BPCB Sumbar Gali Potensi Kesejarahan dan Arkeologi Pulau Basing

0
200

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat dengan wilayah kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau melaksanakan Kajian Pelindungan terkait potensi situs Cagar Budaya  di Pulau Basing, Tanjungpinang, Kepri. Tim BPCB Sumatera Barat bersama tim ahli, telah melakukan survei lapangan dan pengumpulan data referensi 15-19 Mei kemarin.

Situs sejarah yang ada di Pulau Basing

Agoes Tri Mulyono selaku Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Sumatera Barat menekankan, dalam kajian Cagar Budaya perlu menemukan nilai penting apa saja yang terdapat pada Pulau Basing, baik itu signifikasi kesejarahan, arkeologis, arsitektur dan tekonologi konstruksi, kebudayaan, hingga ekonomi.

“Potensi Cagar Budaya yang terdapat di Pulau Basing memungkinkan menjadikannya sebagai destinasi wisata budaya. Tinggal pengembangan apa yang dapat diselaraskan, dengan tetap melestarikan tinggalan budaya. Untuk itu zoning mesti dilakukan, sehingga luasan masing-masing zona terukur,” kata Tri dalam rilisnya, Sabtu (19/5) kemarin .

Pulau Basing memiliki potensi sejarah dan tinggalan arkeologis terkait dengan peninggalan Kerajaan Riau pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada sisi Timur Laut Pulau Basing ditemukan talud kuno, struktur penahan tanah, pondasi bangunan, sisa komponen pembentuk struktur bangunan, serta sisa artefaktual berupa pecahan keramik, gerabah serta serpihan-serpihan peninggalan artifisial lain. Selain potensi historis-arkeologis, keindahan alam pulau ini memiliki prospek untuk dikembangkan dan dimanfaatkan terutama berkaitan dengan aktivitas pariwisata. Namun sebelum dilakukan langkah lebih lanjut tersebut, langkah awal dalam pelestarian pada sebaran potensi Cagar Budaya di Pulau Basing yang perlu dilakukan adalah pelindungan.

Kajian Pelindungan ini bertujuan untuk menentukan keluasan delineasi dan zonasi keruangan Pulau Basing yang sesuai dengan paradigma pelestarian Cagar Budaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu zona inti, penyangga, pengembangan dan atau penunjang yang diwujudkan dalam bentuk peta dan naskah kajian. Nantinya akan disusun rencana pelestarian dan batasan-batasan perlakuan pada masing-masing zona dalam bentuk pelindungan (pendaftaran, penetapan, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran) yang berkelanjutan, disesuaikan dengan kaidah-kaidah pelestarian Cagar Budaya secara akademis agar dapat menjadikan acuan teknis bagi seluruh pemangku kepentingan di Situs Cagar Budaya tersebut dalam melakukan pelestarian.

Koordinator Kelompok Kerja Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB Sumatera Barat sekaligus Ketua Tim Kajian Pelindungan kali ini, Yusfa Hendra Bahar, menjelaskan, kajian Pelindungan ini menjadi pertanggungjawaban ilmiah terkait pelaksanaan pelindungan Pulau Basing kedepannya. Potensi yang diidentifikasi tentu memberikan peluang dalam hal pengembangan dan pemanfaatannya, tidak dapat diabaikan serta terbuka pula kesempatan bagi berbagai pihak untuk terlibat. Namun demikian, potensi besar bagi pengembangan dan pemanfaatannya tergantung pada kemampuan Cagar Budaya untuk tetap bertahan dan lestari.

Kegiatan Kajian Pelindungan ini juga menerapkan metoda test pit excavation sebagai pembuktian arkeologis. Ahli Arkeologi, Lukas Partanda Koestoro, yang turut terlibat dalam kegiatan ini dalam paparannya mengatakan pentingnya Kajian Pelindungan pada objek-objek Cagar Budaya lainnya di Indonesia. Khususnya potensi Cagar Budaya yang terdapat di Pulau Basing, ia menilai berpotensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kepentingan peningkatan ekonomi masyarakat setempat.“Setiap upaya pelestarian pada situs cagar budaya tentunya harus memenuhi kaidah akademis, antara lain melalui kajian arkeologis yang metodologis dan sistematis,” kata Lukas **