(Kisah Saat Jadi Wartawan di Kabupaten Lingga (Bag.1).
Empat tahun bekerja di Harian Batam Pos di Batam, setelah pindah dari Koran Sijori Mandiri(Kini ganti nama jadi Haluan Kepri), tantangan baru menanti. Suatu hari sekitar bulan April 2009, Pemimpin Umum Batam Pos, Socrates memanggil ke ruangannya.
“Kau mau tugas di Lingga. Kita ada kerjasama dengan Pemkab Lingga. Di sini pun kau jadi reporter, mending di sana. Kau bosnya, kau anak buahnya,”kata Aat, sapaan akrabnya.
Tak hanya Soctares, Pemimpin Redaksi Batampos, Hasan Aspahani juga memberikan dukungan. Kebetulan istri Bang Hasan, biasa beliau kami panggil, asalnya dari Lingga. Tawaran ini saya diskusikan dengan istri. Kebetulan kami baru menikah sekitar enam bulan dan istri baru saja keguguran. Istri pun mendukung. Dengan catatan, nantinya ia menyusul setelah mengurus surat pindahnya. Istri saat itu menjadi guru honorer di SMA 12 Batam.
Tawaran dari Batam Pos pun saya sanggupi. Sebelum pindah ke Lingga dan membuka Biro Batam Pos di sana, tahap awal saya diminta datang dulu ke Lingga. Tugasnya meliput acara Seleksi Tilawatil Quran (STQ) Provinsi Kepri yang digelar di Dabo Singkep awal Mei 2009.
Dari Batam tujuan Lingga saat itu belum ada layanan transportasi kapal feri. Dari Batam naik kapal feri ke Tanjungpinang, barulah dari Tanjunginang naik kapal Super Jet menuju ke Pelabuhan Jagoh. Saat itu saya tahunya Kabupaten Lingga. Bayangan saya Daik Lingga, ibukota Kabupaten Lingga dan Dabo Singkep, kota yang pusat konsentrasi penduduk terbesar jaraknya dekat. Rupanya jaraknya jauh. Beda pulau dan karakter masyarakat jauh berbeda.
Saya menikmati perjalanan laut dari Tanjungpinang sampai ke Pelabuhan Jagoh sekitar empat jam. Sampai di Pelabuhan Jagoh, saya mengira Kota Dabo Singkep sudah dekat. Ternyata dari sana harus naik angkutan umum jenis Kijang kapsul sekitar satu jam. Satu orang tarifnya Rp50 ribu.
Kondisi jalan melewati jalan lintas darat via Desa Kote sangat buruk. Jalanan penuh lubang dan jalannya kecil sekali. Ada jalan yang kondisi lebih bagus via Desa Sungai Buluh, namun jaraknya lebih jauh sehingga para supir lebih memilih lewat lintas barat. Saat ini kondisinya malah terbalik. Jalan raya via Desa Sungai Buluh menuju ke Dabo Singkep yang kondisinya rusak parah.Sebaliknya jalan via Desa Kote sudah mulus diaspal saat zaman Bupati Lingga, H Daria.
Dabo Singkep, kota yang kesohor karena bekas tambang timah itu memang enak dilihat. Kondisi jalan yang berukuran besar dan di sana-sini ditemui bangunan berukuran besar yang dibangun di masa kejayaan perusahaan timah. Momen STQ Provinsi Kepri adalah ajang Kabupaten Lingga pertama kali menggelar event besar tingkat Provinsi Kepri sejak pemerintahan Kabupaten Lingga mulai beroperasi tahun 2005.
Kendalanya di Dabo Singkep, akomodasi penginapan amat terbatas. Baru satu hotel, yakni Hotel Prima Inn. Lainnya hanya ada Penginapan Gapura, Sri Indah, Sampurna dan Wisma Timah. Daya tampung total semuanya paling ratusan orang. Sementara, kafilah dari tujuh kabupaten/kota yang hadir dalam STQ Kepri ini ribuan orang. Akibatnya, terpaksa banyak rombongan kafilah yang menginap di rumah-rumah penduduk.
Dengan keterbatasan ini,saya pun tahu diri. Mustahil mendapatkan penginapan selama meliput kegiatan STQ ini. Untunglah, ada rekan yang menampung dan mengajak tinggal di kantor sekaligus rumah kontrakkannya. Teman itu bernama Jhony Prasetya, saat itu Kepala Perwakilan Posmetro di Kabupaten Lingga.
Jhony yang saat ini jadi bos salahsatu partai baru di Kabupaten Lingga, mengenalkan pada rekan- rekan wartawan yang bertugas di Lingga, termasuk dengan pihak Humas Pekab Lingga. Saat itu humas berada dibawah Bagian Umum yang dipegang Baginda Achmadsyah Lubis. Kasubag Humas-nya Syamsua Deansyah dengan dua staf andalan, Safaruddin dan M Endy Febri.
Meliput STQ tak susah karena cabang yang dilombakan tak sebanyak ajang MTQ. Apalagi sebelumnya saya sudah sering ditugaskan meliput kegiatan MTQ, mulai tingkat Kota Batam sampai MTQ Provinsi Kepri tahun 2008 di Ranai, Natuna. Hal yang jadi masalah di Lingga adalah selain akomodasi penginapan yang terbatas, jaringan internet sangat susah. Untuk mengetik ada satu tempat warung internet (Warnet) yang lokasinya di depan Gedung Nasional Dabo. Hanya ada sekitar empat komputer sementara yang memakainya banyak dan terpaksa harus antrian.
Saat di daerah lain tahun 2009 itu, warnet menjamur. Di Dabo Singkep, warnet belum dilirik. Baru beberapa tahun kemudian, ada sejumlah warnet berdiri meskipun secara bisnis tak menguntungkan. Dengan kapasitas jaringan internet yang terbatas, pelanggan warnetdipastikan kecewa. Untuk mengirim berita plus foto, dibutuhkan waktu yang cukup lama.
Itulah tantangannya. Meliput berita kemudian menulisnya butuh waktu. Nah, giliran mengirimnya juga butuh kesabaran. Sementara, tiap sore paling pukul 16.00 WIB, berita wajib dikirim. Orang kantor di Batam tak peduli apakah di lapangan susah cari tempat mengetik, listrik sering padam atau pun kendala lain. Laptop yang dibawa pakai modem juga tak menolong. Jaringan internet Telkomsel amat terbatas.
Usai meliput STQ Kepri di Dabo Singkep, saya pun balik ke Batam dan mempersiapkan pindah tugas ke Ke Lingga. Kantor meminta untuk tinggal di Daik Lingga sebagai ibukota Kabupaten Lingga. Saya pun belum membayangkan bagaimana kondisi Daik Lingga yang terkenal dengan ikon Gunung Daik-nya itu. Hal pasti awal Juni 2009, saya sudah pindah tugas ke Kabupaten Lingga. Ini ekspansi Batam Pos pertama ke luar Tanjungpinang dan Karimun. Setelah Lingga, barulah dibuka Biro Batampos di Kabupaten Natuna, belakangan menyusul Biro Batam Pos di Kabupaten Anambas. (bersambung).