Oleh: Jumardi Putra (Penulis di Jambi)
Sidang Tim Ahli Warisan Budaya Indonesia, yang berlangsung 21-24 Agustus 2017 di Jakarta, menetapkan sepuluh Karya budaya Jambi, yang diajukan ke Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, resmi terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia 2017. Sepuluh karya budaya itu Tari Elang, Tomboi Sialong, Sebelik Sumpah, Ambung Orang Rimbo, Cawot, Ubat Ramuon, Belangun, Hompongan, Musik Gambang Danau Lamo, dan Tari Kadam.
Raihan tersebut menambah daftar panjang WBTB asal Jambi, terhitung sejak 2013-2016, yaitu Tale naek Jei (Tale Naik Haji), Upacara Asyeik, Betauh, Tari kain kromong, Musik Kromong, dan musik kolinong, tari Anggut (Kota Jambi), tari Tupai Jenjang (Kerinci), tari Piring Tujuh (Tebo), Tutur Kuaw (Merangin), Tari Pisang (Merangin), Tari Besayak (Merangin), Upacara Besale (Muarajambi), Kompangan (Kota Jambi), Aksara Incung (Kerinci), Seloko Adat, Senandung Jolo (Muaro Jambi), dan krinok (Bungo). Bahkan,tahun 2014, Nek Jariah (76 tahun), pelaku seni tradisi Dideng asal Kabupaten Bungo ditetapkan sebagai penerima penghargaan anugerah Maestro Seni Tradisi Indonesia 2014.
Namun, segera setelah pentabalan WBTB itu, masing-masing kita dihadapkan pada pertanyaan, terutama bagi masyarakat daerah penerima sertfikat WBTB, yaitu setelah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, lantas diapakan? Adakah usaha kongkrit seraya berkelanjutan untuk menjaga, mengolah, mengembangkan, dan memanfaatkannya?
Faktanya, riwayat puluhan WBTB itu, kini hanya berujung pada klaim kesuksesan birokrasi kesenian, muatan di bundel Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) Kepala Daerah, selebrasi kemenangan di forum-forum kepublikan, dan mengisi lembar advetorial koran dan tv lokal. Sementara pemilik dan pendukung kesenian tidak mendapat kepastian arah dan laku pelestarian.
Merujuk Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bahwa yang dimaksud dengan pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
Setakat hal itu, bila pelestarian dirumuskan sebagai upaya mempertahankan cagar budaya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan, maka pengelolaan diartikan sebagai upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar besarnya kesejahteraan rakyat.
Konsepsi ideal di atas sejalan dengan ratifikasi Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage tahun 2003 oleh pemerintah Indonesia, melalui Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage, yang menyebutkan bahwa selain unsur budaya Indonesia dicatat, perlu juga dilakukan pemberian status Budaya Takbenda menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Menteri.
Hanya saja realitas faktual menunjukkan bahwa pelestarian WBTB jauh panggang dari api. Berikut hemat saya, yang menyebabkan pemberian status WBTB oleh Pemerintah Pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) pada pemerintah daerah belum bergerak maju, sebagaimana amanat undang-undang di atas.
Pertama, Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi maupun Kabupaten/Kota, yang menjadi penerjemah dua kementerian teknis: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (rujukan program kebudayaan) dan Kementerian Pariwisata (acuan program pariwisata), gagal menerjemahkan program prioritas pengembangan dan pembangunan kebudayaan ke dalam program-program konkrit dan berkelanjutan, yaitu 1) pembangunan karakter bangsa melalui kebudayaan, 2) pelestarian warisan budaya (perlindungan, pengembangan dan pemafaatan, dan 3) penguatan diplomasi budaya.
Kedua, substansi seni dan budaya Jambi oleh instansi teknis pemerintah daerah selama ini hanya berhenti sebagai program (baca: proyek) semata, tidak sekaligus sebagai perluasan dan pengayaan perspektif. Tak heran, bila kerja-kerja kebudayaan (baca: kesenian) tampak parsial dan belum terhubung dengan banyak pihak, seperti lintas SKPD, baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun provinsi, pusat penelitian/kajian, komunitas/kelompok seni, industri seni, dan perguruan tinggi yang memiliki keberpihakan terhadap seni-budaya.
Ketiga, proses pengajuan WBTB Jambi (2013-2015) lebih mencerminkan kerja eksekusional kelembagaan(atas-bawah), tenimbang kerja partisipatoris dari pemilik sekaligus pendukung karya budaya itu sendiri (bawah-atas). Apatah lagi, pemberian status penetapan merupakan tindak lanjut dari kerja pencatatan kekayaan budaya (intangible) di daerah-daerah, yang dilakukan jauh sebelum sertifikasi WBTB menjadi ritus Kemdikbud sejak 2013.
Apa indikator sehingga dugaan tersebut mendapat pijakan? Cukupkah hanya dalam rentang satu tahun kesepuluh karya budaya tersebut dihasilkan melalui serangkaian kerja akademis? Berapa angggaran yang harus digelontorkan untuk sampai pada level tersebut. Lalu kemitraan seperti apa pula yang terbangun antara pemerintah dan kelompok seni dalam proses pengajuan hingga pasca penetapanWBTB.
Saat yang sama, sulit membantah bahwa kerja-kerja penelitian budaya di Jambi saat ini kalah seksi dari iven-iven kesenian tahunan (dalam dan luar Jambi), yang lebih mengutamakan hiburan dan massa. Buktinya, lima tahun terakhir ini, hasil penelitian tentang seni dan budaya Jambi boleh dikatakan mengalami stagnasi akut.
Keempat, usai mendapat predikat WBTB Indonesia, sependek yang saya tahu, belum ada forum dialog lintas sektor sekaligus menghimpun stakeholder serta publikasi secara memadai, yang menjelaskan proses dan kemitraan dalam pengajuan hingga pasca pentabalan WBTB tersebut. Bahkan, ironinya, ada kepala daerah yang tiba-tiba kaget (karena tidak mengetahui) bahwa daerahnya didapuk sebagai penerima sertifikat WBTB.
Keadaaan demikian itu mengisyaratakan adanya persoalan pelik, yaitu sejak 2013-2015, WBTB Jambi tak terhubung dengan persinggungan praktik-praktik kreatornya (seniman) dengan lingkungan masyarakatnya, dan praktik-praktik wacana pada saat karya tersebut dianggit hingga diformulasikan ke dalam satu konsep baku pengajuan.
Lalu, dalam situasi yang nampak seolah final itu, pengelolaan kekayaan budaya di daerah-daerah dengan memulai dari ‘pinggiran’-meminjam istilah Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid- senyatanya belumlah berjalan, sehingga relevan perkara hulu-hilir pentabalan WBTB dikroschek ulang. Apa pasal?
Pentabalan WBTB berimplikasi pada kerja-kerja besar selanjutnya, yang barangkali terbentur pada pelbagai keterbatasan daerah-daerah. Tak heran kemudian muncul tuntutan kepastian dukungan penuh dari pemerintah pusat maupun provinsi, sehingga pemerintah daerah Kabupaten/Kota bersama masyarakat pemilik kesenian dapat melakukan kerja-kerja strategis, sebagaimana secara bernas diungkapkan budayawan Yudistira AN. Massardi (Kompas, 2009) berikut ini: “kepada seni budaya yang masih hidup, berikan energi baru (berdayakan, lahirkan kembali, pertahankan orisinalitasnya sambil ciptakan varian baru dengan warna dan kemasan baru). Untuk yang sudah punah dan terkubur, lakukan penelitian dan penggalian, petakan anatominya, tuliskan sejarahnya, lantas ciptakan replikanya, agar bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi baru.”
Akhirnya, perkara warisanisasi WBTB memaksa kita merenung dan memikirkan ulang, bahwa melulu ditetapkan sebagai warisan, tanpa ditindaklanjuti dengan pengelolaan, pengayaan tafsir dan kebermanfaatan secara luas bagi masyarakat, tak akan menjadikan sesuatu menjadi warisaan.