Tak Ada Warnet, Listrik Sering Padam di Daik

0
293

Kisah Saat Jadi Wartawan di Kabupaten Lingga (Bag.2)

“Bulan pertama bertugas di Lingga, berita hangat saat itu yang jadi perhatian adalah penghitungan suara Pemilu Legislatif (Pileg) 2009. Ada hal menarik saat penghitungan suara yang tensinya cukup panas. Satu kursi diperebutkan Caleg Golkar, Azis Martindas dan Caleg Demokrat, Khairil Anwar. Beberapa kali rapat pleno, dan dihitung ulang, akhirnya kursi Anggota DPRD Lingga diraih Khairil Anwar.”
*******

Awal Juni 2009, saya pun berangkat ke Daik Lingga dari Batam.Pagi-pagi menyeberang ke
Tanjungpinang dari Pelabuhan Punggur. Saat itu belum kapal feri atau pun speedboat yang melayani rute Batam-Lingga. Tak ada pilihan, kalau mau ke Lingga harus melalui Tanjungpinang.

Sampai di Pelabuhan Sri Bintan sekitar pukul 10.00 WIB, saya membeli tiket kapal Lingga Permai tujuan Daik Lingga. Satu kapal lagi yang berangkat ke Lingga tiap hari adalah Kapal Super Jet, tapi tujuan akhirnya hanya Pelabuhan Jagoh dan tak sampai ke Daik Lingga.

Perjalanan dari Tanjungpinang menuju ke Daik Lingga memakan waktu yang cukup lama, sekitar lima jam. Kondisi penumpang yang ramai dan kapal yang sudah tua menyebabkan laju kapal terasa lambat. Saat berbincang dengan salah seorang penumpang kapal, saya mendapatkan informasi kapalnya nanti baru sampai di Pelabuhan Tanjung Buton sekitar pukul 17.30 WIB. Dari pelabuhan ke Daik Lingga memakan waktu sekitar 20 menit naik sepeda motor. Banyak ojek yang mangkal di pelabuhan.

Saat itu kondisi Pelabuhan Tanjung Buton belum seperti sekarang. Belum ada bangunan yang bisa digunakan penumpang, apakah itu ruangan tunggu atau sekedar berteduh saat musim hujan tiba. Di pangkal pelabuhan, jalannya sudah diaspal namun di sana sini banyak lubang. Tak jauh dari sana ada gerbang besar selamat datang di Tanjung Buton. Kondisi catnya yang bewarna kuning pun sudah luntur.

Dari Pelabuhan Tanjungbuton ada sekitar 10 menit, kiri kanan jalan yang ada hutan bakau dan sagu. Tak satu pun rumah dibangun di tanah yang rawa-rawa itu. Saya belum membayangkan bagaimana rupa Kota Daik Lingga, ibukota Kabupaten Lingga itu. Saya sudah sampai di Daik Lingga menjelang Magrib. Rumah yang saya tuju adalah rumah Kadis Pertanian dan Perkebunan Lingga saat itu, DR Deddy Zulfriadi Noor. Kebetulan sebelum bertugas di Pemkab Lingga, beliau lama bekerja di Otorita Batam yang beralih nama jadi Badan Pengusahaan Batam. Banyak kawan-kawan di Batam yang familiar dan akrab dengan beliau.

Pak Deddy, sapaan akrabnya tinggal mengontrak rumah di Kampung Putus, Daik. Ia menyewa rumah tua berukuran besar. Ada tiga kamar di sana. Satu ditempati beliau, satu ditempati pembantunya dan satu lagi diperuntukkan buat saya. Jalan raya di Kampung Putus menuju ke arah ke Kantor Bupati Lingga atau ke arah pasar saat itu belum seperti sekarang. Jalannya masih kecil dan juga aspalnya belum bagus.

Jadinya selama tinggal lima bulan di Daik Lingga, saya menumpang dirumah Pak Deddy Zulfriadi Noor. Mencari berita di Daik Lingga tak sulit. Kendalanya adalah saat itu sejumlah dinas atau instansi Pemkab Lingga berkantor di Dabo Singkep. Sebut saja Disduk Capil, Disnakertrans, Dinas
Kesehatan, dan Inspektorat. Selain itu, kantor Mapolres Lingga, Lanal Dabo Singkep, Kantor Bandara, Kantor Pelabuhan berkantor di Dabo. Tak lama kemudian berdiri Kejari Daik Lingga, kantornya juga di Dabo.

Sebagai pendatang baru, jadi tantangan tersendiri untuk memperoleh berita-berita dari instansi yang berkantor di Dabo Singkep. Apalagi jumlah penduduk terbesar ada di Kecamatan Singkep.Untunglah sejumlah wartawan ada yang tinggal di Dabo Singkep dan berkantor di sana. Harian Sijori Mandiri dan Posmetro Batam, kantor perwakilannya ada di Dabo.

Bulan pertama bertugas di Lingga, berita hangat saat itu yang jadi perhatian adalah penghitungan suara Pemilu Legislatif (Pileg) 2009. Ada hal menarik saat penghitungan suara yang tensinya cukup panas. Satu kursi diperebutkan Caleg Golkar Azis Martindas dan Caleg Demokrat, Khairil Anwar. Beberapa kali rapat pleno, dan dihitung ulang, akhirnya kursi Anggota Lingga diraih Khairil Anwar alias Nuai.

Kendala utama dalam menjalankan tugas jurnalistik di Daik Lingga adalah susahnya mencari tempat mengirim berita. Modem Telkomsel yang sudah saya siapkan dari Batam nyaris tak berfungsi, jaringan internet tak. Kalau pun bisa itu pun lelet. Warung internet (Warnet) belum ada. Satu-satunya tempat yang jadi andalan untuk mengetik adalah di Radio Bunda Tanah Melayu (RBTM) yang berlokasi dengan kantor Bupati Lingga lama.

Kebetulan saat itu RBTM dikelola Bagian Umum Pemkab Lingga. Numpang mengirim berita di sana tak bayar alias gratis. Tinggal membawa laptop sambungkan wireless, jaringan internetnya lumayan cepat. Masalah lain adalah listrik sering byar pett di Daik Lingga. Hampir tiap hari listrik padam. Jadinya saya menulis berita setiap ada kesempatan. Kalau pagi hari listrik tak padam, cepat-cepat ke RBTM untuk mengetik. Sebab kalau menunggu sore hari untuk mengetik, takutnya listrik mati.

Teman-teman penyiar RBTM orangnya enak dan ramah. Ada Murwanto Edemderry, yang dikenal dengan sebutan sang pembelah malam. Mengetik di RBTM juga harus antri, jaringan kabel wireless-nya cuma satu. Ada rekan dari terkininews.com, Kasmadi yang juga sering mengirim berita di sana.

Orang berjualan makan di Daik Lingga saat itu belum ramai. Belum ada ayam penyet atau pun berbagai jenis kedai yang ada macam sekarang ini. Jalan Engku Aman Kelang yang kini begitu ramai oleh ruko-ruko dan banyak orang berjualan, saat itu jalannya masih tanah. Malam hari orang masih takut lewat jalan itu karena kondisinya gelap. Di jalan itu ada Penginapan Musfar yang jadi pilihan bagi tamu yang datang ke Daik Lingga, saat Penginapan Sunling dan Lingga Pesona penuh.

Saat bulan puasa 2009, ujiannya begitu terasa. Betapa susah mencari makan saat sahur.Di arah Kampung Cina, hanya satu kedai yang buka. Itu pun hanya jualan mie rebus, mie goreng dan kopi.Jadinya selama bulan Ramadhan, makan sahurnya banyak makan mie rebus. Ada rumah makan Padang di arah pasar, itu pun bukanya hanya sampai malam.

Kondisi sulitnya jaringan internet di Daik, termasuk juga soal makanan, jadi pertimbangan saya untuk pindah ke Dabo Singkep. Berita lebih banyak di Dabo karena pusat konsentrasi penduduk ada di sana. Mencari rumah kontrakkan juga diyakini lebih mudah. Selain itu pertimbangan lain karena rekan-rekan wartawan sebagian besar juga tinggal di Dabo.

Sekitar lima bulan di Daik, saya pun pindah ke Dabo. Istri pun ikut pindah dan diterima mengajar dengan status guru honorer di SMA 1 Singkep. Sebelum ngekos di Dabo Lama, kami sempat sekitar satu bulan tinggal di Penginapan Gapura. (bersambung)