Sejumlah daerah di Provinsi Riau memiliki keunikan dalam seni bela diri pencak silat. Ada Silat Pangian, ada pula Silat Rokan. Kabupaten Kampar memiliki Silat Perisai yang sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia tahun 2017 lalu.
Salah satu kelompok yang terus mempertahankan warisan budaya ini adalah Komunitas Seni Pencak Silat Perisai di Desa Pulau Empat, Kuok, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Guru atau Maestro Silat Perisai Kampar ini bernama Yusheri di Desa Pulau Empat dan Sudirman Agus di Bangkinang.
Silat Perisai adalah sebuah seni pertunjukan dari seni pencak. Sekarang dapat dimainkan oleh sepasang atau beberapa pasang pemuda dan pemudi sebagai pertunjukan seni tradisional guna menyambut kedatangan tamu pejabat daerah pada sebuah upacara. Kelompok Silat Perisai ini tampil dengan diiringi musik Calempong Oguong yang dimainkan oleh lima orang. Busana pesilat berwarna hitam berikat kepala dengan properti sebilah pedang dan sebuah perisai. Pedang dan perisai terbuat dari kayu.
Keberadaan Silat Perisai dimulai pada masa Wilayah Negeri Kampar dulunya sebelum kemerdekaan RI pernah mempunyai sistem pemerintahan Andiko dimana yang berkuasa adalah Pucuk Adat yang disebut Ninik Mamak. Ninik Mamak menaungi masyarakat yang disebut anak Kemenakan dan Urang Sumondo. Setiap kelompok masyarakat yang terdiri dari Anak Kemenakan dan Urang Sumondo disebut pasukuan. Setiap pasukuan memiliki dubalang/pendekar Silat Perisai. Pada masa itu yang berlaku hukum adat. Bila terjadi silang sengketa antara pasukuan misalnya tentang wilayah hutan tanah, menurut hukum adat diputuskan untuk menentukan siapa yang berhak mengadu dua orang dubalang/pendekar dari dua suku yang bersengketa itu di gelanggang silat.
Masing-masing dubalang memakai busana teluk belanga lengan pendek, kain sesamping dan ikat kepala, bersenjata sebilah pedang si tangan kanan dan sebuah perisai di tangan kiri. Dengan diberi aba-aba oleh dubalang pucuk adat pertarungan dimulai. Bila salah seorang dubalang itu sudah terdesak dan tak mampu lagi bertahan sehingga meungkin akan terluka/terbunuh, isteri dubalang dimaksud akan masuk ke gelanggang (sebagai wasit) segera menghentikan pertarungan itu dengan sebuah isyarat yang menyatakan pada hadirin bahwa pendekar (suaminya) telah mengaku kalah. Dengan itu Pucuk Lembaga Adat akan mengumumkan pasukan yang menang.
Selain untuk mempertahankan warisan budaya para leluhur, pesilat Perisai diajarkan dalam penggunaan senjata pedang dengan harapan mampu memahami karakteristik dari senjata pedang sehingga akan mengerti bagaimana cara menghadapi lawan yang menggunakan senjata-senjata tajam sejenis atau dengan senjata lainnya.
Seni Silat Perisai memiliki banyak manfaat bagi para pelakunya. Diantaranya mampu menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh karena juga seperti olahraga pada umumnya. Selain itu juga bisa meningkatkan rasa percaya diri dalam bergaul, memberikan nilai pelatihan terhadap ketahanan mental seseorang. Yang paling penting, seperti pencak silat pada umumnya, jenis Silat Perisai juga memberikan pengembangan kewaspadaan yang tinggi bagi siapa saja, sebab peluang kejahatan bisa terjadi dimana-mana. Waspada selalu dibutuhkan untuk menjaga keselamatan.
Ada juga nilai pembinaan terhadap sportifitas dan jiwa pendekar. Membela kebaikan dan kebenaran merupakan tugas seorang pendekar. Selain itu semua, olahraga pencak silat perisai juga mampu menanamkan nilai kedisiplinan dan keuletan bagi para pemain. Disiplin yang lebih tinggi bukan hanya pada saat latihan atau bermain saja, namun juga perlu tertanam dalam setiap aspek kehidupan. Melatih diri agar lebih ulet dalam segala hal, termasuk mungkin saat berlatih yang cukup sulit dan membutuhkan ketekunan.
Sumber: Sudirman Agus, Antropologi Budaya Kampar. Program Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah, Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Seni Budaya, Kabupaten Kampar, Riau, 2006.