Candi Muaratakus menjadi salah satu kebanggaan warga Kampar dan Provinsi Riau. Pada musim liburan candi yang berada di Desa Muaratakus tersebut padat dikunjungi oleh para wisatawan yang datang dari berbagai daerah, khususnya Kampar dan Provinsi Riau sendiri. Keberadaan jalan tol Pekanbaru-Bangkinang turut menyumbang mudahnya aksesibilitas masyarakat menuju pada candi yang tersusun dari batu bata merah yang diperkirakan dibangun pada abad 4-11 Masehi.
Namun, di sisi yang lain, melihat kondisi Candi Muaratakus sekarang membutuhkan perhatian dan penanganan yang lebih supaya terjaga keberadaannya. Banjir menjadi salah satu tantangan yang harus segera ditangani supaya kondisi candi yang berusia tua tersebut dapat bertahan dari hal-hal yang dapat merusaknya.
Terkait kondisi Candi Muaratakus tersebut, Robin P. Hutagalung, Ketua Komisi V DPRD Provinsi Riau berkunjung ke BPK Wilayah IV untuk berkonsultasi mengenai pemeliharaan Candi Muaratakus tersebut.
“Kalau tidak segera ditangani, saya yakin dalam beberapa puluh tahun lagi candi tersebut itu hilang. Anak-cucu kita tidak lagi dapat melihatnya”, ujar ketua Komisi V DPRD Provinsi Riau yang membidangi Kesejahteraan Rakyat. Museum dan Cagar Budaya menjadi salah satu perhatian Komisi V itu.
Kunjungan tersebut ditemui Sita Rohana (Plh. Kepala) dan Ivo Giovanni (Pamong Budaya bidang Cagar Budaya), Jumat (26/4).
Terkait kondisi candi Muaratakus pada saat ini, Sita Rohana menekankan pentingnya penyelamatan candi tersebut dari banjir. Banjir yang kerap terjadi akan berdampak pada tumbuhnya lumut-lumut pada permukaan candi. Keberadaan lumut tersebut menandai tingginya kelembaban pada bangunan candi yang tersusun dari batu bata merah itu.
Menurut Ivo, hampir setiap tahun BPCB dan BPK Wilayah IV melakukan perawatan terhadap candi Muaratakus. Perawatan tersebut bertahan hanya tiga bulan, maka idealnya, untuk meminimalisir kerusakan seharusnya pertiga bulan perawatan dilakukan.
Ivo Giovanni juga menambahkan terkait status Candi Muaratakus yang harus diperbaharui oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) sebagaimana amanat Undang-undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010. Kejelasan status tersebut penting supaya lebih memudahkan dalam berkoordinasi dan pembagian kerja/tanggung jawab.
Dalam penanganan Candi Muaratakus, Robin P. Hutagalung memandang penting adanya pertemuan dan pembahasan tiga pihak, yaitu Pemerintah Provinsi Riau, Pemerintah Kabupaten Kampar, dan BPK Wilayah IV. Dirinya akan mencoba memfasilitasi pertemuan tiga pihak tersebut, supaya ada sinergi dan tidak tumpang tindih dalam berperan melakukan pemeliharaan dan penyelamatan Candi Muaratakus tersebut.*
(Jauhar Mubarok)