Tari Satai, dari Pengobat Bola Jadi Penghibur Tamu

0
466

Kabupaten Kerinci, Jambi kaya dengan tradisi. Di Desa Pulau Tengah, Kecamatan Keliling Danau hidup kesenian Tari Satai. Tari Satai ini tetua Desa Pulau Tengah sudah ada di
Pulau Tengah sejak abad ke 18 yang menjadi bagian inti dari ritual tolak bala (balimau). Balimoa atau berlimau merupakan sebuah tradisi turun mandi ke sungai yang bagi
masyarakat dipercaya bisa membuang segala macam penyakit atau membersihkan kampung dari segala penyakit dan mara bahaya. Hingga tahun 90-an, Tari Satai masih dijadikan tari
tolak bala.

Pada awal tahun 2000-an, Tari Satai tidak ditampilkan lagi dalam acara balimoa (berlimau). Penyebab Tari Satai tidak ditampilkan lagi adalah atas pola pikir masyarakat yang
telah berubah dimana keinginan-keinginan yang ingin dicapai harus digapai dengan usaha serta doa. Selain itu kepercayaan masyarakat pendukung seni Tari Satai yang sudah ingin
maju dan berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman.

Sebagai kerinduan kebudayaan dimasa lalu yang oleh masyarakat memiliki nilai seni yang tinggi, maka tergeraklah hati beberapa orang seniman untuk mengangkat kembali tari
Satai. Mereka mencoba mewujudkan kembali melalui pementasan tari Satai sebagai hiburan dalam acara penyambutan tamu agung yang datang ke Desa Pulau Tengah. Dimaksudkan agar

Tari Satai tidak hilang ditelan zaman hanya karena ritual tolak bala yang merupakan latar belakang tari Satai diciptakan sudah tidak ada lagi.
Pada awal tahun 2014, Tari Satai mengalami sedikit perubahan seperti penambahan gerak, penambahan alat musik, penambahan jumlah properti (carano) dan penambahan jumlah
penari.

Tari Satai sampai saat ini masih tetap ada dan diterima di dalam masyarakat Pulau Tengah, Karena masyarakat Pulau Tengah sebagai pendukung tari Satai tetap menjaga dan terus
berusaha agar Tari Satai tetap tumbuh dan hidup di tengah-tengah masyarakat setempat.

Tari Satai ini selalu ditampilkan dalam acara penyembutan tamu agung yang datang ke Pulau Tengah sebagai hiburan bagi tamu yang datang ke Pulau Tengah pada acara-acara
tertentu misalnya dalam acara lomba desa, pelantikan kepala desa, pengangkatan depati ninik mamak, silaturrahmi, halal bihalal, peletakan batu pertama jembatan merah, dan
lomba perpustakaan.

Pada tahun 2000 diangkat kembali menjadi seni pertunjukan dengan mengkreasikannya dan pada awal tahun 2014 tari Satai mengalami sedikit perubahan seperti seperti penambahan  gerak, penambahan alat musik, penambahan jumlah properti (carano) dan penambahan jumlah penari. Hal itu menunjukkan adanya kepedulian seniman dan masyarakat Pulau Tengah terhadap perkembangan tari Satai agar Bisa lebih baik lagi dan senang untuk dilihat.

Setelah berubah fungsi, Tari Satai masih terbina dan digunakan dalam acara penyambutan tamu agung yang datang ke desa Pulau Tengah dalam acara tertentu. Sampai saat ini tari
Satai masih ada dan ditemui di dalam masyarakat Pulau Tengah yang dibina oleh Kepala Desa dan dikelola oleh masyarakat yang dipercayainya.
Meskipun telah berubah fungsi dari ritual ke seni pertunjukan, tari Satai ini masih tetap eksis di dalam masyarakat. Bahkan lebih eksis dibandingkan tari Satai sebagai bagian
inti dari ritual tolak bala yang hanya ditampilkan jika ada ritual tolak bala dilakukan. Pada penampilan terdahulu terkadang hanya 2 tahun sekali dilaksanakan atau bahkan 3
tahun sekali.

Setelah berubah fungsi, setiap tahun nya tari Satai selalu ditampilkan, setidaknya satu kali dalam satu tahun atau kadang bisa sampai 2-3 kali dalam setahun tergantung dengan
adanya acara dan tamu yang akan datang ke Desa Pulau Tengah. Dalam 4 tahun ini pada tahun 2011 hingga tahun 2015 tari Satai sudah 10 kali ditampilkan.
Tari Satai ini sudah bisa dikatakan eksis di dalam masyarakat Pulau Tengah namun untuk pelatihannya yang kurang, karena latihan untuk tari Satai ini hanya dilakukan 2 minggu
sebelum acara saja. **