Imlek.

Seingat Ahken, perang air yang dilakukan etnis Tionghua sempat beralih ke perang semprot salju, namun lantaran harganya mahal dan susahnya cairan salju masuk ke Selatpanjang, akhirnya kembali ke perang menggunakan air. Cairan salju tersebut dikemas dalam kaleng dan didatangkan dari Singapura atau Malaysia.

Hang Kafrawi, seniman dan budayawan muda Riau asal Meranti, masih ingat betul bahwa semasa kecilnya, setelah sehari Idul Fitri banyak pedagang mainan dari luar yang datang ke kampungnya. Para pedagang itu membentangkan barang jajaanya, dan paling dipilih anak-anak ketika itu adalah pistol air. ”Kan ketika Idul Fitri kita selalu dikasi duit, jadi duit itulah digunakan membel pistol air untuk perang-perangan,” kisah master teater itu.

Air dalam pistol itu terkadang ada yang ”membancuhnya” dengan pewarna atau gincu yang dikemas dalam ukuran kecil, saset. Tujuannya, jika ada lawan yang kena tembak, bisa tau bahwa lawan sudah ”mati” karena bajunya sudah berbekas air pewarna. Namun, hal ini sempat dilarang orangtua lantaran baju jadi kotor dan susah menghilangkan noda gincu, sementara baju yang dikenakan pada saat itu adalah baju raya, alias baju baru.

Jadi, kata Hang Kafrawi, perang air bukanlah milik siapa-siapa tapi sering dilakukan oleh masyarakat Riau yang tinggal di pesisir, terutama masyarakat di Meranti. Hubungan antara etnis Tionghua dengan masyarakat Melayu di Meranti, sampai saat ini hanya dibatasi oleh warna kulit dan ukuran mata saja. Intraksi alam membentuk persaudaraan etnis Tionghua dengan Melayu pesisir begitu erat. Bahkan, orang Tionghua di Meranti begitu pasif berbahasa Melayu. Dan jangan heran, di Meranti ketika Idul Futri saudara Tionghua datang berhari raya dari satu rumah ke rumah lainnya.

Ketika saudara Tionghua itu datang bersilaturahmi dalam rangka Idul Fitri, begitu melihat ada perang air, mereka juga ikut terlibat perang air. Sebaliknya, ketika Imlek banyak anak-anak Melayu membeli pistol untuk perang air. Hanya saja, dalam perkembangannya harus diakui, bahwa perang air pada perayaan Imlek lebih terorganisir, sementara pada anak watan hal ini beransur-ansur menghilang.

Barangkali, kata Hang Kafrawi, kenapa etnis Tionghua masih bertahan melakukan perang air, ada filosofis di balik itu. Air, setahu Hang Kafrawi dari cerita yang dia peroleh semasa kecil, bagi etnis Tionghua hal ini membawa berkah kedamaian dan kemurahan rezeki. Maka tak heran, setiap Imlek banyak harapan etnis Tionghua terjadinya hujan. Dan barang kali karena air membawa berkah itu, sehingga perang air dianggap membagi berkah. ”Entah secara kebetulan atau entah apalah namanya, setahu saya setiap Imlek selalu hujan. Kalau tidak hari pertama, hari kedua Imlek terjadi hujan. Hal ini saya ketahui sejak kecil, dan hujan memang diingini saudara kita etnis Tionghua,” kata Hang Kafrawi.

Dari perang air yang dipertahankan dan dilestarikan ini etnis Tionghua ini, kata Hang Kafrawi, mungkin juga sebuah upaya memanggil saudaranya di perantauan untuk pulang kampung ketika Imlek. Dengan pulang kampung dan bermain perang-perangan, menjadi nilai tersendiri bagi mereka di rantauan mengenang masa lalu.

Terkait masalah perang air ini, Hang Kafrawi tidak mau ”menjatuhkan vonis” milik salah satu etnis tapi dia lebih berharap pemerintah daerah, provinsi, dan pusat lebih jeli memandang helat tahunan ini sehingga menjadi ivent yang lebih besar lagi. Sebab, sejauh ini perang air sebagian besar hanya menggoda pelancung domestik. ”Tak usah kite perdebatan perang air, tapi bagaimana kita menjual perang air ini hingga menjadi perhatian dunia. Peran pemerintah sangat diharapkan, karena setiap perang air begitu banyak uang yang beredar dan langsung bisa dinikmati masyarakat setempat,” kata Hang Kafrawi.

Tradisi perang air (cian cui) ini kini jadi aset wisata Meranti. Banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Meranti saat adanya perang air yang berlangsung sejak Imlek tanggal 28 Januari lalu dan berlangsung selama enam hari. Perang air masuk daftar agenda wisata Provinsi Riau. (dari berbagai sumber).