Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri dalam bulan Ramadhan 1440 H ini melakukan kegiatan perekaman tradisi pengantin sahur di Indragiri Hilir, Riau. Dalam membangunkan warga untuk sahur, pengantin diarak membangunkan warga untuk sahur. Uniknya, kedua pengantin berjenis kelamin laki-laki tapi satu orang dirias seperti pengantin wanita.
Ketua pelaksana perekaman, Novendra menyebutkan, BPNB Kepri tertarik mengangkat tradisi yang unik ini. Perekaman dokumenter ini diharapkan bisa bahan dalam mengajukan karya budaya dari Inhil ini jadi warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia. “Saat ini saya sedang survei. Dua pekan ke depan, tim kami turun melakukan perekaman,”kata Novendra, kemarin.
Di Indragiri Hilir, tradisi pengantin sahur ini ada di dua desa, yakni Desa Pulau Palas dan Desa Sungai Luar. Dalam tradisi ini, pengantin yang diarak tersebut bukanlah sepasang pria dan wanita, namun keduanya laki-laki. Namun, salah seorang diantara mereka didandani layaknya pengantin wanita. Arak-arakan pengantin ini berlangsung selama satu jam atau lebih. Biasanya dimulai dari pukul 00.00 WIB hingga pukul 03.00 WIB atau sampai warga terbangun sahur.
Para pengantin ini, dirias begitu cantik tak ubahnya sepasang pengantin betulan. Setiap pasangan dirias bidan pengantin dengan mengenakan layaknya baju pengantin. Yang membedakannya, pengantin ini semua pasangan laki-laki. Setiap pasangan pengantin diarak di atas gerobak kecil yang telah diberi roda. Di atas gerobak itu dihias menjadi tempat pelaminan dengan hiasan pernak pernik lampu warna. Daya listrik untuk lampu disalurkan lewat genset yang posisi di belakang gerobak pengantin. Gerobak pengantin inilah, berkeliling kampung yang diarak ribuan masyarakat.
Pengantin sahur ini tidak setiap malam. Dilakukan hanya satu kali dalam seminggu, tepatnya setiap Jumat malam selama bulan Ramadan. Ada yang juga yang menggelar saat malam minggu. Perayaan pengantin sahur tak bisa setiap malam karena membutuhkan biaya yang tak sedikit. Warga harus mengeluarkan dana yang digunakan untuk menyewa baju, make up serta alat penerangan dan pengeras suara.
Tradisi pengantin sahur ini sudah ada sejak tahun 1970-an. Daerah yang tetap mempertahankan tradisi ini, ada di dua daerah, yakni Desa Pulau Palas dan Desa Sungai Luar. Nilai budaya dalam tradisi ini adalah solidaritas atas sesama masyarakat, sikap gotong royong dan juga wahana pemersatu masyarakat. Selain itu, tradisi ini menjadikan bulan Ramadhan lebih semarak. Di Inhil, kegiatan pengantin sahur dibuat besar-besaran seperti festival. Peserta pengantin sahur bisa belasan pasangan dan dilombakan.
Tak hanya di Indragiri Hilir, beberapa desa di Tanjung Jabung Timur, Jambi juga memiliki tradisi pengantin sahur ini. Di sana, tak hanya satu pasangan pengantin, tetapi ada beberapa pasang, tergantung kelompok warga yang ada. Hal yang membedakan tradisi di Inhil dan Tanjabtim adalah di Tanjabtim, pengantin yang dirias benar-benar pasangan laki-laki dan perempuan. Sementara, di Inhil, pengantin yang dirias adalah sepasang laki-laki. Satu orang dirias seperti perempuan.**