Penghuni bumi abad ke-21 mencemaskan penyebaran wabah (epidemic) mematikan yang bisa datang kawan saja. Pada dekade awal abad ini, penyebaran wabah SARS dan Antrax’s telah membuat beberapa negara di dunia kewalahan dalam mengantisipasinya, termasuk Indonesia Setelahnya, berturut-turut MERS dan Ebola mengancam tidak kalah serius. Sementara, wabah HIV/ AIDS, yang pada akhir abad ke-20 dianggap wabah paling berbahaya hingga kini masih tetap menjadi ancaman mematikan bagi warga bumi. (Arsa,2015). Awal tahun 2020 datang lagi wabah yang tidak kalah dahsyat yang menimpa hampir semua negara di dunia. Covid 19 menyerang Wuhan (Cina) dan kemudian menyebar ke penjuru dunia.
Di masa Kolonial Belanda, ada sejumlah wabah penyakit yang terjadi di Hindia Belanda. Ada apes, lepra, malaria, termasuk juga cholera (kolera). Penyakit kolera pernah jadi momok menakutkan. Ada beberapa kali kasus wabah kolera yang besar di Hindia Belanda, periode 1881-1882, 1889, 1892, 1897, 1901-1902, dan 1909-1911. Dari serentetan epidemi itu yang paling parah adalah epidemi 1909-1911. Kondisi ini menjadikan tahun 1910 dan 1911 sering dianggap sebagai tahun kolera.
Kasus kolera pernah terjadi menimpa masyarakat Keresidenan Jambi tahun 1909. Korbannya ribuan orang meninggal dunia. Dari Jambi, penyakit kolera menyebar ke sejumlah wilayah di nusantara. Kolera terjadi hampir di semua wilayah Jambi baik pesisir atau pun pedalaman. Dari Jambi, diyakini penyakit ini menyebar ke daerah lainnya di Hindia Belanda.
Kasus kolera di Jambi ini dapat dilacak dalam pemberitaan surat kabar yang terbit tahun 1909.Koran Het Nieuws Van Den Dag terbitan 15 Oktober 1909 memberitakan Kolera di Keresidenan Jambi bulan September 1909 telah berhenti di daerah pesisisr, tetapi di pedalaman wabah ini belum bisa dihentikan. Korban meninggal dunia akibat kolera 561 orang.
Dahsyatnya wabah ini terlihat dari lonjakan kasus kolera baru dan jumlah kematiannya yang bergerak cepat. Misalnya dalam bulan Juli 1909, ada 138 kasus kolera baru. Sebanyak 65 orang meninggal dunia. Surat kabar De Locomotive tanggal 6 September 1909 memberitakan kolera dari Jambi semakin jauh menyebar ke hulu dan mengancam wilayah Padangsche Bovenlanden.
Surat kabar Het Nieuws Van Den Dag tertanggal 7 Agustus 1909 memuat artikel yang cukup panjang tentang kolera di Jambi. Judulnya: Epidemi Kolera di Jambi. Artikel ini ditulis dr A.A Hijmans yang berdasarkan pemantauannya tentang wabah kolera di Jambi. Ia menyoroti tentang kondisi lingkungan dan gaya hidup masyarakat yang tidak bersih. Di Muara Tebo, kampong terletak di tepi sungai. Rumah penduduk bentuknya rumah panggung. Masyarakat mengantungkan kehidupan pada air bersih yang ada di sungai. Ironisnya, sungai juga jadi tempat menampung limbah. Masyarakat mencuci, mandi dan mengambil air bersih di sungai. Kondisi lingkungan yang tidak sehat ini berdampak pada berjangkitnya kolera.
Padahal kondisi lingkungan yang buruk dan permukiman yang semakin padat adalah lahan subur bagi berkembangnya kuman penyakit kolera. Lain itu, keterbatasan pengetahuan terkait muasal penyakit dan cara terbaik menanganinya membuat kolera makin sulit dibendung.
Penyakit infeksi ini sangat rawan menyebar. Pada awal Juli 1909, kolera sudah masuk ke Muara Tebo. Pada tanggal 23 Juli, ia pergi ke beberapa daerah di dekat hilir. Korban kolera berjatuhan. Tugas berat meyakinkan penduduk untuk menjaga kebersihan, termasuk sanitasi. Selain di Muara Tebo, kolera juga menimpa penduduk Muara Bungo, Muara Tembesi, Muara Sabak termasuk Kerinci.
Koran het Nieuws Van Den Deg terbitan 15 Oktober 1909 menulis, kasus kolera mendapat perhatian dari Dewan Rakyat dan Residen Belanda. Epidemi kolera di Jambi dan Muara Sabak dinyatakan berakhir namun epidemi ini menimpa wilayah Komering Hilir. Jumlah kematian akibat kolera di Jambi mencapai 2200 jiwa. Korbannya menimpa wilayah sepanjang Batanghari, dari Muara Tebo, sepanjang Tembesi ke Bangko.
Penyebaran wabah penyakit pada umumnya disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sehat, sanitasi drainase yang buruk, serta tingkat imunitas masyarakat sendiri yang rendah sehingga mudah diserang penyakit. Dalam kasus kolera di Jambi, penyebabnya juga terkait hal ini. Sanitasi di Jambi begitu buruk. Gaya hidup masyarakatnya juga tidak sehat dengan kondisi rumah disepanjang sungai.
Dalam penanggulangan kolera di Jambi, diambil sejumlah langkah. Diantaranya, mendisinfeksi rumah orang mati secara menyeluruh, memberikan obat kepada orang sakit. Polisi juga diminta mengawasi agar penanggulangan penyakit kolera ini dapat berjalan baik. Memantau aktivitas masyarakat termasuk mengawasi pengiriman obat-obatan. Obat-obatan dan bahan-bahan desinfeksi juga dikirim ke hilir. Rumah sakit juga menyediakan layanan khusus bagi penduduk yang terjangkit kolera.
Wabah kolera ini sepertinya hilang sementara di Jambi. Surat Kabar De Sumatra Post, 9 Februari1924 memberitakan wabah kolera di Jambi dan Kerinci. Pada bulan Januari 1924, ada tujuh kasus kolera dan tiga orang meninggal dunia. Inspektur van den B.G.D dari Padang datang untuk melakukan pemeriksaan kasus kolera ini. Korban diperiksa secara miroscopically dan bakteriologis. Vaksin skala besar diambil dari Padang dibawa ke Jambi. Sejumlah besar vaksin Institut Pasteur di Bandung juga diberikan. Tindakan ini dilakukan dalam penanggulangan agar kolera tidak menyebar di daerah Jambi lainnya.
Tahun 1953, wabah kolera menyerang Tungkal Ulu, tepatnya di Desa Merlung. Lima anak meninggal karena kolera. Di daerah itu tidak ada klinik. Solusinya dibuat klinik dalam mengatasi wabah ini. Masyarakat sangat gembira adanya layanan kesehatan yang sangat membantu warga. (Het Nieuwsblad, 13 Juli 1953). ** (terbit di metrojambi.com, 6 Mei 2020)