Budayawan Melayu, sastrawan dan wartawan senior, Rida K Liamsi meluncurkan novel keduanya berjudul Megat. Launcing dilakukan di Perpustakaan Universitas Indonesia, Rabu (9/11) kemarin. Ini novel kedua Rida setelah Novel Bulang Cahaya. Dua minggu lalu Rida K Liamsi juga meluncurkan buku “Prasasti Bukit Siguntang Badai Politik di Kemaharajan Melayu 1160-1946”.
Rida lahir di Dabo Singkep, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943. Sebelum menjadi jurnalis hingga pengusaha media, ia pernah pula bekerja sebagai guru. Ia menulis puisi dan prosa. Novel Megat adalah bukunya ketujuh. Selain dua novel, ia telah menerbitkan empat kumpulan puisi dan satu buku bidang bisnis. Soal novel keduanya, Rida menyebutkan, meski sama-sama mengangkat sejarah Melayu, Megat berbeda dengan Bulang Cahaya. “Bedanya, kalau Bulang Cahaya itu (kisahnya) kebanyakan di kepulauan Riau. Sementara Megat di semenanjung Malaysia, Siak, dan Bintan,” ujar Rida. Menurut dia, meski Megat itu novel (fiksi), Rida berusaha untuk sedekat mungkin dengan fakta. Baik itu lokasi, nama, dan peristiwa. “Kalau pun ada yang imajinatif ya terutama tokoh-tokoh pendukung,”katanya.
Ia memulai mengerjakan novel Megat dengan melakukan riset tak kurang dari empat tahun. Kema-mana ia peri ia sempatkan mencari buku-buku atau informasi mengenai Megat Seri Ramah, tokoh dalam novel itu. “Aku ke Malaysia juga, Johor, terutama ke Kota Tinggi tempat pembunuhan itu terjadi. Lalu ke Gunung Bintan, tempat asal Megat, ke Melaka dan lain-lain. Kebanyakan riset pustaka,” ujarnya.
Saat launcing novel ini, juga ada diskusi. Pembicara diskusinya adalah redaktur budaya Harian Kompas Putu Fajar Arcana, serta kritikus sastra sekaligus dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UI Maman S Mahayana.
Sedangkan moderator diskusinya adalah Hasan Aspahani. Peluncuran novel itu juga diisi dengan pembacaan petikan novel Megat oleh Asrizal Nur.
Fajar dalam diskusi bedah novel mengatakan, Megat tanpa sadar membawa pembaca belajar tentang sejarah Melayu, sebuah budaya yang mewarnai Indonesia. Menurutnya, Rida melalui Megat mampu mengenalkan sejarah Melayu yang besar namun selama ini kurang begitu mengemuka. Fajar menyebut Rida sebagai wartawan senior mampu memanfaatkan kemahirannya menulis untuk mencari angle terbaik. “Pak Rida sebagai sastrawan yang juga wartawan, terlatih mencari angle bagus dimanfaatkan dengan baik dalam menulis novel. Sehingga Ia selalu membuat intro awal setiap bab dengan begitu memancing orang untuk membaca bagian-bagian berikutnya,” ujar Arcana.
Sementara Maman menilai Rida cerdik dalam menulis Megat sehingga menggugah orang untuk membacanya hingga tuntas . Hal itu terlihat dari cara Rida menggantung informasi pada hampir setiap bab yang ada.Maman yang juga ketua Yayasan Hari Puisi Indonesia itu mencontohkan, informasi pembukaan pada bab pertama Megat ternyata ada lanjutannya di bab XI. “Ini membuat orang tertarik menuntaskan membaca karyanya,” katanya. (dbs).