Aktor-Aktor Lisan di Kedai Kopi

0
153

Oleh: Nanda Darius (Pamong Budaya BPNB Kepri)

Bagi masyarakat Kota Tanjungpinang, kehadiran kedai kopi bukanlah hal yang baru lagi. Hampir di setiap sisi kota dapat ditemukan jajaran kedai kopi yang ditata dengan sedemikian rupa. Tidak hanya menyajikan secangkir kopi, kedai kopi pun dilengkapi dengan jajanan pelengkap yang bervariasi dari makanan ringan hingga berat. Konsumen kedai kopi pun cukup beragam dari kalangan pegawai hingga orang biasa. Biasanya pemilik kedai kopi akan menangkap peluang para pegawai untuk makan di kedainya. Untuk itu, mereka menyajikan berbagai menu sarapan hingga varian menu makan siang. Ada pula kedai kopi yang menutup kedainya hingga menjelang pagi (antara Pukul 01.00-02.00 WIB), kedai-kedai seperti itu akan memproyeksikan ruangnya bagi konsumen yang lebih umum dengan menjajakan varian makanan berat
dengan harga terjangkau.

Bagi para penikmat kopi, kualitas olahan kopi di Kota Tanjungpinang memang sudah tidak diragukan lagi. Meskipun di Tanjungpinang sendiri tidak terdapat perkebunan kopi, karena secara geografis kandungan tanah di beberapa wilayah kota dan kabupaten Kepulauan Riau ini didominasi dengan kandungan bauksit yang tinggi, sehingga aktivitas pertanian tidak cukup memungkinkan untuk digalakkan di Kepulauan Riau. Biji-biji kopi berjenis robusta tersebut didatangkan dari wilayah Provinsi Jambi dan kemudian diolah menjadi kopi bubuk di Kabupaten Bintan. Tersebutlah kopi Hawai di daerah Kijang Kota, Kabupaten Bintan.

Istilah ini bukan untuk penamaan jenis kopinya, namun merujuk pada nama kedainya, sebagai pengolah biji kopi yang sudah melegenda di Provinsi Kepulauan Riau tersebut tidak asing lagi di telinga para penikmat kopi. Sebuah industri kopi rumahan yang sudah berdiri lebih dari separuh abad di Kijang Kota, Kabupaten Bintan ini hingga sekarang masih dipercaya sebagai pemasok bubuk kopi untuk kedai-kedai di Kota Tanjungpinang. Rasa kopinya yang khas telah menjadi standar rasa dan akan sangat mudah untuk dikenali oleh masyarakat ‘Pinang, sehingga apabila terdapat kedai-kedai yang tidak memakai bahan pokok dari bubuk kopi kedai Hawaii dianggap tidak memenuhi konstruksi rasa para penikmat kopi di Kota Tanjungpinang. Cita rasa kelat, pekat, dan berbekas di lidah pun tenggorokan inilah yang membuat candu bagi para penikmat
kopi yang kemudian menghadirkan imaji, elegi, atau kebahagiaan tersendiri sesuai dengan kondisi dan persepsi masing-masing pengopi. Kedai kopi menjadi tempat penyatuan ide-ide kreativitas penikmatnya.

Pada realitasnya, kedai-kedai kopi di Kota Tanjungpinang mengalami geliat evolusi. Hal itu terbukti dengan kehadiran beberapa coffee house atau café-cafe seperti yang sedang marak di kota-kota besar lainnya, dengan menawarkan aneka olahan kopi dari beragam biji kopi pilihan berikut ‘suasana’ khas yang lebih kekinian. Namun, ternyata kehadiran pemoderatan kedai-kedai tersebut belum dapat diterima sebagai konsep aktualisasi masyarakat dalam menikmati filosofi kopi. Masyarakat Kota
Tanjungpinang, masih lebih percaya dengan racikan kopi di kedai-kedai biasa dengan cara pengolahan kopi yang direbus dan disaring menggunakan saringan kain daripada pengolahan kopi dengan teknik brewing seperti yang dilakukan oleh barista-barista coffee house. Biasanya coffee house lebih banyak disinggahi oleh anak-anak muda
dan menurut pengamatan Penulis, kedai kopi seperti itu tidak akan bertahan lama atau minim pengunjung karena varian harga dari jajanannya pun terbilang relatif mahal dengan rasa kopi yang kurang pas di lidah masyarakat Kota Tanjungpinang.

Secara hakikat, Peranan kedai kopi ini pun tidak hanya sebatas pada ekspresi rasa dan soal perut semata, tetapi lebih kepada semangat sosial menjunjung ideologi. Di kedai kopi inilah muculnya inspirasi untuk melahirkan para penyair kota, ruang diskusi dari kesepakatan-kesepakatan bisnis, ruang pertemuan mahasiswa-mahasiswa untuk berdiskusi guna menambah pengetahuan/ wacana akademisnya, ruang yang melahirkan berbagai organisasi-organisasi yang eksistensinya masih mempunyai pengaruh penting di Kota Tanjungpinang, hingga menjadi ruang dalam melahirkan konsep pemekaran Provinsi Kepulauan Riau itu sendiri.

Seyogianya tuturan menjadi aset bagi masyarakat Melayu Tanjungpinang. Semakin cakap ianya mengolah dan mendawai kata-kata maka semakin banyak pula mitra tuturnya. Semakin banyak mitra tutur atau orang yang mau mendengarkannya, maka semakin bermartabat dan berpengaruh pula sosoknya. Mereka berusaha menemukan panggung atas pengakuan dari realitasnya. Kondisi seperti ini akan melahirkan dua kategorisasi, yakni penutur yang menjadi penulis dan penutur yang terus bertutur. Penutur yang menjadi penulis, akan menuliskan pengalamannya pada realitas
panggungnya di secarik kertas, dan hal ini yang memicu lahirnya sastrawan-sastrawan dengan karya sastra kekinian serta membangun kelompok-kelompok yang lebih ekslusif. Sedangkan, penutur yang terus bertutur akan terus menjaga kontiniutas kulturalnya dengan berusaha mencari panggungnya pada realitas di keramaian manusia, salah satunya pada panggung-panggung meja di kedai kopi.


Kendati demikian, bukan berarti gabungan dari dua kategorisasi ini tidak bisa dilakukan. Banyak pula kita temukan para penyair yang suka menulis dan memublikasikan karyanya juga mahir dalam tuturannya. Ianya menjadi sosok yang lengkap antara dua aspek penting di sastra lisan, yakni tulis dan lisani. Maka, berolehlah banyak variasi tutur temberang, besa’ bual, labu aer, dan sembang-sembang dengan teknik penyampaian yang menarik dan estetik. Tak heran selalu kita temukan teman atau sahabat kita yang jago berbual laksana seorang pelawak, dan yang mendengar
tertawa terpingkal-pingkal. Seni bercerita lewat sastra lisan ini tentunya menjadi ruang pementasan paling persuasif dan penuh kemantapan retorika.

Sumber: Nanda Darius, Aktor-Aktor Lisan di Kedai Kopi (Analisis Perubahan Realitas Material Sastra Lisan di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. (http://proceedings.upi.edu/index.php/riksabahasa), 2018.