Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepri, Yatim Mustafa M.Pd berharap Kemdikbud meninjau ulang wacana untuk penerapan full day school. Sistem itu dinilai tak cocok dengan karakter daerah seperti Kepri yang mayoritas wilayahnya pulau.
“Kalau di Jakarta atau Jawa sana mungkin cocok. Bagaimana anak-anak pulau pulang sekolah jelang magrib atau malam hari. Mereka ada yang naik pompong atau sampan ke sekolah,”kata Yatim dalam lokakarya PTEBT yang ditaja Kemdikbud, pekan lalu di Hotel Aston, Tanjungpinang.
Kata Yatim, di Kepri pendidikan paling maju di Kota Batam. Di Batam, ia menilai full day school tak bisa diterapkan. Tak hanya anak-anak pulau, di pusat kota Batam juga riskan kalau sistem itu dijalankan. Dampak negatifnya lebih besar dari pada manfaatnya. “kalau anak-anak sekolah pulangnya malam hari. Jangan-jangan dari sekolah tak langsung pulang tapi ke tempat hiburan yang menjamur di Batam. Jadinya bukan full day school, tapi all day. Kasihan orang tua yang memikirkan mencari anaknya kenapa tak pulang-pulang,”ujarnya.
Ia juga berharap pemerintah pusat melalui Kemdikbud tak membuat kebijakan yang mencla mencle alias tak konsisten. Ia mencontohkan penerapan kurikulum (K-13) yang harusnya sudah diterapkan sejak beberapa tahun lalu. Ganti menteri menyebabkan K-13 batal dilaksanakan. “Padahal kita sudah habiskan miliaran uang untuk pelatihan guru K-13. Setelah itu dibilang batal karena masih evaluasi. Kasus lain ujian pakai sistem komputerisasi. Pengadaan alat-alat disiapkan. Ujung-ujungnya sistem pun diganti pula,”sebutnya.
Yatim meminta pusat jangan menjadikan daerah kelinci percobaan sistem pendidikan. Daerah selalu siap melaksanakan kebijakan pendidikan yang bernilai baik. “Kita bukan anti sistem terpusat. Tak cinta tanah air. Tapi kebijakan dibidang pendidikan juga harus menyesuaikan dengan kondisi daerah,”tegasnya.
Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy menyebutkan, konsep full day school atau sekolah seharian tidak seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Menurut dia, program yang akan menyasar sekolah dasar dan menengah pertama tersebut justru akan membuat para siswa senang meskipun seharian ada di sekolah.
Kata Muhadjir, ada tiga alasan sistem ini menyenangkan dan layak diterapkan. Pertama, tak ada mata pelajaran. Dalam jam tambahan tersebut tidak ada mata pelajaran yang bisa membuat para siswa bosan. Kegiatan yang dilakukan adalah ekstrakulikuler. Kedua, Orang tua bisa jemput anak ke sekolah. Pertimbangan lain dari program full day school adalah masalah hubungan antara orang tua dan anak. Menurut Muhadjir, untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan, pada umumnya orang tua bekerja hingga pukul 5 sore. Dengan program tersebut, kata dia, orang tua bisa menjemput anak mereka di sekolah saat pulang kerja.
Ketiga, Membantu sertifikasi guru. Program full day school dianggap Muhadjir dapat membantu guru untuk mendapatkan durasi jam mengajar 24 jam per minggu sebagai syarat mendapatkan sertifikasi guru.**