Said Parman SPN, Pejabat Sang Maestro Makyong

0
965
said parman
Said Parman SPN

Menyebut nama Said Parman (56) dari Kepulauan Riau, kita harus melihatnya dari berbagai segi. Said Parman yang seorang pejabat teras, koreografer, budayawan dan tokoh atau maestro makyong. Ya, Said yang juga dikenal dengan nama panggung Habib Seniman Pemangku Negeri (SPN) kini menjabat Pelaksana Tugas (Plt) Sekda Lingga, kampung halamannya. Namun, minatnya berkesenian dan ikon sebagai maestro makyong tak pernah padam.

——————————————–

Karirnya sebagai PNS terbilang panjang. Berbagai jabatan prestisius sudah dipegangnya, mulai Kadisbudpar Kota Tanjungpinang, Kadis Pariwisata Tanjungpinang, dan Asisten Ekbang Kota Tanjungpinang. Ia mudik ke kampung halamannya, Kabupaten Lingga memegang jabatan Kadis Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Lingga. Bupati Lingga, Alias Wello yang belum lama dilantik mempercayakan Habib SPN sebagai Plt Sekda. Sebelum menjadi pejabat, karirnya di dunia birokrasi cukup panjang usai menamatkan pendidikan SI Komposisi Tari di ISI Jogjakarta.

Banyak kesenian yang disukai dan digeluti Said, namun makyong yang melambungkan namanya. Latar belakang pendidikannya sebagai calon guru SD, serta keterlibatannya dalam semacam program revitalisasi makyong pada 1978/1979, menjadi semacam jalan pembuka. Setelah ikut bermain makyong dan sempat tampil di beberapa tempat, benih kecintaan pada seni tradisi ini pun terus tumbuh.

Makyong sebagai salah saru bentuk seni tradisi Melayu yang masih tersisa di Kepulauan Riau memang menyedot minat dan kepedulian Said. Baginya, makyong adalah semacam roh yang menyimpan jejak dan tapak kemelayuan masa lampau yang masih tetap aktual untuk disimak, digali, dan dimaknai ulang di tengah alam Melayu kini. Sejak bersentuhan dengan makyong, Said remaja sudah terobsesi untuk menceburkan diri di sini.

Bersama sastrawan BM. Syamsuddin (alm), pada awal 1990-an, Said ditunjuk oleh Kepala Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Riau untuk menggali khizanah seni tradisi makyong yang sudah tak lagi terdengar keberadaannya. Untuk itu, selama sekitar tiga bulan dia harus nyantri di rumah Pak Khalid, tokoh makyong yang masih tersisa di Pulau Mantang Arang. Bukan saja untuk menggali cerita dari Pak Khalid tentang makyong berikut ritual dan seni pertunjukannya, tetapi yang lebih penting dari proses nyantrik itu adalah untuk menyerap roh makyong.

Sebagai koreografer lulusan ISI Yogyakarta, pola-pola gerak tari makyong ia sempurnakan, meski tidak mengubah pakem yang sudah ada, Said percaya bahwa makyong sebagai seni tradisi juga memiliki kekenyalan. Topeng makyong diyakini tetap menjadi kekuatan. Tetapi dialog dalam lakon kisah masa lampau yang dihadirkan juga perlu disikapi dengan semangat kekinian. Dalam konteks seni pertunjukan, aspek ritual dan profan acap kali memang jadi kabur. Karena itu, ketika berperan sebagai tokoh Awang Pengasuh dalam setiap pentas makyong yang ia ikuti, Said mengaku bisa leluasa berimprovisasi sekaligus menyerap roh makyong hingga ke dasar. “Kita harus melihat makyong dengan nurani, karena ia percaya kita semua adalah pewaris dan pembuat tradisi,”ujarnya.

Berbeda dengan makyong di Mantang Arang dan Kijang, Said Parman dengan sanggarnya, Konservatori Seni membina makyong dengan pemainnya anak-anak.Semua pemain yang tampil belajar makyong sejak usia belia. Rata-rata sudah dilatih makyong sejak SD.

makyong muda
Pertunjukkan makyong muda di Daik

Tak heran, makyong muda ini usianya panjang. Terus ada regenerasi. Tak hanya pemain atau para pelakon, pemusik yang mengiringi pertunjukkan makyong, rata-rata usianya juga muda. Hanya satu orang yang terbilang tua. Pemain yang tua memainkan alat musik serunai. Selebihnya usia belia. Ada beberapa orang yang masih SD. “Namanya pelestarian budaya, harus diturunkan turun temurun. Kalau yang tampil yang tua dan itu ke itu saja, tamatlah riwayat seni tradisi kita. Kita mencintai seni tradisi. Seperti saya yang menggilai makyong. Selagi saya, istri dan anak saya masih hidup, saya jamin makyong takkan mati. Kita siapkan selalu regenerasi,”ucapnya.**