Dari Sagu ke Beras: Ancaman Pergeseran Konsumsi Orang Laut di Lingga

0
886
Gubal yang bahan pembuatannya dari sagu. Tidak hanya dikonsumsi oleh Orang Melayu, Orang Laut di Kabupaten Lingga menganggap gubal ini sebagai makanan leluhur mereka.

Suku laut di Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, lebih mudah menerapkan pembatasan sosial karena hidupnya terpisah dari kelompok lain. Makanan pokok berupa sagu dan ikan membantu mereka tetap mandiri selama masa pandemi corona. (Kompas,10/5/2020). Berita Harian Kompas ini sangat menarik karena dalam hal pembatasan sosial, Orang Laut di Lingga lebih siap. Kebiasaan Orang Laut dalam mengkonsumsi sagu sebagai makanan sangat pokok ternyata sangat bermanfaat dalam situasi seperti ini. 

Pinggiran laut dan pesisir telah menjadi ruang kehidupan dan hidup Orang Laut selama berabad-abad. Sejak lahir, mereka telah terpapar hidup di laut. Dengan demikian, mereka memiliki pengetahuan yang luar biasa dari angin, arus, dan pasang surut yang mengatur laut, dari lokasi

kaya akan lahan penangkapan ikan dan rawa-rawa bakau, dan posisi hutan matahari, bulan, dan bintang yang digunakan untuk menavigasi jalan mereka melalui kepulauan. Laut memberi Orang Laut sumber utama mereka makanan. Dari waktu ke waktu, mereka menambah makanan mereka dengan yang lain produk maritim seperti ikan, kerang, dan kepiting. Mereka mengumpulkan buah-buahan dan binatang yang didapatkan dan diburu di hutan. Hasil tangkapan laut mereka jual ke tauke Tionghoa. Dalam menangkap ikan, penggunaan tombak jadi senjata utama. Selain itu juga ada yang memancing dan mencari kayu bakau sebagai sumber penghasilan. (Chou,2003:19).

Hal yang mencemaskan dan mengkhawatirkan adalah kondisi kekinian mulai adanya pergeseran makanan pada Orang Laut. Sejak dahulu hingga periode tahun 1990-an, Orang Laut menjadikan sagu sebagai makanan pokok mereka. Sagu diolah untuk berbagai jenis makanan, seperti gubal, sagu lenggang dan lain sebagainya. Mereka tidak mengenal namanya beras yang dimasak jadi nasi dan jenis makanan lainnya. Pergeseran pemukiman dari laut ke darat yang menjadikan Orang Laut menjadi lebih terbuka dan bergaul dengan etnik lain juga berdampak pada pola makan dan jenis makanan.

Orang Laut dan Gubal

Ada hal menarik tentang makanan bernama gubal terkait Orang Laut yang ada di Kabupaten Lingga. Gubal merupakan makanan khas Lingga yang berbahan baku sagu. Gubal dibuat dengan campuran kelapa muda yang telah diparut sebelumnya.  Biasanya gubal dipadupadankan dengan gulai ikan pari atau ikan hiu dengan kuah asam pedas. Proses pembuatannya gubal ini tidak menggunakan minyak goreng.

Dalam cerita rakyat Sumpah Orang Barok, gubal adalah makanan Orang Barok. Orang Barok salah satu sub etnik Orang Laut yang ada di Lingga, selain orang Mantang.  Raja Barok mengundang empat puluh empat raja yang berasal dari selatan, barat, timur dan utara ke pulau Barok. Tamu yang datang dihidangkan gubal dengan lauk gulai asam pedas. Empat puluh empat raja yang datang bertanya, mengapa dihidangkan dengan makanan seperti itu. Kata Raja Barok, sagu gubal makanan khas mereka dan dianggap makanan terhormat dalam menyambut tamu.

Jawaban dari Raja Barok tidak diterima para raja yang berjumlah 44 orang itu. mereka mengambil badik dan menikam Raja Barok. Raja Barok terluka parah. Sebelum ajal menjemputnya, dia berpesan kepada Datok Kaya dan 44 raja bahwa antara Orang Laut dan para raja-raja ini bersaudara dan tidak seharusnya saling bertikai. Raja Barok tewas karena tikaman badik. Darah putih mengucur dari tubuhnya. Ini pertanda bahwa Raja Barok orang baik dan menjadi bukti antara Orang laut dan para raja yang menghuni berbagai daerah di Lingga itu bersaudara. Nasi telah jadi bubur, Raja Barok tewas karena hidangan sagu gubal yang dianggap sebagai penghinaan.

Pergeseran Konsumsi Makanan

Orang Laut di Lingga sejak lama makanan pokoknya adalah sagu. Dulunya sagu mudah didapatkan di Lingga yang dikenal sebagai sentra penghasil sagu utama di Sumatera selain Meranti. Dalam perkembangannya, Orang Laut yang ada di Lingga kadang sulit mendapatkan sagu karena sagu banyak dipasok ke luar Lingga. Pabrik sagu yang ada di Lingga kebanyakan milik tauke dengan orientasi dipasarkan ke luar Kabupaten Lingga.

Selain sulit mendapatkan sagu, pergeseran konsumsi makanan juga terjadi, khususnya kalangan generasi muda. Orang Laut banyak berinteraksi dengan etnik lain, khususnya etnik Melayu dan Tionghoa. Hal ini juga berpengaruh pada perubahan konsumsi makanan. Orang Laut jadi belajar dan lama kelamaan jadi  biasa makan nasi. Bantuan sosial yang sering diberikan kepada Orang Laut juga banyak dalam bentuk sembako. Biasanya ada beras, gula, telur dan minyak goreng. Kondisi ini menjadikan mereka terbiasa dengan makanan yang dikonsumsi masyarakat lainnya yang ada di Kabupaten Lingga.

Dibandingkan nasi, Orang Laut sebenarnya lebih menyukai makanan berbahan sagu ketimbang nasi. Makanan dari sagu, seperti gubal misalnya dianggap lebih mengenyangkan. Cukup merebus ikan dan menyalai ikan, dimakan dengan gubal, itu bagi Orang Laut jadi makanan favorit. Harga sagu juga lebih murah. Satu kilogram sekitar Rp2500, bandingkan dengan beras yang harga per Kg bisa Rp10 ribu-17 ribu. Dalam artian  satu kg beras bisa untuk membeli empat kilogram sagu. Dengan empat kilogram sagu itu bisa memenuhi kebutuhan selama empat hari. Kelebihan lainnya dari sagu adalah bisa bertahan lama. Ini sangat berguna bagi Orang Laut yang aktivitasnya banyak di laut.

Beranjak dari kondisi ini, Yayasan Kajang Lingga yang concern dalam pemberdayaan Orang Laut di Lingga berharap pada pemerintah daerah atau siapa saja yang berniat membantu Orang Laut, harus memahami karakter Orang Laut Lingga. Dikhawatirkan bantuan yang diberikan makin menjadikan Orang Laut Lingga makin jauh dari karakter khas mereka sebagai Orang Laut, dengan konsumsi utama adalah sagu. Memberikan bantuan sembako kepada mereka dalam bentuk beras membuat Orang Laut makin terbiasa dengan beras. Sementara disisi lain, beras barang mahal di Lingga karena dipasok dari luar Provinsi Kepri dan harganya jauh berapa kali lipat dibandingkan sagu.

Orang Laut Lingga telah lama bersebati dengan sagu. Ini anugrah dari tuhan karena sagu tanaman kultural (turun temurun) yang tumbuh begitu subur di Lingga. Tidak ada alasan berpaling dari sagu dan beralih ke beras. **

Sumber:

B.M Syamsuddin, Cerita Rakyat Riau 2. Jakarta:Grasindo, 1997.

Cynthia Chou, Indonesian Sea Nomads, Money, Magic And Fear of The Orang Suku Laut. RoutledgeCurzon-IIAS Studies Series,2003.