Kebaya labuh merupakan salah satu jenis pakaian tradisional Melayu. Kaum perempuan Melayu biasa mengenakan kebaya labuh ini untuk berbagai acara, baik acara formal maupun kegiatan keseharian.
Disebut Kebaya labuh karena bentuknya yang cenderung panjang hingga selutut atau di bawah lutut. Di bagian depan berbelah dan ditautkan dengan kerongsang (bros) untuk menutupnya. Bentuk kebaya labuh berbeda dengan baju kurung atau gamis yang berbentuk terusan.
Keberadaan kebaya labuh bukan hanya dikenal dan digunakan kaum perempuan di wilayah Indonesia, melainkan kaum perempuan negara-negara tetangga juga mengenakannya, terutama negara yang mempunyai benang merah kultural dan historis kemelayuan. Di antara negara-negara tersebut adalah Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Kebaya labuh menjadi salah satu kebaya bersama kebaya kerancang Betawi yang akan diajukan Indonesia sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) – UNESCO melalui skema joint nomination lima negara: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.
Untuk melancarkan dan menyukseskan upaya tersebut, Gubernur Kepulauan Riau melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau memfasilitasi kegiatan yang bertajuk “Rencana Aksi Pelestarian Kebaya Labuh Provinsi Kepulauan Riau menuju Warisan Dunia UNESCO” bertempat di Gedung Daerah Kepulauan Riau pada Rabu (16/2).
Hadir sebagai narasumber sosialisasi kegiatan tersebut adalah Judi Wahjudin (Direktur Pelindungan Kebudayaan, Kemdikbudristek), Irini Dewi Wanti (Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemdikbudristek), dan Penny Dewi Herasati (Direktur Sosial, Budaya, dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kemenlu).
Peserta kegiatan tersebut Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bintan, Dewan Kesenian Kepulauan Riau (DKKR), Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kepulauan Riau, STAIN Sultan Abdurrahman, Stisipol Raja Haji, Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Tanjungpinang, LAM Kabupaten Bintan, dan beberapa komunitas seni-budaya di Kota Tanjungpinang.
“Pengajuan bersama ini tidak merugikan, justru mempunyai keuntungan. Melalui pengajuan bersama ini akan mempererat dan menyatukan negara-negara ASEAN tersebut. Terlebih pada tahun ini Joko Widodo merupakan ketua ASEAN”, pemaparan Judi Wahjudin, Direktur Pelindungan Kebudayaan.
Lebih lanjut Judi Wahjudin menyatakan, bahwa pengajuan atau pengusulan ini hanya dapat dilakukan oleh komunitas, peran pemerintah hanya memfasilitasi. Maka tanpa dukungan dan usulan dari komunitas-komunitas yang bersentuhan langsung dengan kebaya labuh tersebut akan sulit diwujudkan pengusulannya.
“Kita mendaftarkan kebaya labuh ini ke UNESCO merupakan langkah awal untuk melestarikannya. Bukan akhir dari perjuangan. Kita mengajukan sebagai Intangible Cultural Heritage – UNESCO, untuk kita berkomitmen atau berjanji untuk melestarikannya”, jelas Penny Dewi Herasati.
Jika nantinya kebaya labuh ditetapkan sebagai ICH – UNESCO, maka negara-negara pengusul berkewajiban melakukan pelestarian kebaya labuh. Namun, jika ternyata yang terjadi tidak ada upaya-upaya serius pelestarian kebaya labuh dalam kehidupan masyarakat, UNESCO berhak mencabutnya. Maka, setelah penetapan perlu dilakukan upaya-upaya pelestarian, misalnya dengan didukung kebijakan regulasi pemerintah mengenai pemakaian kebaya labuh. Selain itu, juga perlu dukungan dan kesadaran warga untuk memproduksi dan mengenakannya dalam kehidupan sehari-hari. Upaya-upaya pewarisan juga harus digelorakan kepada generasi-generasi yang lebih muda, sehingga pengetahuan mengenai nilai filosofis, cara penggunaan, pembuatan kebaya labuh tidak hilang.
“Tujuan melestarikan kebaya labuh adalah supaya tidak hilang. Terlebih pada zaman sekarang di mana, tawaran-tawaran kebudayaan lain silih berganti berdatangan. Pelestarian tersebut supaya generasi sekarang mengenal budayanya sendiri”, tambah perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di SMAN 1 Tanjungpinang.
Irini Dewi Wanti menyambut baik jika pemerintah daerah akan membuat regulasi-regulasi terkait kebaya labuh di daerah masing-masing. Melalui regulasi-regulasi tersebut diharapkan pelestarian kebaya labuh dapat lebih terencana dan pewarisannya dapat terjaga. Namun, Irini Dewi Wanti mewanti-wanti pemerintah daerah supaya menghindari kata-kata mewajibkan, “Mohon hindari kata-kata mewajibkan. Di mata UNESCO kata-kata mewajibkan dalam regulasi atau kebijakan pemerintah itu bermasalah, karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara”.
Irini Dewi Wanti juga berharap akan terbangun ekosistem budaya kebaya labuh, yaitu dengan digerakkannya para perajinnya, mulai dari tukang jahitnya, tukang perancang bajunya, penjual bahan-kain, generasi pewarisannya, hingga nilai-nilai filosofisnya tersosialisasi secara masif. Selain itu, tumbuh kesadaran bersama untuk berkomitmen untuk menjaga dan melestarikannya.
Sementara Dewi Kumalasari Ansar membenarkan, jika kebaya labuh tersebut merupakan pakaian tradisional Melayu. Sejak lama, pakaian tersebut telah menjadi pakaian keseharian orang-orang Melayu di Kepulauan Riau khususnya. Istri Gubernur Kepulauan Riau tersebut juga akan berupaya melengkapi data-data yang dibutuhkan dalam pengusulan kebaya labuh sebagai warisan dunia.
Sebelumnya, sambutan Gubernur Kepulauan Riau yang dibacakan oleh Budi Harto, Staf Ahli Gubernur bidang Ekonomi dan Pembangunan menyatakan menyambut baik pertemuan ini untuk membahas warisan budaya takbenda (WBTb), kebaya labuh. Gubernur juga berharap akan mempelajari banyak hal positif terkait budaya dan berterima kasih kepada para penggiat kebudayaan yang ada di Kepulauan Riau yang telah berpartisipasi memberikan dampak yang positif bagi Kepulauan Riau, sehingga kebudayaan Melayu Kepulauan Riau bukan hanya dikenal di negeri sendiri, melainkan di dunia.
Setelah pemaparan sosialisasi dari ketiga direktur yang dipandu oleh Jumhari, Kepala BPK Wilayah IV, acara dilanjutkan dengan diskusi terkait pengumpulan data-data kebaya labuh. Acara diskusi dipandu oleh Desse Yussubrasta (Tim Kebaya Nasional).
Beberapa peserta menyumbangkan pikiran dan masukan dalam diskusi tersebut. Nurbaiti (Stisipol Raja Haji), Dedi Arman (MSI Kepri), Rendra Setyadiharja (LAM Kota Tanjungpinang), Azmi dan Lazuardi (Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga), Raja Suzana Fitri (Penulis), Syafaruddin (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang), Mellyana Angraini, Asti Lalasati, dan sebagainya.
Sita Rohana (BPK Wilayah IV) yang ditunjuk menjadi koordinator pengumpul data-data kebaya labuh dari komunitas budaya di Kepulauan Riau dan Riau berharap para peserta, komunitas budaya, dan warga yang mempunyai data atau informasi mengenai kebaya labuh dapat berbagi data dan informasi.
Sebagai catatan, batas waktu pengusulan kebaya labuh sebagai warisan budaya dunia UNESCO paling lambat 31 Maret 2023. Maka sebelum waktu itu berbagai data dan informasi kebaya harus sudah terkumpul.
Kegiatan serupa juga diselenggarakan di Pekanbaru pada Jumat (17/2) bertempat di Balai Adat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR). Kegiatan yang difasilitasi oleh Gubernur Riau melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Riau dihadiri oleh Judi Wahjudin (Direktur Pelindungan Kebudayaan, Kemdikbud) dan Penny Dewi Herasati (Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kemenlu), dan Desse Yussubrasta (ketua Tim Kebaya Nasional). Turut hadir dalam acara tersebut ketua DPH Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) DS. Taufik Ikram Jamil.
Acara yang dipandu oleh Jumhari (kepala BPK Wilayah IV) itu berlangsung dari pukul 08.00 – 11.00 WIB itu telah menjaring banyak informasi dari OPD terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yaitu Dinas Pariwisata Provinsi Riau dan OPD dari Kota Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Siak, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, dan Kabupaten Kuantan Singingi. Selain itu juga dihadiri guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), komunitas, serta pewaris dan pelestari kebaya labuh.
Sempena kegiatan ini, pewaris dan pelestari kebaya labuh di Riau, Baiduri Zam, mengatakan bahwa kebaya labuh masih sering dikenakan dalam kesempata-kesempatan resmi. Bahkan, di lingkungan pemerintah daerah, kebaya labuh menjadi busana yang dikenakan dalam peringatan Hari Ibu dan Hari Ulang Tahun Riau. Kegiatan seperti lomba berkebaya labuh juga menjadi iven rutin yang diselenggarakan.
Sebelumnya pada Kamis (16/2) bertempat di Hotel Aryaduta, Pekanbaru, Judi Wahjudin dan Penny Dewi Herasati mengundang beberapa perwakilan komunitas kebaya, Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), sanggar di Riau, dan Baiduri Zam (pewaris dan pelestari kebaya) dalam pertemuan informal (ngopi dan ngobrol santai). Topik obrolan mengenai aktivitas pelestarian kebaya di Riau.
Masih terkait dengan melengkapi pengisian dossier (borang pengusulan) kebaya labuh sebagai ICH-UNESCO, tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menghimpun informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang sudah, sedang, dan akan dilakukan baik oleh OPD terkait maupun komunitas budaya di Provinsi Riau yang berkaitan dengan pelestarian kebaya labuh.
Harapannya semakin banyak informasi dan data terkait pelestarian kebaya labuh yang dijaring, semakin menguatkan kebaya labuh ditetapkan sebagai ICH-UNESCO. ***
(Jauhar Mubarok)