Lama berjuang, akhirnya Randai Kuantan ditetapkan pemerintah sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia tahun 2016. Randai Kuantan, satu diantara enam karya budaya dari Riau yang ditetapkan. Lima karya budaya lainnya, yakni Randai Kuantan, Nyanyian Panjang, Bedowo Bonai, Debus Inderagiri Hulu, Calempong Oguoang, Joget Sonde.
Selama ini Randai identik dengan seni tradisional Minangkabau, namun hal tersebut dipatahkan dengan adanya Randai Kuantan yang berasal dari Riau.
Randai tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, yang dipertontonkan pada acara pesta perkawinan, sunatan, kenduri kampung dan acara lainnya.
Berbeda dengan Randai Minangkabau yang lebih kompleks dalam penyampaian pesan dengan airmata, kebencian, kekerasan, maupun suka cita, randai Kuantan lebih komunikatif dan penuh dengan gelak tawa.
UU Hamidy mengatakan bahwa keberadaan Randai di daerah Kuansing, erat hubungannya dengan kedatangan perantau-perantau Minang kedaerah itu. Daerah aliran sungai Kampar adalah daerah Riau yang mula-mula menerima kedatangan Randai Minangkabau. Dari daerah Kampar inilah Randai masuk ke Kuansing. Randai mulai dikenal di perkampungan sepanjang sungai kuantan Indragiri Riau, kira-kira tahun 1937. Ketika itu keadaan ekonomi rakyat didaerah itu cukup baik. Harga getah cukup mahal, lagipula banyak petani atau peladang getah yang diberi subsidi oleh Belanda. Ekonomi yang baik ini telah mendorong datangnya perantau-perantau Minangkabau ke daerah tersebut, dengan harapan mendapat pekerjaan yang lebih baik atau dating untuk berniaga.
Randai yang pertama dipertunjukkan di daerah Kuansing adalah Randai Cindur Mato. Randai ini dimainkan oleh perantau Minangkabau bersama-sama orang Kampar. Pertunjukan Randai mereka hampir serupa semuanya dengan pertunjukkan Randai di Minangkabau. Tak dapat disangkal bahwa randai Kuantan telah berkembang dari masa ke masa. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti lagu, tarian, tema cerita, busana, tempat pementasan dan juga pelibatan perempuan dalam aktivitas randai.
Keunikan randai memang mempunyai daya tarik tersendiri dibandingkan denga kesenia rakyat lainnya yang hidup di Rantau Kuantan. Antara lain adalah, adanya tokoh wanita di perankan oleh laki-laki yang berpakaian wanita, dan sindiran-sindiran terhadap pejabat dalam bentuk pantun.
Tokoh wanita yang diperankan laki-laki ini dimaksudkan untuk menjaga adat dan norma-norma Agama. Karena latihan pada malam hari dan pertunjukan juga pada malam hari, sehingga kalau ada anak dara yang tampil ini merupakan suatu yang tabu bagi masyarakat. Selain itu juga untuk menjaga supaya hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.
Sewaktu pementasan para Anak Randai membentuk lingkaran dan menari sambil mengelilingi lingkaran, sehingga pemain tidask berkesan berserakan dan terlihat rapi. Menyaksikan Randai Kuantan kita akan terbuai dan merasakan suasana kehidupan desa. Bermain, kebun karet, bergurau, bersorak sorai serta berbincang, tentu dengan lidah pelat Melayu Kuantan. Sehingga perantau yang pulang kampung ke Rantau Kuantan tak pernah melawatkan pertunjukan ini.
Untuk menyaksikan pertunjukan Randai Kuantan bukanlah hal yang sulit, karena Randai Kuantan sampai saat ini tetap banyak didapatkan di Rantau Kuantan, bahkan pada saat ini hampir setiap desa mempunyai kelompok randai. Sebuah kelompok Randai juga mempunyai sutradara yang mengatur jalan cerita sebuah pertunjukan randai. Sutradara atau peramu cerita harus mempunyai wawasan yang luas terutama dalam hal pengembangan dialog dan pantun. Tidak hanya itu, dia sedikit banyak juga harus mengerti tentang peralatan alat musik yang digunakan. Disinilah sutrada dituntut untuk menampilkan yang terbaik. Sehingga penonton tidak merasa bosan dengan alur ceritanya.
Masyarakat Rantau kuantan sering kali mengadakan hajatan dengan mengundang sebuah kelompok Randai. dengan demikian mereka tidak merasa jenuh dengan latihan saja, mereka juga akan mandapat masukan berupa uang lelah sebagai ucapan terima kasih. Peran masyarakat setempatlah yang sebenarnya paling dominan sehingga Randai Kuantan tetap melekat dihati masyarakat.
Sumber: UU Hamidy, Kesenian Randai dalam Masyarakat Kuantan. Tesis, Universiti Malaya, Kualalumpur,1980
Sita Rohana, Randai Kuantan, Berandai-andai, berhandai-handai. Booklet BPNB Tanjungpinang.