Banjir Terbesar Jambir Tahun 1955

0
1175
Banjir di Jambi tahun 1955. Sumber: ANRI

Jambi dan banjir dua hal yang sulit dipisahkan. Dalam catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), banjir pernah menimpa Jambi tahun 1931, 1955, 1967, 1991, 2003, 2006, 2007, 2010, 2013, 2014 dan tahun 2015. Banjir di Jambi pada akhir bulan Januari dan Februari 1955 tercatat sebagai banjir terbesar dalam sejarah Jambi.

Menelusuri musibah banjir di Jambi tahun 1955, penulis merujuk pada pemberitaan surat kabar yang terbit pada tahun 1955. Berita banjir di Jambi dimuat hampir setiap hari di surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Sumatra atau pun di Pulau Jawa. Berita banjir sebagian besar menempati halaman pertama surat kabar, minimal menjadi headline (HL) di halaman dalam surat kabar. Ini menjadi pertanda bahwa musibah banjir di Jambi kondisinya sangat parah dan menjadi sorotan pemberitaan surat kabar zaman itu.

80 Persen Wilayah Jambi Terendam Banjir

Surat Kabar Overijels Dagblad, 11 Februari 1955 menuliskan kondisi banjir di Jambi. Dalam surat kabar ini disebutkan, 80 persen dari rumah yang ada di Jambi terendam banjir. Ribuan orang mengungsi ke daerah ketinggian.  Laporan dari Shamsu Bahroen, delegasi Dewan Eksekutif Batanghari di Sumatra Tengah, ada 42 ribu hektar sawah yang padinya hampir masak hancur dan 6 ribu sawah yang padinya masih kecil rusak parah. Kondisi banjir menyebabkan pasokan makanan menjadi sulit. Jumlah warga yangt terkena dampak banjir disebutkan sebanyak 35 ribu jiwa.

Bahroen melaporkan hujan melanda Jambi mulai 28 Januari 1955 dan ketinggian air Sungai Muara Tembesi mencapai 4 meter. Hujan terjadi selama 10 hari terus menerus. Dalam laporannya, musibah banjir tahun 1955 ini disebutkan lebih dahsyat ketimbang banjir tahun 1931.  Di daerah Jambi dilaporkan orang-orang berjuang dalam mendapatkan makanan. Tidak hanya di Kota Jambi, musibah banjir yang sangat parah menimpa Kabupaten Batanghari dan juga Kabupaten Merangin. Akibat banjir, rumah-rumah penduduk yang berada disepanjang daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari banyak yang hanyut karena kuatnya aliran banjir kali ini.

Koran Nieuws Ochtenblad, 17 Februari 1955 juga menurunkan berita tentang musibah banjir di Jambi. Informasi dari Shamsu Bahroen, Dewan Eksekutif Batanghari, akibat banjir di Jambi menyebabkan jatuhnya korban lima orang meninggal dunia. Pemerintah daerah di Jambi meminta bantuan pemerintah pusat Jakarta dalam mengatasi dampak banjir Jambi ini.

Shamsu Bahroen kepada wartawan di Jakarta memberikan informasi, korban riil akibat banjir belum dapat diketahui karena jaringan komunikasi terputus di Jambi. Selain itu, kerusakan material dampak banjir sangat besar sehingga belum dapat dihitung jumlah kerugian materi.

Dahsyatnya banjir juga diberitakan dalam koran ini. Di Muara Tembesi (Batanghari), ketinggian banjir mencapai empat meter.  Banjir terjadi setelah terus menerus sepuluh hari hujan. Banjir tahun 1955 ini lebih besar dari pada tahun 1931 yang dianggap banjir terbesar dalam ingatan orang Jambi.

Diberitakan Kabupaten Batanghari seluruhnya terendam banjir.  Daerah Merangin separuhnya terendam air.  Jumlah korban banjir ini  sekitar 350.000 orang dari  jumlah penduduk  430.000 orang. Banyak warga yang tinggal di loteng rumah. Sementara warga yang rumahnya tidak ada loteng, terpaksa mengungsi. Menurut laporan awal, laporan banjir begitu parah di daerah Kampung Penyeberangan Tanjung. Di sana semua rumah dan toko di dekat air telah hanyut. Semua koneksi di darat telah terputus.

Muara Tembesi jadi danau, begitu berita yang dimuat surat kabar AID De Preangerbode, 29 Januari 1955.  Banjir di Muara Tembesi setinggi lebih tiga meter menyebabkan wilayah Muara Tembesi menjadi seperti danau. Akibat banjir ini,  Koneksi antara Bukittinggi-Jambi dan antara Jambi- Palembang terputus.  Banjir ini terbesar sejak abad XX. Pemerintah daerah menggunakan terompet menghimbau warga untuk dievakuasi ke tempat yang aman.

Terkait banjir di Jambi, Dewan Eksekutif Dewan Kabupaten Batanghari telah memutuskan untuk menunjuk dua wakil, yaitu Sjamsoe Haroen dan Dachlan untuk berangkat ke Jakarta berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Diharapkan pemerintah pusat bisa memberikan bantuan pangan, obat-obatan dan juga pakaian. Informasi ini dimuat dalam surat kabar  Java Bode, 17 Februari 1955.

Di Jakarta, delegasi ini sudah diskusi dengan pihak berwenang terkait. Pemerintah pusat memiliki komite khusus yang dibentuk dalam mengatasi masalah banjir ini. Kementerian Urusan Ekonomi menjanjikan akan mengirimkan 1.700 ton beras pada bulan Februari ke Jambi.  Kementrian ini juga akan memberikan bantuan pakaian untuk korban banjir.

Palang Merah Indonesia (PMI) juga berjanji akan memberikan bantuan dalam mengatasi bencana alam berupa banjir di sejumlah wilayah di Indonedia, termkasuk Jambi. PMI men galang dana, pakaian dan obat-obatan. Informasi dari PMI, jumlah pengungsi di Sumatera Tengah akibat banjir  adalah antara 80.000 dan 100.000 orang. Musibah banjir terbesar ada di Jambi. Rumah penduduk rata-rata enam meter di bawah air, sementara populasi yang terkena kekurangan kalori, protein dan vitamin yang diperlukan.

Ali Sastroamidhjojo Turun ke Jambi

Dukungan pemerintah sehubungan dengan bencana alam ini dibuktikan dengan turunnya Perdana Menteri Sastroamidjojo pada hari Rabu pagi, 16 Februari 1955 dengan pesawat ke Jambi. Sejumlah surat kabar memberitakan agenda kunjungan PM Ali Sastroamidjojo ke Jambi ini.

Surat Kabar Overijels Dagblad, tanggal 17 Februari 1955 menulis tanggal 16 Februari 1955, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melakukan kunjungan kerja ke Jambi selama dua hari dalam memantau kondisi banjir. Dari Jakarta, PM Ali naik pesawat ke Jambi dan langsung melakukan pertemuan dengan perangkat pemerintahan yang ada di Jambi terkait musibah banjir ini.

Kunjungan PM Ali Sastroadmidjojo ke Jambi juga diberitakan Surat Kabar Nieuwsblad, 18 Februari 1955). Di Jambi, PM Ali mendengarkan informasi terkini tentang bencana banjir ini. Ribuan orang jadi tunawisma. Ribuan orang ini mengungsi ke daerah perbukitan. Diberitakan juga, dalam pengungsian ini, masyarakat juga harus hati-hati karena adanya ancaman bahaya harimau yang berkeliaran. Akibat banjir banyak harimau yang berkeliaran dan memangsa hewan ternak.

Tahun 2020 ini, banjir masih seperti rutinitas kembali menimpa Jambi seperti tahun-tahun sebelumnya. Ada baiknya kita menoleh ke masa silam dan merenungkan, kenapa bencana alam ini selalu datang menghampiri. Banjir membawa kesengsaraan kerugian moril dan materil. Hutan Jambi makin berkurang, jumlah penduduk semakin banyak. Sungai Batanghari dan anak sungainya semakin dangkal. Atau boleh jadi banjir menjadi sesuatu yang biasa di Jambi. Ada kearifan lokal, penduduk Jambi membuat rumah panggung mengantisipasi banjir.  Menyiapkan sampan persiapan saat banjir datang. Banjir menjadi berkah. Air meluap, ikan pun berlimpah. ** (Terbit di kajanglako.com, 15 Juni 2020).