Membahas sejarah dan budaya Lingga (Kepri) tak lengkap jika tak menyebut nama sosok yang satu ini. Lazuardi (47), hari-hari bekerja sebagai staf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lingga. Ia tak memiliki latar belakang pendidikan (akademis) bidang sejarah atau budaya. Namun, kemampuannya tak diragukan. Sosoknya menjadi “kamus berjalan” sejarah dan budaya Lingga. Bagaimana kiprahnya?
———————————–
Pria bermata sipit dan berbadan kurusan ini sangat familiar bagi peneliti yang melakukan kajian sejarah dan budaya di Kabupaten Lingga. Tanya saja pada peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepri, Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar, Balai Arkeologi Medan, Kantor Bahasa Kepri atau pun peneliti dari LIPI yang pernah ke Lingga, pasti kenal dan akrab dengan sosok Lazuardi. Lazuardi juga banyak berteman peneliti dari perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia dan UMRAH. Ia menjadi pendamping setia dalam penelitian. Lazuardi bisa jadi informan yang baik. Ia juga bisa menjadi kawan berjalan yang tangguh dalam mendapatkan data-data penelitian. Tak heran, Lazuardi banyak dipakai oleh para peneliti untuk membantu dalam penelitian di Lingga.
Meski tak punya pendidikan akademis kesejarahan dan budaya, ia fasih berbicara tentang Kerajaan Riau Lingga, aset-aset budaya Lingga, termasuk bercerita tentang naskah kuno. Ia juga bersemangat berkisah tentang kesenian yang ada di Lingga yang hampir punah. Lazuardi juga lincah bercerita tentang tudung manto, bangsawan, nobat, silat syekh atau pun aset kesenian Lingga yang lain. Penguasaannya terhadap kesejarahan dan budaya Lingga juga sampai ke telinga peneliti asing. Banyak peneliti asing dari Australia, Jepang, Singapura, termasuk dari Hawaii yang datang ke Lingga mencarinya.
Jauh sebelum menjadi PNS Pemkab Lingga, laki-laki kelahiran 4 Februari 1969 ini lama bekerja sebagai juru pelihara Istana Damnah. Ia tekun bekerja merawat kawasan cagar yang dibawah Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar yang dulu bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Batusangkar. Tak sekedar merawat, Lazuardi juga rajin belajar sejarah dan budaya dengan orang tuanya dan juga tetua masyarakat Lingga. Ia aktif mencari informasi budaya dan sejarah. Selain itu, ia berburu barang-barang untuk koleksi museum. Ia tidak segan mendatangi pelosok-pelosok desa untuk mencari barang cagar budaya, termasuk naskah kuno.
“Kita harus berusaha sekuat tenaga menjaga agar koleksi bersejarah tidak berpindah dari Lingga. Kami selalu mencari informasi sampai ke pelosok-pelosok desa. Biar kita simpan di museum. Saya juga menyimpan beberapa koleksi,”kata Lazuardi.
Pengabdiannya di Lingga dapat berkah. Ia diangkat sebagai PNS Pemkab Lingga sejak beberapa waktu lalu. Ketekunannya dalam menjaga budaya, juga dapat apresiasi. Ia pernah diberangkatkan ke tanah suci untuk umrah. Pengakuan atas kemampuannya itu tak membuat Lazuardi tak berpuas diri. Lazuardi mengaku sangat mencintai budaya dan sejarah Lingga. Kecintaan itu membuat terus bersemangat belajar dan belajar tentang sejarah dan budaya. Ia banyak belajar dengan peneliti dan tokoh ahli sejarah, serta budaya yang banyak ditemaninya.
Aktivis disejumlah organisasi ini juga aktif mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan sejarah dan budaya, seperti pelatihan menyelam bawah laut, konservasi naskah, serta kesejarahan. Lazuardi juga banyak membantu dalam memfasilitasi para sejarawan dan peneliti dalam upaya menjadikan Sultan Mahmud Riayat Syah menjadi pahlawan nasional. Dalam kegiatan Pemkab Lingga yang terkait sejarah dan budaya, Lazuardi selalu menjadi motor. Ia menjadi “guide” bagi pelancong yang datang ke Daik Lingga. Dalam setiap acara hari jadi Kabupaten Lingga, Lazuardi menjadi petunjuk dalam prosesi berziarah ke makam-makam bersejarah yang ada di Daik Lingga. **