Kabupaten Batanghari, Jambi memiliki sejumlah tradisi yang unik dan memikat. Sebut saja tradisi Dadung yang berkembang di Kecamatan Pemayung. Selain sebagai media hiburan, Dadung juga digunakan untuk memikat hati perempuan.
Penggiat Budaya Kemdikbud di Batanghari, Sean Popo Hardi menyebutkan, tradisi masih ada di Desa Lubuk Ruso, Kuap, Senaning, Olak Rambahan, Teluk, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari dan sekitarnya. Meskipun masih ada namun telah kehilangan panggung.
“Awalnya Dadung dimainkan tanpa iringan alat musik apapun. Seiring waktu, Dadung diiringi dengan piul (biola) dan gambus serta gendang Melayu,” kata Popo, beberapa waktu lalu.
Kesenian dadung kini, sambung Popo, merinci bentuk pertunjukan, diawali dengan instrumen biola dengan nada panjang, kemudian dijawab dengan instrumen suling. Kedua jenis instrumen ini dimainkan dalam birama bebas atau biasa disebut rubato.
Keduanya, lanjut dia, saling bergantian sahut menyahut dengan improvisasi berdasarkan interpretasi terhadap tema pokok yang terdapat pada musik dadung. Pada bagian lain, gendang panjang dan gendang Melayu memberikan kode tiga pukulan yang menandakan akan masuk pada hitungan birama.
Setelah kelintang kayu memainkan nadanya barulah vokal terdengar yang diikuti oleh biola. Melodi lebih didominasi oleh biola dengan nada-nada yang panjang. Vokal masuk pada hitungan pertama kemudian pada hitungan kedua biola mengikuti irama vokal. “Musiknya terdengar sangat romantis,” kata Popo, pria lulusan Universitas Indonesia ini.
Alat-alat musik yang dalam tradisi dadung, diantaranya, biola, suling, kelintang kayu, gendang panjang, gendang melayu, gong dan beduk.
Namun, pada saat tanpa iringan musik, pedadung hanya mengandalkan olah suara tanpa alat pengeras. Keindahan dadung ditentukan dengan teknik dan keindahan suara seorang pedadung.
Biasanya pedadung yang mahir, sambung Popo, akan menjadi terkenal dan disukai gadis-gadis kala itu. Maka tidak heran pada saat itu banyak anak muda yang menggemari kesenian Dadung ini untuk menarik hati gadis yang diincarnya.
Dadung biasanya dimainkan dari pukul sebelas malam hingga menjelang waktu subuh dengan memainkan beberapa langgam yang ada. Langgam Dadung yang dipertunjukan yakni Dadung Mambang, Dadung Dendang Sayang Rantau Peti, Dadung Ketimang Banjar dan Semawo.
Dadung merupakan ungkapan hati dari pemuda-pemudi kepada seseorang disukainya dengan cara melantunkan syair yang berbentuk seperti pantun. Biasanya, kata dia, Dadung dimainkan pada saat malam pengantin. Dadung digunakan sebagai hiburan para gadis yang sedang memarut buah kelapa dan menghibur ibu-ibu yang sedang memasak. Saat ini keberadaan Dadung sudah jarang lagi dipentaskan. Hal tersebut karena eksistensi Dadung saat ini sudah mulai tenggelam.
Keberadaan Dadung saat ini sudah sulit ditemui. Pedadung yang ada saat ini sudah berusia lebih dari 70 tahun. Artinya, Dadung sudah diambang kepunahan. Untunglah saat ini Datuk Azis bersama Sanggar Seninya giat melakukan revitalisasi kesenian Dadung. Menurutnya sekarang anak-anak muda tidak lagi menyukai kesenian tradisi seperti ini. Mereka malah senang dengan organ tunggal, padahal sama saja, organ tunggal lagu-lagu cinta.
Inti dari dadung adalah pantun yakni berupa pantun, yang mempunyai satu tema tunggal dan satu tema pokok.Pantun dinyanyikan tersebut hanya terdiri dari 8 birama dan dapat berdiri sendiri. Artinya telah mengandung unsur kalimat tanya (antecedent) dan kalimat jawaban.
Sedangkan syair pantunnya sebagi berikut:
Kainlah putih panjang semilan
Dibuat budak pungikat tanggo
Biaklah putih lalang digenggam
Namunlah idak berubah kato
Pulaulah pandan jauh di tengah
Dibalik pulau angsolah duo
Ancurlah badan dikandung tanah
Budilah baik dikenang jugo.
Asal Usul Tradisi Dadung
Secara harfiah, dadung diartikan berbalas pantun. Dadung sudah ada sejak kira-kira 300 tahun yang lalu, pada masa kerajaan Danau Bangko, anak sungai Batanghari di Lubuk Ruso. Pada zaman tersebut putri Raja Danau Bangko ditunangkan dengan seorang anak Raja di Hilir Jambi. Selesai akad nikah, kedua mempelai masih amat canggung karena belum saling mengenal, sehingga tidak betah duduk bersanding di pelaminan.
Para orang tua mereka melihat keadaan tersebut merasa malu, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Akhirnya saat perasaan tidak menentu, sang Putri menuangkan isi hatinya dalam suatu pantun dengan cara berdadung. Mempelai putra ternyata tidak tinggal diam dan membalas pantun sang putri dengan cara yang sama. Pada akhirnya terjadilah satu dialog dengan cara berbalas pantun.
Namun berdasarkan penuturan para orang tua dari Desa Lubuk Ruso, bahwa dadung adalah nama seseorang rakyat biasa yang jatuh hati dengan seorang Putri Raja, dan berkeinginan menjadi pendampingnya. Oleh karena Dadung dari kalangan rakyat biasa, maka si putri tidak mau menerima keinginan Dadung. Dengan rasa kecewa mendalam, Dadung melantunkan isi hatinya melalui alunan syair-syair yang sangat menyentuh.
Dari alunan syair-syair yang didendangkan terus oleh Dadung. Akhirnya si Putri tersentuh dan luluh hatinya. Singkat cerita kemudian si Putri menerima pinangan dari dadung. Dadung akhirnya berkembang sebagai sebuah kesenian yang digemari masyarakat Jambi sepanjang sungai Batanghari. Di dusun Karameo seni Dadung ini disebut senjang, di daerah Tanjung Kecamatan Kumpeh disebut Senandung Jolo yang menggunakan iringan gendang dan kelintang kayu. **