Salahsatu peninggalan cagar budaya di Pulau Buru, Karimun adalah Vihara Cetiya Tri Dharma. Dulunya bernama Kelenteng Bu Sua Teng. Menurut penjaga kelenteng Pang Kim Liong, kelenteng dibangun tahun 1815. Klenteng didirikan Li Ceng Hiang. Ia juga yang menjadi arsitek Masjid Raja Abdul Gani di Pulau Buru yang dibangun tahun 1823.
Bangunan utama hanya berukuran 10 m x 5m. Lantainya terbuat dari marmer, dengan genteng buatan Prancis bercap ‘Gichard Carvin and Cie, Marseille Standre’. Genteng merek “Marseille St Andre France,” produksi Guichard Carvin & Cie, sebuah perusahaan Perancis yang konsen di usaha pembuatan ubin dan genteng sejak tahun 1800-an. Literatur yang ada menyebut, perusahaan itu bahkan tidak hanya memproduksi genteng, ubin tetapi juga batu bata. Produksinya, menyebar ke hampir seluruh kawasan Asia, bahkan sampai ke Australia. Selain di Klenteng Bu Sua Teng, genteng produksi Perancis ini juga dijumpai disejumlah wilayah di Kepulauan Riau. Seperti bangunan-bangunan tua di Batam dan pulau-pulau sekitarnya, tetapi juga di Lingga dan Tanjungpinang.
Adanya klenteng ini menandakan kehadiran orang Tianghoa di Pulau Buru sudah berlangsung sejak lama. Tak hanya klenteng, di Pulau Buru juga ada tiga makam tua yang berusia sekitar 120 tahun. Sun Seng, tokoh masyarakat Tianghoa di Pulau Buru itu menyebutkan, angka tahun di tiga makam itu menunjukkan tahun 1905. Tulisan bahasa Hokkien. Selain makam tua itu, ada juga pemakaman umum warga Tianghoa di Pulau Buru yang juga sudah ada sejak lama.
Ia menyebutkan, saat ini jumlah warga Tianghoa yang ada di Pulau Buru sekitar 200 kepala keluarga (KK) dan tinggal terpusat di Kelurahan Buru. Warga Tianghoa Pulau Buru ini memiliki kaitan yang erat dengan leluhurnya di Malaysia dan Singapura. Sekitar 80 persen memakai Bahasa Hokkien. Sektor perekonomian Pulau Buru mayoritas dipegang warga Tianghoa. Sejumlah orang Tianghoa sukses di perantauan, seperti Batam, Tanjungpinang, Karimun, bahkan Jakarta berasal dari Pulau Buru. Tak hanya bidang perdagangan, warga Tianghoa Pulau Buru juga banyak yang bekerja sebagai penampung ikan, nelayan pukat dan bubu.
Sun Seng menyebutkan, warga Tianghoa Pulau Buru memiliki kedekatan emosional dengan warga Tianghoa di Malaysia dan Singapura. Rata-rata warga Tianghoa di Pulau Buru memiliki saudara yang tinggal di Malaysia. Masyarakat Tianghoa meyakini nenek moyangnya dulu berasal dari Malaysia. Tak mengherankan sampai sekarang, warga Tianghoa Pulau Buru banyak yang merantau ke Malaysia, namun tetap tak melupakan Pulau Buru sebagai kampung halamannya.
Menariknya, Li Ceng Hiang tak hanya artsitek klenteng. Ia juga menjadi arsitek Masjid Raja Abdul Gani di Pulau Buru yang dibangun tahun 1823. Arsitektur masjid dipengaruhi oleh arsitektur China, terutama bagian menara.Bentuk atap menyerupai pembakaran hio pada kelenteng China. Luas masjid ini berukuran 8 meter x 15 meter yang dominasi warga kuning sejak awalnya. Arsitektur masjid ini memiliki kubah yang disanggah dengan empat tiang yang tingginya sekitar lima meter. Masjid ini mampu menampung jamaah sekitar seratus orang dan masih dimanfaatkan warga sekitar untuk kegiatan keagamaan pada umumnya.Bentuk menara yang berbentuk kerucut yang sepintas mirip dengan ruang pembakaran hio yang ada di kelenteng, juga menguatkan pernyataan tersebut.
Selain terihat dari kubahnya yang menyerupai ruang pembakaran hio, lubang ventilasi yang terbuat dari batu giok warna buru dan berukuran khas negeri Tiongkok, juga menjadi buktinya. Teras dan atapnya yang hingga sekarang masih dipertahankan bentuk keasliannya juga mencirikan kekhasan negeri tirai bambu.Selain dijaga keasliannya, di dekat lokasi masjid ini juga masih menyimpan peninggalan zaman dahulu seperti meriam tua dan lonceng yang berasal dari Spanyol.
Pintu masuk utama yang berbentuk lengkungan setinggi 2,3 meter dengan lebar 1,3 meter hingga saat ini juga masih berdiri kokoh dan berfungsi sebagamana mestinya. Pintu-pintu lainnya yang terlihat lebih pendek juga tetap masih dipertahankan karena memang tidak pernah dilakukan renovasi apapun hingga sekarang.Menara masjid setinggi 21 meter dan berdiameter 4 meter yang berdiri kokoh disamping kanan masjid langsung terlihat ketika berkunjung atau melewati pulau Buru. Masjid ini sudah dapat dilihat sebelum kapal merapat ke pelabuhan karena letaknya memang menghadap ke lautan dan dekat dengan bibir pantai.**