Saatnya Menulis Sejarah Korupsi di Daerah

0
873

RESENSI BUKU

Judul buku : Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai
Era Reformasi
Penulis : Peter Carey, Suhardiyoto Haryadi dan Sri Margana
Pengantar : Rimawan Pradiptyo
Epilog : Adnan Topan, Chandra M Hamzah, Pujo Semedi dan Zainal Arifin
Penerbit : Komunitas Bambu, 2017
Edisi Kedua Penyempurnaan
Jumlah halaman : 278

Sebagai peneliti sejarah dan memiliki latar belakang pendidikan ilmu sejarah, membaca buku Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi karya Peter Carey cs, hati ini tergelitik. Saat menempuh pendidikan S1 1998-2002, isu korupsi tak pernah dibahas dalam bangku perkuliahan. Sejarah tematik lebih banyak berkutat tentang sejarah perkotaan, gerakan sosial, maritim, pedesaan, militer, sosial ekonomi, termasuk sejarah pers. Buku ini membukakan mata, sejarah korupsi dalam perjalanan bangsa sejak era kolonial Belanda sampai era reformasi sudah mendarah daging.

Isu korupsi makin seksi untuk dibicarakan. Kondisi kekinian, DPR dan Presiden Jokowi kompak merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meski mendapat penolakan dimana-mana. Mahasiswa di Jakarta dan daerah-daerah turun ke jalan menolak revisi UU KPK. Sejumlah perguruan tinggi juga menyampaikan penolakan atas kesepakatan pemerintah merevisi itu. Revisi UU KPK bagi banyak orang dianggap pertanda bangsa ini memasuki masa kegelapan dalam pemberantasan korupsi.

Kejadian terbaru lainnya adalah Menteri Pemuda Olahraga Imam Nachrowi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam perkara suap kasus korupsi dana Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Sang menteri pun mengajukan pengunduran diri dari jabatannya. Banyak yang mencerca, banyak juga yang membela menteri berusia muda itu. Hal yang pasti, kasus Imam Nachrowi ini beritanya tak menggegerkan. Publik seperti terbiasa dengan pemberitaan adanya menteri, gubernur, bupati, walikota atau anggota DPR ditangkap dalam kasus korupsi.

Buku Menggugah

Menarik membaca prakata penulis buku ini, Peter Carey yang berbau harapan. Di zaman yang marak intoleransi dan kegelapan ini, adalah tugas kita semua untuk ikut memperjuangkan supaya Indonesia bisa tetap eksis sebagai negara kesatuan. Dan langkah awal untuk perjuangkan yang sengit ini adalah dengan mempelajari sejarah korupsi dengan cermat. (hal.xviii). Buku ini dengan bagus mengungkap sebuah peristiwa dalam gambar, yaitu saat Pangeran Diponegoro yang menampar Patih Yogya, Danurejo IV yang korup. Peristiwa itu membuat heboh dan dilihat banyak orang. Perang Jawa dimasa Pangeran Diponegoro, masalah korupsi menjadi salahsatu pemicu utama. Namun, hal ini tidak ada diajarkan dalam pelajaran sejarah di Indonesia. Bagi penulis buku, fakta ini menjadi gambaran bahwa isu korupsi menjadi salah satu isu abadi yang sudah lama menghantui tanah air.

Buku ini ditulis untuk memberi semangat dalam perjuangan memberantas korupsi dengan mengedepankan sebuah contoh yang diambil dari sejarah modern sebagai repleksi bagi pemimpin Indonesia masa kini. Menurut Peter Carey, dalam hal pemberantasan korupsi obat paling manjurnya adalah ketakutan atas keadaan yang begitu mendesak. Kondisi yang sama pernah dialami negara asal Peter Carey, yaitu Inggris pada abad 18 dan awal abad 19. (hal.xxiii). Semua elemen bangsa harus sadar dan ingat, persoalan korupsi dampaknya menyangkut kesejahteraan rakyat.

Tulisan Pujo Semedi dalam epilog buku sangat bagus sekali. Ia menulis buku Peter ‘Diponegoro’ Carey sangat penting untuk menggugah kesadaran kita akan sejarah panjang korupsi. Peter Carey menyadarkan bahwa konstruksi sosial buruk ini ternyata menyangkiti masyarakat kita sejak kolonial, bahkan hingga era sebelumnya. Buku ini membuka jalan untuk mengenali akar-akar sejarah politik ekonomi dan sosial ekonomi koprupsi. Harapannya, ibaratnya benalu, kalau kita kenal akarnya, maka kita tahu cara membasminya. (hal.233).

Pentingnya buku ini juga diungkap Rimawan Pradiptyo sebagai pengantar ahli. Buku ini memperlihatkan korupsi dan kebijakan anti korupsi di Inggris, Perancis serta di Indonesia sejak abad 18. Analisis korupsi dari perspektif sejarah dalam buku ini juga memberikan pelajaran kepada kita tentang kompleksnya pergulatan melawan korupsi di negara maju. Menarik juga mencermati praktik-praktik korupsi di Hindia Belanda pada zaman VOC dan di Inggris pada abad 18 dan kondisinya tidak jauh berbeda dengan praktek korupsi di Indonesia kontemporer. (hal.xIvii). Rimawan menilai korupsi menjadi masalah Indonesia yang sangat serius. Namun, belum terlihat adanya sense of crisis atau sense of urgency dari berbagai elemen bangsa untuk menanggulangi korupsi struktural di Indonesia. Berbagai fakta sejarah yang diungkap dalam buku ini memberikan peringatan bahwa penanggulangan korupsi seringkali dipicu oleh faktor keterpaksaan.

Sri Margana menulis perilaku korupsi telah masuk dalam struktur kesadaran masyarakat sebagai proses yang wajar dan tidak terbantahkan dalam relasi sosial, politik dan ekonomi. Melabelkan korupsi telah menjadi menjadi budaya adalah sebuah cultural determinism yang mungkin juga dapat melemahkan semangat dalam mengatasi masalah korupsi. Korupsi secara kultural telah menjadi bagian dari struktur kesadaran dan budaya masyarakat Indonesia. Banyak orang berkeyakinan korupsi yang ada di Indonesia saat ini adalah warisan sejarah. (hal.106). Ia menilai determinisme kultural dan pengaruh etnis tertentu (Jawa) sebagai penyokong utama korupsi tidak memiliki dasar historis. Sifat sifat patrimonialisme birokrasi menjadi penyebab utama.

Revisi Buku

Bab I sampai III buku ini mengungkap praktek korupsi di Jawa, pengalaman sejarah Inggris dan akar korupsi di Indonesia. Bab IV tentang Pencarian Indonesia atas Budaya Demokrasi (Pluralisme, Toleransi dan Kekuasaan Hukum 1998-2017) ditulis Suhardiyoto Haryadi. Tulisan Suhardiyoto bergaya jurnalistik, mengungkap dari satu fakta ke fakta lain seperti reportase. Dalam tulisannya, penulis melihat Presiden Jokowi yang terpilih tahun 2014 sebagai tokoh yang terdepan dalam pemberantasan korupsi. Era pemerintahannya diharapkan lebih bagus daripada masa pemerintahan presiden sebelumnya, SBY.

Dalam perjalanan sejarahnya usai menjabat lima tahun, pemerintahan Jokowi tidak jauh lebih bagus dalam hal pemberantasan korupsi. Menterinya tersangkut kasus korupsi. Sejumlah direksi dari sejumlah BUMN masuk penjara tersangkut kasus korupsi. Para anggota DPR, gubernur, bupati dan walikota juga ramai berurusan dengan KPK. Dalam hal kasus korupsi, tidak ada istilah partai koalisi, partai oposisi. Hampir setiap pekan, ada saja berita para politisi dan para aparatur sipil negara (ASN) yang tersandung kasus koprupsi.

Harapan besar pada Presiden Jokowi menjadi tokoh utama dalam memberantas korupsi menjadi mulai hampa. Jokowi menyetujui revisi UU KPK yang membuat heboh tanah air. Jokowi juga setuju dengan pemilihan lima komisioner KPK yang pimpinannya dari jenderal polisi aktif. Jokowi menjadi satu kubu dengan DPR berhadapan dengan publik yang sebagian besar mendukung KPK. Publik terlanjur cinta dengan lembaga anti rasuah ini. Apalagi elemen masyarakat secara luas, khususnya mahasiswa menjadi pendukung utama.
Andaikan buku ini direvisi, Bab IV yang direvisi dan menyesuaikan dengan kondisi kekinian. Jokowi yang tidak lagi menjadi idola dalam pemberantasan korupsi.

Tulis Sejarah Korupsi

Para mahasiswa sejarah, sejarawan, penggiat anti korupsi saatnya menulis sejarah korupsi. Buku ini jadi pemantik. Kalau Peter Carey, Sri Margana menulis sejarah korupsi di Pulau Jawa, kita bisa menulis sejarah korupsi di daerah masing-masing. Bukankah nyaris tidak ada daerah di Indonesia yang kepala daerah, anggota dewannya bersih dari kasus korupsi. Sebagai contoh, tempat penulis berdomisi di Kepulauan Riau. Dua Gubernur Kepri masuk penjara dalam kasus korupsi. Provinsi tetangga, Riau lebih dahsyat lagi. Riau menciptakan hattrick. Tiga gubernur Riau dari Saleh Djasit, Rusli Zainal dan Anas Maamun berturut-turut masuk penjara kasus korupsi. Provinsi lainnya juga tak kalah parah.

Pentingnya menulis sejarah korupsi sangat penting karena ada kecendrungan makin lama praktik korupsi sudah dianggap tidak memalukan lagi. Para pejabat yang tersangkut korupsi masih bisa tersenyum saat diborgol digiring ke mobil tahanan di hadapan para jurnalis. Lebih ironis lagi, mereka yang pernah tersangkut kasus korupsi, malah kembali dipilih dalam pilkada. Contoh nyata di Kabupaten Natuna. Bupati yang menjabat sekarang Hamid Rizal sebelumnya pernah masuk penjara dalam kasus korupsi kemudian maju dan terpilih lagi. Pasangannya, Wakil Bupati Ngesti Yuni Suprapti adalah istri mantan Bupati Natuna, Daeng Rusnadi yang juga terkena kasus korupsi. Aneh bukan pasangan yang beroma kasus korupsi dipilih masyarakat.

Jelang pilkada 2020, sejumlah calon gubernur Kepri yang statusnya mantan napi kasus korupsi sudah siap-siap akan deklarasi. Siapa yang salah, aturankah yang tidak melarang atau pun karakter masyarakat kita yang pemaaf dan toleran terhadap praktik korupsi. Di sinilah peran para sejarawan, penggiat anti korupsi atau siapa saja untuk menyuarakan sikap anti korupsi melalui tulisan. Tulislah sejarah korupsi di daerah masing-masing. Bisa sejak era kolonial atau pun era kontemporer. Ini akan menjadi pengingat dan jadi jejak rekam daerah masing-masing dalam kasus korupsi. **