Bebantai dalam Bahasa Indonesia artinya membantai. Awalan be menunjukkan kegiatan itu dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat Merangin, Provinsi Jambi. Bebantai adalah kegiatan memotong kerbau atau sapi dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Hampir seluruh desa yang ada di Kabupaten Merangin melaksanakan tradisi Bebantai ini. (Alhusni, 2014:44).
Alhusni menyebut tujuan Bebantai selain melestarikan tradisi dan melaksanakan perintah agama, adalah untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat. Bebantai juga bisa menurunkan harga daging di pasaran. Walaupun setiap masyarakat tidaklah sama, karena tidak semua orang menyukai daging. Namun dalam kegiatan bebantai hampir semua masyarakat –suka dan tidak suka daging ikut serta di dalam kegiatan bebantai.
Di bagian selatan Merangin, kegiatan Bebantai difokuskan pada satu tempat dengan jumlah hewan yang dipotong cukup banyak. Seperti di wilayah Sungai Manau, Pangkalan Jambu dan Tabir. Aktivitas Bebantai terlihat ramai dikunjungi warga. Inti dari tradisi Bebantai adalah semangat gotong royong. Pasalnya, ada beragam sistem Bebantai, diantaranya dilaksanakan lembaga keagamaan seperti pengurus Masjid, kemudian perkumpulan masyarakat. Bebantai juga bisa dilakukan oleh individu.
Tradisi ini pada umumnya direncanakan secara baik sejak awal tahun. Setelah kegiatan Bebantai, maka akan ada kegiatan bersama-sama sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dalam menyambut bulan Ramadan. Biasanya makan bersama diikuti dengan kegiatan keagamaan, seperti tradisi beduo, makan besamo dan istighosah.
Sejarah
Zaman dahulu, nama Kecamatan Pangkalan Jambu adalah Renah Sungai Kunyit. Disebut demikian karena waktu ditemukan oleh Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Rajo terdapat banyak bijih emas. Saat Negeri Pangkalan Jambu masih ditutup hutan lebat, termasuk wilayah kekuasaan Depati Muara Langkap yang berkedudukan di Tamiai (Kerinci).
Untuk meramaikan Renah Sungai Kunyit, kedua datuk membuat gelanggang tempat menyabung ayam. Gelanggang semakin ramai. Untuk mencari modal menyabung, orang-orang yang datang dari berbagai penjuru negeri, menambang emas dan bertani. Pendatang baru banyak yang datang dan menetap. Mereka membuat rumah dan sawah.
Dengan ramainya pendatang, yang memiliki perbedaan adat-istiadat. Maka dibutuhkan undang-undang yang mengatur masyarakat Renah Sungai Kunyit. Untuk menemukan undang-undang yang cocok, maka Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Marajo bersama utusan Depati Muara Langkap melakukan sidang.
Maka diputuskan undang-undang adat Negeri Pangkalan Jambu adalah kombinasi dari undang-undang yang turun dari Minangkabau dan teliti yang mudik (datang) dari Jambi. Inti dari aturan adalah wajah nan tigo, pembetulan nan duo. Untuk wajah nan tigo yaitu. Buek yang berarti keputusan- keputusan yang disahkan bersama, lalu pakai adalah kewajiban untuk mematuhi dan menjalankan aturan dan ketiga peseko yaitu setiap yang telah menjadi keputusan wajib dipatuhi dan dijalankan sampai turun temurun. Kemudian pembetulan nan duo adalah, perbetulan Syarak dan perbetulan Adat.
Untuk mengekalkan aturan tersebut, Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Rajo mengundang semua tokoh yakni Depati Muaro Langkap di Tamiai, Depati Rencong Telang di Pulau Sangka, Depati Atur Bumi di Hiang, Depati Biang Sari di Pangasi, Depati Setio Nyato di Tanah renah, Depati Setio Rajo di Lubuk Gaung dan Depati Setio Beti (Bakti) di Nalo Tantan. Selain itu juga diundang negeri Luhak XVI Ma. Siau/Pamuncak Koto Tapus – Serampas, Siangit Sungai Tabir, Limun Batang Asai dan Daerah Uluan Palembang.
Peresmian hukum adat ini dipilih hari baik, yakni akhir bulan Sakban di Pondok Pekan Puaso. Dalam jamuan besar itu, Datuk Putih dan Datuk Mangkuto Rajo memotong kerbau sebanyak 48 ekor. Setelah kegiatan peresmian adat kala itu, sampai sekarang masyarakat yang turut hadir dalam perhelatan tersebut melaksanakan tradisi bebantai, sepekan sebelum memasuki bulan suci Ramadhan. Hingga sekarang daerah seperti Kecamatan Pangkalan Jambu, Sungai Manau, Batangasai dan Rantau Panjang masih melaksanakan tradisi Bebantai.
Tradisi Bebantai di Singingi
Tak hanya di Merangin,Jambi, tradisi Bebantai juga ada di Desa Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau. Mereka menggelar acara yang disebut Bebantai, yakni memotong kerbau yang dibeli dari hasil iuran masyarakat setempat. Dagingnya kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Tak peduli kaya atau miskin, warga berpangkat atau rakyat biasa, semuanya mendapat bagian potongan daging kerbau yang sama rata. Tak dilebihkan untuk yang berpunya. Tak pula dikurangi bagi yang jelata.
Tradisi turun-temurun itu masih dipegang teguh sebagai bentuk sukacita menyambut Ramadan. Ada nilai gotong royong, kebersamaan, dan saling berbagi dalam tradisi itu. Biasanya musyawarah untuk tradisi Bebantai sudah dimulai sejak Lebaran hari ketiga tahun lalu. Sejak saat itulah masyarakat yang ingin ikut Bebantai bisa mulai mencicil urunan. Dibayarkan kepada masing-masing kelompok persukuan.
Setidaknya ada lima suku yang berhimpun di Pangkalan Indarung, yakni Kampai, Piliang, Patopang, Chaniago, dan Melayu. Dari lima suku itu, Kampai dituakan karena adat, sementara Piliang didahulukan karena ibadat. Pelaksana tradisi Bebantai ialah dubalang atau polisi adat dari lima suku itu. Merekalah yang bertanggung jawab menghimpun dana, mencari kerbau, dan melaksanakan pemotongan. Karena peran yang cukup besar, para dubalang pun diganjar dengan ‘bayaran’ setimpal. Mereka mendapat kepala, tulang, dan jeroan kerbau yang dipotong. (***).
Sumber:
Alhusni, Tradisi Bebantai Menyambut Bulan Suci Ramadhan dalam Masyarakat Merangin Jambi. Jurnal Kontekstualita, Vol.29 No.1 2014
mediaindonesia.com, 7 Juni 2016
jambipro.com, 17 Mei 2018