Oleh:
Sita Rohana (Peneliti Madya BPNB Kepri)
Tradisi Togak Tonggol merupakan tradisi penting dalam pebatinan Petalangan kurang oso tigo puluah. Keberadaannya merepresentasikan kehidupan dan keberadaan orang Petalangan dengan sistem adat yang dipertahankan sebagai pedoman kehidupan sehari-hari. Hal ini selaras dengan dinamika kebudayaan, betapa pun nilai-nilai asas perlu dipertahankan namun aplikasinya harus menyesuaikan kondisi lingkungan yang terus berubah. Tradisi Togak Tonggol yang ada sekarang dalam banyak hal sudah berubah dengan yang dilakukan di masa lalu karena penyesuaiannya dengan tuntutan kehidupan di masa kini. Namun, sebagai bagian dari adat yang masih dilestarikan hingga kini, nilai-nilai asasnya masih dipertahankan untuk diajarkan dan diwariskan kepada generasi muda.
Dijadikannya tradisi Togak Tonggol sebagai agenda rutin dukungan pemerintah daerah tidak hanya bermakna generasi orang Petalangan dapat terus melestarikan adatnya, namun masyarakat umum juga mengetahui dan dapat memahami nilai-nilai asas yang menjadi dasar tradisi ini, untuk kemudian diharapkan dapat menghargai dan turut melestarikannya.
Pengantar
Tonggol adalah sebutan untuk alat kebesaran adat di Langgam, di wilayah Petalangan yang berada di bawah naungan Datuk Rajo Bilang Bungsu yang sekarang dijabat oleh Bapak Abdul Wahid. Bentuknya seperti bendera dengan warna-warna tertentu. Bentuk tonggol di masa lalu dapat dilihat dari tonggol di bawah ini.
Tonggol dimiliki oleh perangkat adat yaitu batin, penghulu, dan ketiapan (pembantu batin). Masing-masing memiliki tonggol dengan warna-warna khas yang membedakan satu dengan lainnya. Tonggol diwariskan secara turun temurun dan menjadi alat kebesaran. Setiap tonggol disimpan di rumah suku dari pejabat adat yang menjabat atau disebut dengan rumah soko. Tonggol adalah milik suku, setiap tonggol mewakili suku.
Togak tonggol bermakna menegakkan tonggol kebesaran dalam sebuah upacara adat. Tonggol adalah juga marwah suku yang tidak boleh diperlakukan sembarangan atau ditegakkan setiap saat tanpa sebuah upacara adat dan atas persetujuan suku. Tegaknya tonggol juga menjadi penanda bahwa anak-kemenakan yang berada dalam lindungan pemuka adat berada dalam hubungan yang harmonis. Karena apabila hubungan antara pemuka adat dan anak-kemenakan tidak harmonis untuk mengeluarkan tonggok akan sulit untuk mengeluarkan tonggol dari rumah soko. Apabila batin, penghulu atau ketiapan tidak dapat berdiri dengan tonggolnya, maknanya ia sebagai pemimpin suku tidak dapat melindungi anak-kemenakan. Oleh karena itu tradisi togak tonggol dikatakan sebagai tegaknya marwah, karena di sinilah pemimpin suku dan pemuka adat memperlihatkan dukungan dan kebersamaan dari anak-kemenakan yang dinaunginya. Selain itu, tradisi ini juga menjadi ajang silaturahmu antara pemangku adat, anak-kemenakan, dan masyarakat.
Warna-warna pada tonggol memiliki makna-makna sebagai berikut:
a. Hitam melambangkan adat
b. Putih melambangkan alim ulama
c. Kuning melambangkan raja
d. Merah melambangkan hulubalang
e. Hijau melambangkan rakyat.
Penggunaan warna dan bentul tonggol di tentukan oleh masing-masing suku, batin dan ketiapan. Kemudian dalam pemasangan tonggol, perlu juga memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tiang tonggol adalah kayu panjang dan memakai tiang penyangga.
b. Dalam satu tiang hanya boleh satu tonggol saja yang di boleh dinaikkan.
c. Pada saat menaikkannya tiang tonggol tidak boleh tegak lurus tapi harus condong mengarah pada tempat duduk para petinggi adat. Ini bermakna bahwa tanda kebesaran harus tunduk pada para petinggi adat. Sedangkan tonggol hulubalang terletak di pintu masuk tempat prosesi acara dan condong mengarah keluar yang bermakna selain dari tunduk juga menyambut kedatangan para petinggi adat.
d. Tonggol hanya bisa dinaikkan pada acara adat sesuai dengan aturan adat.
Pada zaman dahulu tonggol dan panji tidak boleh ditegakkan bersamaan pada satu acara. Konon katanya apabila itu terjadi, maka akan datang badai pada saat prosesi acara. Agar hal itu tidak terjadi suku-suku yang ingin menaikkan panji harus membayar pada setiap petinggi adat yang memiliki tonggol dengan seekor kambing.
Sejarah Togak Tonggol
Tradisi togak tonggol hanya ada di Kecamatan Langgam dibawah Perbatinan Datuk Rajo Bilang Bungsu. Menurut Abdul Wahid Datuk Rajo Bilang Bungsu, tradisi togak tonggol sudah ada sejak lama. Ia dapat cerita dari kakeknya, tradisi ini saat kakeknya masih hidup sudah ada. Awalnya dilaksanakan di tingkat kampung, khususnya daerah Tambak yang masuk dalam wilayah Kecamatan Langgam.
Pada awalnya upacara Togak Tonggol hanya dilaksanakan pada acara tertentu saja seperti ketika pesta pernikahan anak datuk, selain itu juga boleh dilaksanakan dalam ivent lain oleh masyarakat biasa dengan syarat harus memenuhi syarat-syarat pelaksanaan upacara tersebut. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan upacara togak tonggol tersebut dapat dipahami dari pepatah adat berikut ini “apobilo kebesaran itu nak naik, balai talintang, agung totangkuik, kambing tabebek, silat tari dimainkan” dari pepatah di atas dapat disimpulkan bahwa syarat untuk melakukan tradisi Togak Tonggol tersebut yaitu:
1. Menyediakan balai atau tempat acara gondang ogung;
2. Menyediakan seekor kambing;
3. Pencak silat .
Ketiga hal di atas merupakan hal yang pokok yang mesti dilakukan dan dipenuhi ketika acara togak tonggol dilaksanakan, jika tidak dipenuhi, maka menurut orang tua-tua akan mengundang bencana yang akan menimpa masyarakat setempat. Namun dampak lain yang muncul di tengah masyakat adalah kurangnya minat masyarakat untuk melangsungkan acara tersebut, hal ini mengingat begitu besarnya biaya pelaksanaan tradisi tonggal tonggol tersebut. Pada tahun 1996 ketika kedudukan camat Langgam dijabat Tengku Khalil Jaafar, beliau mendorong agar togak tonggol diselenggarakan secara bersama-sama, setahun sekali, bertepatan dengan Balimau Potang Mogang, khusunya di lingkup Kecamatan Langgam atau wilayah adat di bawah Datuk Rajo Bilang Bungsu. Sejak itulah, tradisi togak tonggol dilaksanakan sekali setahun dengan melibatkan seluruh suku di kecamatan Langgam.
Pada kali pertama togak tonggol diselenggarakan secara bersama-sama pada tahun 1996 tersebut, jumlah tonggol atau bendera kebesaran suku yang berpartisipasi tidak banyak, hanya sekitar 36 tonggol. Apabila semula togak tonggol dilaksanakan secara swadaya, kemudian mendapat bantuan dari kecamatan dan kemudian pemerintah kabupaten setelah menjadi agenda kebudayaan Kabupaten Pelalawan.
Rangkaian Prosesi
Tradisi Togak Tonggol dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan bersamaan dengan Balimau Potang Mogang, perayaan menyambut datangnya Ramadhan. Pada umumnya, sehari menjelang Ramadhan. Pada tahun 2017, Balimau Potang Mogang dilaksanakan pada tanggal 24 Mei. Dengan demikian Togak Tonggol pun mengikuti jadwal ini. Namun, persiapan untuk prosesinya sudah dimulai jauh sebelumnya. Dimulai dari pemberitahuan pada tokoh-tokoh adat, sehingga masing-masing dapat mempersiapkan diri. Prosesi Togak Tonggol melibatkan banyak anak-kemenakan karena diarak dari Balai Adat hingga ke lokasi. Pada umumnya tiap batin dan ketiapan mempersiapkan sarana transportasi untuk membawa anak-kemenakan yang turut serta dalam prosesi.
Beberapa bulan sebelumnya, dibentuk kepanitiaan yang akan melakukan persiapan, meliputi pemberitahuan pada tokoh-tokoh adat dan mencari dana untuk penyelenggaraannya.
Denah Tonggol
Apabila akan melangsungkan upacara togak tonggol, tonggol dijemput dulu. Jadi, walaupun batin menjadi pimpinan adat tertinggi dalam satu suku, ia tidak dapat menyimpan atau menguasai tonggolnya. Apabila batin ingin mengambil tonggol, ia harus meminta izin dulu. Seringkali terjadi pebatinan tertentu tidak dapat menurunkan tonggol karena hubungan yang kurang baik antara batin dan rumah soko atau dengan anak-kemenakan.
Togak Tonggol 23 Mei 2017
23 Mei 2017
Pertemuan adat yang dikemas dalam bentuk Seminar Adat mengenai Hukum Adat. Seminar ini diikuti oleh tokoh-tokoh adat Petalangan dan perwakilan dari Lembaga Adat Kabupaten Pelalawan dan Provinsi Riau.
24 Mei 2017
Persiapan Togak Tonggol di lapukan sejak pagi. Pertama yaitu menjembut tonggol di rumah soko.
Tonggol di simpan di rumah soko. Menjelang prosesi Togak Tonggal, tonggol tersebut dijemput oleh Urang Sumondo untuk dibawa ke Siompu. Kemudian untuk membawa ke tempat acara, yaitu dua orang perempuan Tuo Sanak Padusi, seorang memegang tonggol, seorang lagi memayungi. Dua orang lelaki Urang Sumondo. Dan seorang lelaki Tuo Anak Jantan.
Pada tahun 1986, togak tonggol dilaksanakan secara besar-besaran. Namun, dari 29 pebatinan, hanya ada sekitar 60 tonggol batin dan ketiapan yang naik.
Dalam hal ini Datuk Rajo sebagai pucuk suku harus menaikkan tonggolnya. Apabila Datuk Rajo tidak menaikkan tonggol, maka tonggol-tonggol yang lain tidak dapat naik. Batin yang tidak menaikkan tonggol dianggap tidak mampu menyelesaikan masalah adat di pebatinan wilayahnya.
Tonggol di simpan di rumah soko. Menjelang prosesi Togak Tonggal, tonggol tersebut dijemput oleh Urang Sumondo untuk dibawa ke Siompu. Kemudian untuk membawa ke tempat acara, yaitu dua orang perempuan Tuo Sanak Padusi, seorang memegang tonggol, seorang lagi memayungi. Dua orang lelaki Urang Sumondo. Dan seorang lelaki Tuo Anak Jantan.
Proses upacara Tegak Tonggol melalui beberapa rangkain dimulai dengan berkumpulknya para datuk dan penyelenggaran acara serta tanda kebesaran di balai adat. Jumlah para datuk dan kebesaran adalah tujuh puluh delapan kebesaran. Masing-masing kebesaran diwakili oleh lima orang diantaranya:
– Satu orang soko padusi (anak perempuan) yang bertugas untuk menghidangkan makanan.
– Satu orang anak padusi tuo (anak perempuan yang menjadi istri dari sumando yang paling tua dalam satu persukuan) pembawa Tonggol Kebesaran.
– Dua orang sumando (laki-laki saudara dari istri pada satu persukuan) yang bertugas menaikkan tonggol kebesaran.
– Satu orang ninik mamak.
Jumlah para pemangku adat yang hadir pada saat itu kurang lebih empat ratus tiga puluh lima orang dan di tambah dengan anak kemenakan serta masyarakat setempat. Tujuan utama berkumpulnya para pemangku adat ini adalah untuk mempersiapkan semua kebutuhan acara. Pakaian yang di pakai oleh para pembesar adat adalah baju adat melayu berwarna hitam, memakai tutup kepala yang di beri nama Tanjak dan memakai songket yang dalamnya kurang lebih 10 cm di bawah lutut. Untuk mamak pada lengan bajunya diberi variasi les kuning melingkar satu buah, untuk batin diberi les variasi kuning melingkar sebanyak dua buah pada lengannya dan untuk datuk diberi variasi les kuning melingkar di lenggannya sebanyak dua buah dan pada kerah bajunya juga di beri les kuning melingkar sebanyak satu buah.
Setelah syarat untuk prosesi acara sudah lengkap maka dilanjutkan dengan arak-arak menuju tempat acara yaitu di Balai Anjungan Tepian Ranah Tanjung Bunga.
Untuk lebih jelas tentang proses upacara Togak tonggol tersebut, maka akan dijelaskan secara detail di bawah ini sesuai dengan tahapan-tahapan proses upacara tersebut.
Arak-arak dalam bahasa Melayu dialeg Langgam sama saja makna dengan iring-iringan dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arak-arak diartikan berjalan bersama-sama dengan beriring-iring atau berjalan (bergerak) beriring-iring dengan santun dan tidak berlari-lari. Arak-arak di sini juga memiliki makna yang sama dengan apa yang didefenisikan di atas yaitu berjalan kaki beriring-iringan.
Saat berarak-arak tersebut setiap suku membawa plang nama suku dan gelar datuk di suku tersebut sebagai bentuk jati diri dari setiap suku-suku. Adapun petugas yang membawa plang nama dari setiap suku tersebut adalah para anak cucu kemenakan yang perempuan.
Di belakangnya di ikuti oleh rombongan sanak perempuan yang membawa atau menggendong Tombol kebesaran.
Pada gambar terlihat tttonggol dibalut dengan tikar anyaman dan digendong memakai kain panjang yang bermakna bahwa tonggol harus di jaga dan dipelihara seperti anak.
Kemudian dibelakangnya di ikuti oleh rombongan para pemuka adat dan para pejabat pemerintahan serta para tamu dan masyarakat
Jarak antara balaai adat dengan tempat acara inti dengan melakukan jalan kaki bersama atau arak-arak berkisar 3 km. Meskipun begitu jauh tempat yang harus ditempuh, letih dan terik matahari tidak membuat mereka hilang semangat demi menjunjung tinggi tradisi dan budaya yang di wariskan oleh para leluhur. Begitu juga halnya masyarakat pengiring yang tidak mau ketinggalan berantusias dalam berarak-arak tersebut.
Setelah rombongan iring dalam acara berarak tersebut sampai di tempat acara inti, maka rombongan tersebut akan disambut dengan pencat silat. Para pendekar yang ditunjuk oleh pemuka adat mempertontonkan kebolehan mereka dalam bersilat, para pendekar tersebut biasanya beraksi secara berpasangan. Silat yang dipertontonkan oleh para pendekar tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap rombongan yang hadir di Balai Anjungan.
Selain pencak silat ada juga tari-tarian yang dipersembahkan oleh untuk menyambut tamu, tari-tarian tersebut dilakonkan oleh anak cucu dan kemenakan yang perempuan. Silat dan tari merupakan syarat wajib untuk melangsungkan acara Togak Tonggol, jika hal tersebut tidak dibuat maka acara Togak Tonggol kurang afdol. Begitulah petuah yang disampaikan oleh para nenek moyang terdahulu yang dipegang secara turun temurun hingga saat sekarang ini, meskipun secara lisan pesan tersebut disampaikan, akan tetapi masyarakat Langgam tetap meyakini pesan tersebut dalam hal ritual Togak Tonggol, bahkan pemuka adat seperti datuk akan memeriksa terlebih dahulu kelengkapan syarat sebelum melaksanakan acara Togak Tonggol tersebut.
Setelah silat dan tari dipertujukkan kepada tamu aatau rombongan, maka tamu rombongan dipersilakan untuk duduk dan bersiap untuk mengikuti acara inti dari tradisi Togak Tonggol.
Prosesi Adat
Diawali penyampaian kabar dan permohonan ijin kepada Datuk Setia Amanah Payung Panji Adat Kabupaten Pelalawan oleh Dt. Penghulu Besar Langgam, Dt.Rajo Bilang Bungsu dan Batin Bunut.
Acara togak tonggol ini dimulai dari menjemput atau mengundang para mamak; anak padusi dan urang sumando setiap persukuan untuk menempati tempat yang telah ditunjuk untuk melakukan serah terima tonggol.
Adapun prosesinya yaitu Penyampaian Sinopsis Togak Tonggol dan di lanjutkan dengan semua abak padusi (anak perempuan yang memegang tonggol) pada setiap suku berbaris sejajar. Di belakangnya berbaris sejajar satu orang sumando (Laki0laki yang di tuakan) pada setiap suku sedangkan di depan soko padusi berbaris sejajar pula mamak dari setiap suku.
Semua soko padusi setiap suku secara serentak menyerahkan tonggol kepada ninik mamak masing-masing suku yang ada di depannya.
Tonggol diambil oleh ninik mamak setiap suku setelah menyerahkan tonggol, semua soko padusi yang menyerahkan tonggol mundur kurang lebih lima langkah dari posisi awalnya tadi dan di gantikan oleh para urang sumando setiap suku tonggol yang ada pada ninik mamak setiap suku diserahkan oleh para ninik mamak kepada urang sumando sambil berkata “ini tonggol tolong di togakkan”. Para urang sumando mengambil tonggol dari tangan para ninik mamak persukuan.
Setelah menerima tonggol dari para ninik mamak para urang sumando langsung membawa tonggol tersebut dan di ikuti oleh anak padusi dan ninik mamak setiap suku ke tempat tiang tonggol yang telah di siapkan oleh urang sumando yang lain setiap suku.
Setelah semua tonggol dan panji kebesaran siap untuk dinaikkan maka seekor kambing siap pula di korbankan. Ha ini adalah sebagai bentuk syukur (dalam konteks Islam digunakan) kehadirat Tuhan dn ucapan terima kasih kepada para leluhur yang terdahulu. Orang yang ditunjuk dalam menyembelik kambing dalam hal ini adalah dari kalangan ulama tempatan, hal ini diperbuat dengan alasan yang cukup matang yaitu memberikan suatu pekerjaan kepada ahlinya, menyembelih hewan lebih dipahami oleh para ulama tentang tata caranya dalam Islam dibandingkan sesepuh yang lain, sehingga pekerjaan tersebut diberikan kepadanya.
Saat penyembelikan kambing tersebut, maka secara bersamaan tonggol kebesaran adat pun secara bersamaan dinaikkan dengan membaca shalawat. Perlu diperjelas sedikit berkenaan dengan tonggol. Tonggol adalah lambing kebesaran suku yang berbentuk umbul-umbul, setiap suku memiliki warna dan bentuk yang berbeda, sebagai bentuk ciri khas sebuah suku dan pembeda dengan tonggol suku yang lain.
Tonggol dipasang tidak lurus seperti tiang bendera, namun tiang tonggol ditegakkan miring.
Tonggol dinaikkan miring mengarah tempat duduk para datuk (Pucuk pimpinan tertinggi dalam adat yang membawahi perbatinan). Hal ini bermakna bahwa tonggol tunduk dan patuh pada adat.
Untuk Tonggol Hulubalang telah di naikkan sebelum prosesi acara togak tonggal karena tonggol ini terletak di pintu masuk lokasi acara yang tegaknya miring menghadap keluar lokasi acara. Hal ini bermakna tonggol hulubalang menyambut kedatangan para datuk dan pemuka adat memasuki lokasi acara.
Setelah penaikkan Tonggol selesai, maka Pembawa dan Pengiring Tonggul/Payung Panji Adat kembali ke tempat dan kepada Pemangku Adat dipersilakan naik ke Balai Anjungan Ranah Tanjung Bunga.
Setelah tonggol sebuah suku ditegakkan menandakan bahwa kusut terselesaikan, keruh dapat dijernih dalam suku tersebut. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tegakknya tonggol persukuan menandakan suku tersebut aman dan terbebas dari masalah baik di dalam persukuan maupun dengan pihak luar persukuan.
Acaraa dilanjutkan dengan menyampaikan Kalang Batang (hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama tonggol tegak di area prosesi acara apabila ada yang melanggar maka akan dikenakan sangsi adat) dan sekaligus Sambutan Ketua Majelis Tinggi Hukum Adat LAM Petalangan yang disampaikan oleh Datuk Rajo Bilang Bungsu dan dilanjutkan lagi dengan sambutan oleh orang yang patut. Setelah kata sambutan acara dilanjutkan dengan shalat zuhur berjemaah di Masjid Raya Nurul Islam Langgam serta Jamuan Makan Siang di Balai Anjungan.
Bejambeu dalam bahasa lain dapat ditemukan yaitu bahasa Minang Bajamba. Secara epistemoligi bejambeu berasal dari kata jamba yang berarti makanan yang dihidangkan dalam talam. Secara luas arti bejambeu adalah makan berhidang dalam secara berjamaah dalam acara tertentu. Bejambeu sering digunakan dalam acara adat atau peringatan hari besar-besar Islam di masyarakat Melayu sebagai wujud suka cita, syukuran, penyambutan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, dan lain sebagainya. Dalam konteks tradisi Togak Tonggol bejambeu juga memiliki maksud yang sama yaitu makan Bersama di balai adat. Pada acara tradisi tersebut juag disiapkan makan yang dihidangkan secara “JAMBEU” (hidangan di letakkan di atas talam besar berbentuk bulat dan di tutup dengan tudung yang sesuai dengan ukuran talam dan di sajikan oleh anak perempuan dari masing-masing persekuan.
Saat bejambeu seluruh masyarakat persukuan, para datuk dari setiap suku, pemuka adat, pemuka agama, dan pihak pemerintahan duduk bersama di balai Adat. Pada saat Bejambeu ini tidak ada kata sambutan dari pemuka adat atau yang lain, namun ada doa yang dipimpin dari alim ulama sebelum memulai makan bersama atau bejambeu. Setelah usai membaca doa oleh alim ulama, maka masuklah kepada acara bejambeu atau makan bersama, pada masyarakat serta yang hadirin yang hadir di balai adat dipersilakan untuk memakan jamuan yang telah dihidangkan. Setelah usai menyantap jamuan tersebut, maka usai pulalah bejambeu yang merupakan rangkaian akhir dari proses acara Togak Tonggol, seluruh masyarakat, pemuka adat, pemuka agama, dan pihak pemerintahan yang hadir meninggalkan balai untuk kembali ke rumah masing-masing.**