Tradisi Perang Ketupat masih lestari di Desa Tempilang, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Tradisi ini ini bertujuan meminta keselamatan dan perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Asal mula tradisi ini adalah pada zaman dahulu, di Desa Tempilang banyak anak gadis yang diambil dan dimakan siluman buaya. Kondisi Desa Tempilang pada saat itu sangat mencekam dan sebagian masyarakat merasa ketakutan. Untuk mengatasi masalah tersebut lalu beberapa dukun berinisiatif untuk mengadakan ritual secara bersama –sama untuk mencegah terjadinya musibah yang lebih besar lagi. Dalam perkembangan selanjutnya ritual tersebut oleh masyarakat Desa Tempilang yang dinamakan tradisi Perang Ketupat.
Tradisi Perang Ketupat dilaksanakan pada minggu ketiga di bulan Sya’ban. Simbol dan makna dalam tradisi Perang Ketupat adalah ketupat yang mempunyai makna persatuan, kesatuan, kesadaran, dan kegotongroyongan; sesaji yang mempunyai makna satu kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga terciptanya kehidupan bersama. Ada prosesi nganyot perae atau menghanyutkan perahu dengan makna untuk memulangkan tamu-tamu makhluk halus yang datang ke desa Tempilang terutama yang bermaksud jahat agar tidak mengganggu masyarakat desa Tempilang. Ada prosesi ngancak yaitu pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di laut agar mereka tidak mengganggu aktivitas nelayan pada saat pergi melaut. Selain itu ada prosesipenimbongan yaitu
pemberian makanan kepada makhluk halus yang dipercayai bermukim di darat agar mereka tidak mengganggu masyarakat setempat.
Nilai-nilai yang ada dalam tradisi Perang Ketupat adalah nilai agama yang mencakup nilai aqidah, nilai syariah, dan nilai akhlak.Nilai budaya yang tercermin dalam beberapa hal, yakni pantangan tiga hari, menghanyutkan perahu, dukun tidak boleh mempublikasikan nama-nama makhluk halus dan nilai sosial yang mencakup gotong royong dan kebersamaan. Sedangkan fungsi dari tradisi Perang Ketupat secara garis besar adalah sebagai kebersamaan sosial dan aset pariwisata.
Upacara Perang Ketupat bisa juga dikategorikan sebagai ritual selamatan. Selamatan berasal dari bahasa Arab yang artinya selamat, sentosa, lepas dari bahaya. Menurut Clifford Geertz, selamatan terbagi dalam empat jenis: pertama, berkisar pada persoalan krisis-krisis kehidupan, seperti kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian; kedua, berhubungan dengan hari raya Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, Idul Adha; ketiga, berhubungan dengan integrasi sosial; keempat, yaitu selamatan yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tepat, tergantung pada kejadian yang luar biasa, yang dialami seseorang seperti keberangkatan untuk suatu perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama dan lain sebagainya. Tradisi Perang Ketupat terdapat pada kategori yang ketiga yaitu berhubungan dengan dengan integrasi sosial seperti bersih Desa (pembersihan dari roh jahat). **
Sumber: Zainab, Tradisi Perang Ketupat di Desa Tempilang, Kabupaten Bangka, Provinsi Babel. Skripsi Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2008.