Ada yang menyebutnya barodat dan ada juga yang menyebut hadrah. Menurut A. Rachman Ahmad, penggiat seni barodat, informasi yang diperolehnya dari kakeknya bernama Haji Muhammad Yunus, seni hadrah ini pernah di mashurkan pada zaman Raja Aman Kelang dan sampai zaman Bupati E.M Apan, khususnya di Daik Lingga dan Pulau Penyengat. Seni barodat berkembang pesat akhir zaman Kerajaan Lingga-Riau dan awal kemerdekaan. Hal lain yang memudahkan Seni hadrah mudah berkembang pesat pada masa itu, karena masyarakat Lingga telah sejak lama mengenal seni berebana.
Di Lingga, seni rodat ditampilkan mengiringi arak-arakan adat istiadat atau pun acara keagamaan. Tujuan dari mengiringi arak-arakan bukan saja sekedar memeriahkan dan merayakan acara, tetapi sebagai tanda memuliakan rombongan, mengingatkan kepada nilai-nilai agama Islam dan dakwah.
Arak-arakan yang lazim diiringi dengan barodat sebagai berikut:
a) Mengarak rombongan pengantin laki-laki menuju ke rumah pengantin perempuan untuk melakukan akad nikah.
b) Mengarak rombongan pengantin laki-laki menuju ke rumah pengantin perempuan untuk bersanding.
c) Mengarak Al-Quran dari rumah pembesar daerah menuju Masjid untuk melakukan Nuzul Al-Quran.
d) Mengarak Kitab Berzanji dari rumah pembesar daerah menuju Masjid untuk melakukan Maulud Nabi dalam peringatan Maulud Nabi
e) Mengarak Kitab Hikayat Isra’ Ma’iraj dari rumah pembesar daerah menuju Masjid untuk memperingati Isra’ Ma’iraj Nabi
f) Berarak pada malam 27 Ramadhan menyambut malam Lailatul Qadr
g) Mengarak rombongan orang yang berkhatam Al-Quran menuju ke rumah guru ngaji
h) Mengarak rombongan yang akan berangkat haji dari Masjid untuk menuju ke tempat keberangkatan.
Sumber: Edi Saputra, Sahabat Pandu Kepri